Saturday 12 April 2014

Lapangan Pekerjaan Bidang Hukum

Lapangan Pekerjaan Bidang Hukum
Profesi di bidang hukum sebenarnya sangat beragam. Lapangan pekerjaan yang tersedia/terbuka untuk seorang lulusan pendidikan tinggi hukum secara umum kami berikan contohnya antara lain dalam tabel di bawah ini:
Tabel: Profesi Bidang Hukum dan Bacaan Terkait
Profesi
Bacaan Lebih Lanjut
Advokat
Arbiter
Dosen
Hakim
Jaksa
Jurusita
Konsultan Hak Kekayaan Intelektual (HKI)
Kurator
Legal Drafter
Legislative Drafter
Mediator
Notaris
Panitera Pengadilan
Peneliti Hukum
Polisi
Sumber: hukumonline
Dan masih banyak lagi peluang-peluang pekerjaan/profesi bagi lulusan pendidikan tinggi hukum yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu. Lebih jauh, simak artikel-artikel kami dalam Edisi Lebaran 2010mengenai profesi-profesi bidang hukum.
Untuk dapat menjadi salah satu dari profesi hukum yang ada, kami mengambil salah satu contohnya yaitu advokat, berikut ini tahapan-tahapannya secara umum:
1.      Mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat (“PKPA”);
2.      Mengikuti Ujian Profesi Advokat (“UPA”);
3.      Mengikuti magang di kantor advokat sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun secara terus-menerus di kantor advokat;
4.      Pengangkatan dan Sumpah Advokat.
Lebih lanjut mengenai persyaratan dan prosedur menjadi advokat simak artikel Prosedur Menjadi Advokat Sejak PKPA Hingga Pengangkatan.
Selain menjadi advokat, prosedur untuk profesi hukum lainnya dapat anda simak di artikel-artikel klinik hukumonline berikut ini:

Penegakan Aturan Lalu Lintas dan Diskresi Polisi

Penegakan Aturan Lalu Lintas dan Diskresi Polisi
Ada seorang polisi lalu lintas sedang bertugas di traffic light/lampu merah, tepat di depannya ada pengendara yang menerobos lampu merah, tapi si petugas masa bodoh, pura pura tidak tahu, tanpa himbauan dan tanpa tindakan apapun dari polisi tersebut. Pertanyaannya: 1. Adakah suatu hukum ataupun pelanggaran disiplin yang bisa dikenakan kepada polisi tersebut yang jelas-jelas membiarkan pelanggaran? Mengingat salah satu tugas pokok polisi adalah melindungi masyarakat, dalam hal ini melindungi si pengemudi supaya tidak terjadi kecelakaan. 2. Apa dasar hukumnya?

Pendapat Satrio Adi irwanto fakultas Hukum 


Pada dasarnya, Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Polri”) bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Hal ini sebagaimana dikatakan dalam Pasal 4Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (“UU 2/2002”).
Polri merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri (Pasal 5 ayat [1] UU 2/2002). Sehubungan dengan lalu lintas jalan, dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b UU 2/2002 ditegaskan bahwa Polri bertugas menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan.
Mengenai aturan disiplin Polri terdapat dalam peraturan pelaksana UU 2/2002 yaitu Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (“PP 2/2003”).
Menurut Pasal 4 huruf f PP 2/2003, anggota Polri wajib menaati segala peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku. Yang berarti bahwa Polri dalam menjalankan tugasnya harus menaati peraturan perundang-undangan yang salah satunya adalah UU 2/2002.
Berdasarkan Pasal 7 PP 2/2003, anggota Polri yang ternyata melakukan pelanggaran Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dijatuhi sanksi berupa tindakan disiplin dan/atau hukuman disiplin.
Tindakan disiplin berupa teguran lisan dan/atau tindakan fisik (Pasal 8 ayat [1] PP 2/2003). Tindakan disiplin tersebut tidak menghapus kewenangan Atasan yang berhak menghukum (Ankum) untuk menjatuhkan Hukuman Disiplin (Pasal 8 ayat [2] PP 2/2003).
Mengenai hal ini, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia juga mengatur hal serupa sebagaimana terdapat dalam Pasal 6 huruf b Perkapolri 14/2011. Dikatakan bahwa setiap anggota Polri wajib menjaga keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Berdasarkan Pasal 20 Perkapolri 14/2011, jika ada anggota Polri yang diduga melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan/atau larangan dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 16 Perkapolri 14/2011, maka orang tersebut akan dinyatakan sebagai Terduga Pelanggar. Terduga Pelanggar akan dinyatakan sebagai Pelanggar setelah dilakukan pemeriksaan dan mendapatkan putusan melalui sidang Komisi Kode Etik Polri.
Terhadap anggota Polri yang dinyatakan sebagai Pelanggar, dapat dikenakan sanksi berupa (lihat Pasal 21 Perkapolri 14/2011):
a.    perilaku Pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela;
b.    kewajiban Pelanggar untuk meminta maaf secara lisan dihadapan Sidang KKEP dan/atau secara tertulis kepada pimpinan Polri dan pihak yang dirugikan;
c.    kewajiban Pelanggar untuk mengikuti pembinaan mental kepribadian, kejiwaan, keagamaan dan pengetahuan profesi, sekurang-kurangnya 1 (satu) minggu dan paling lama 1 (satu) bulan;
d.    dipindahtugaskan ke jabatan berbeda yang bersifat Demosi sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun;
e.    dipindahtugaskan ke fungsi berbeda yang bersifat Demosi sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun;
f.     dipindahtugaskan ke wilayah berbeda yang bersifat Demosi sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun; dan/atau
g.    PTDH sebagai anggota Polri.
Lebih jauh, Anda dapat menyimak artikel Prosedur Melaporkan Polisi yang Melakukan Pelanggaran.
Diskresi Polri
Pada sisi lain, perlu diketahui bahwa Polri mempunyai diskresi sebagaimana terdapat dalam Pasal 18 ayat (1) UU 2/2002:
“Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.”
Dengan syarat yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (2) UU 2/2002 yaitu bahwa hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Bertindak dengan penilaian sendiri ini disebut sebagai diskresi. Mengenai masalah ini, Anda dapat menyimak artikel Kabareskrim: Diskresi Polisi Harus Dibatasi.
Jadi, ada kemungkinan walaupun lampu lalu lintas menyala merah, polisi dapat tetap memberikan kesempatan kepada mobil-mobil dari arah tersebut untuk tetap jalan. Hal ini dinamakan Pengaturan Lalu Lintas Dalam Keadaan Tertentu, sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka 10 Peraturan Kapolri No. 10 Tahun 2012 tentang Pengaturan Lalu Lintas dalam Keadaan Tertentu dan Penggunaan Jalan Selain Untuk Kegiatan Lalu Lintas (“Perkapolri 10/2012”):
“Pengaturan Lalu Lintas Dalam Keadaan Tertentu adalah tindakan petugas dalam hal mengatur lalu lintas di jalan dengan menggunakan gerakan tangan, isyarat bunyi, isyarat cahaya dan alat bantu lainnya dalam keadaan tertentu.”
Namun, menurut Pasal 4 ayat (1) huruf g Perkapolri 10/2012,pengaturan lalu lintas dalam keadaan tertentu dilakukan pada saat sistem lalu lintas tidak berfungsi untuk Kelancaran Lalu Lintas yang disebabkan antara lain oleh karena terjadi keadaan darurat seperti:
a.    perubahan lalu lintas secara tiba-tiba atau situasional;
b.    adanya pengguna jalan yang diprioritaskan;
c.    adanya pekerjaan jalan;
d.    adanya kecelakaan lalu lintas;
e.    adanya aktivitas perayaan hari-hari nasional antara lain peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia, hari ulang tahun suatu kota, dan hari-hari nasional lainnya;
f.     adanya kegiatan olahraga, konferensi berskala nasional maupun internasional;
g.    terjadi keadaan darurat antara lain kerusuhan massa, demonstrasi, bencana alam, dan kebakaran; dan
h.    adanya penggunaan jalan selain untuk kegiatan Lalu Lintas.
Dalam keadaan-keadaan darurat tersebut, akan ada tindakan pengaturan lalu lintas yang meliputi (Pasal 4 ayat [2] Perkapolri 10/2012):
a.    memberhentikan arus lalu lintas dan/atau pengguna jalan;
b.    mengatur pengguna jalan untuk terus jalan;
c.    mempercepat arus lalu lintas;
d.    memperlambat arus lalu lintas;
e.    mengalihkan arus lalu lintas; dan/atau
f.     menutup dan membuka arus lalu lintas.
Jadi, walaupun pada dasarnya Polri tidak boleh membiarkan pengendara menerobos saat lampu lalu lintas menyala merah, tetapi ada beberapa keadaan tertentu yang membuat Polri dapat mengatur pengguna jalan untuk terus jalan walaupun lampu lalu lintas menyala merah. Meski demikian, tindakan tersebut dilakukan pada saat sistem lalu lintas tidak berfungsi untuk kelancaran lalu lintas yang antara lain disebabkan keadaan-keadaan yang sifatnya darurat.
Sebagai referensi, Anda dapat membaca artikel yang berjudul:

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
3.    Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia;
4.    Peraturan Kapolri No. 10 Tahun 2012 tentang Pengaturan Lalu Lintas dalam Keadaan Tertentu dan Penggunaan Jalan Selain Untuk Kegiatan Lalu Lintas.

OJK Terbitkan Aturan Penagihan Sanksi Denda

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan POJK Nomor 4/POJK.04/2014 Tahun 2014 tentang Tata Cara Penagihan Sanksi Administratif Berupa Denda di sektor Jasa Keuangan. Dalam siaran persnya, Kepala Departemen Pengawas Pasar Modal IA Retno Ici mengatakan, aturan ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 8 huruf i UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK dan PP No. 11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh OJK.

Setidaknya, terdapat dua materi pokok yang diatur dalam POJK ini. Yakni, mengenai kewajiban pembayaran, penagihan serta pengurusan piutang macet. Mengenai pembayaran sanksi administratif berupa denda tersebut, dilakukan dengan cara membayar kepada OJK melalui penyetoran ke rekening OJK atau cara lain yang ditetapkan oleh OJK.

“Pembayaran (denda, red) dilakukan paling lama 30 hari kerja setelah surat sanksi administratif berupa denda tersebut ditetapkan,” tulis Retno dalam siaran persnya, Selasa (8/4).

Sedangkan pelaksanaan pembayaran sanksi administratif berupa denda bagi bank umum, dilakukan melalui pendebetan rekening giro bank umum untuk rekening OJK di Bank Indonesia (BI). Besarnya bunga atas keterlambatan pembayaran sanksi denda paling sedikit dua persen dan paling banyak 48 persen dari jumlah sanksi denda.

Menurut aturan tersebut, jika sanksi denda dan bunga tidak dibayarkan atau dilunasi dalam jangka waktu satu tahun, maka OJK mengkategorikan sanksi administratif tersebut sebagai putang macet. Untuk mekanisme pengurusan piutang macet ini, OJK melimpahkannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN).

Pembayaran sanksi administratif berupa denda tersebut wajib dilakukan paling lama 30 hari setelah surat sanksi ditetapkan. Jika dalam kurun waktu tersebut, sanksi denda belum dilunasi, maka OJK memberikan surat teguran pertama untuk segera melunasi sanksi administratif berupa denda beserta bunganya paling lama 30 hari setelah berakhirnya jangka waktu pembayaran.

Jika dalam kurun waktu tersebut sanksi denda belum juga dilunasi, maka OJK memberikan surat teguran kedua kepada wajib bayar tersebut. Dalam surat teguran kedua tersebut, wajib bayar kembali diberikan waktu 30 hari untuk melunasi denda beserta bunganya, terhtung sejak berakhirnya jangka waktu surat teguran pertama tersebut.

Namun, jika surat teguran kedua tersebut tidak juga diindahkan oleh wajib bayar dengan tidak melunasi denda beserta bunganya, maka OJK dapat mengenakan sanksi administratif tambahan dan atau tindakan tertentu kepada wajib bayar. Sejumlah sanksi administratif tambahan tersebut dapat berupa peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembatalan persetujuan, pembatalan pendaftaran, pembekuan kegiatan usaha dan atau pencabutan izin usaha.

Sedangkan yang dimaksud dengan tindakan tertentu dapat berupa penundaan pemberian pernyataan efektif, perintah penggantian manajemen, penurunan tingkat kesehatan lembaga jasa keuangan, pembatalan hasil uji kemampuan dan kepatutan bagi pengurus atau pengawas lembaga jasa keuangan. Peraturan ini mulai berlaku pada 1 April 2014.

Sebelumnya, OJK telah mengeluarkan POJK Nomor 3/POJK.02/2014 Tahun 2014 tentangTata Cara Pelaksanaan Pungutan oleh OJK. Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK, Rahmat Waluyanto, menambahkan POJK tersebut juga mengatur pemberian sanksi kepada Wajib Bayar yang tidak melunasi kewajiban biaya tahunan sampai dengan batas waktu sebagaimana ditetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pungutan, yang didahului dengan pemberian surat teguran.

Menurutnya, bila industri jasa keuangan tidak patuh membayar pungutan OJK maka perusahaan yang bersangkutan akan didenda berdasarkan lama tunggakan pungutan.

“Sanksi terhadap Wajib Bayar yang tidak patuh adalah sanksi administratif berupa denda. Denda itu diatur berdasarkan lamanya tunggakan pungutan. OJK juga dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud kepada masyarakat,” kata Rahmat.

Rahmat menngatakan, bila perusahaan tak segera melunasi pungutan hingga tenggat terakhir, maka OJK menetapkan kewajiban tersebut sebagai piutang macet. Kemudian, OJK akan menyerahkan penagihan atas pungutan tersebut kepada Panitia Urusan Piutang Negara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Wednesday 9 April 2014

ASPEK HUKUM JASA KONSTRUKSI

Nama         : Satrio Adi Irwanto
NIM           :(132920812136)
Fakultas   : Hukum
Tugas        : Pengantar Ilmu Ekonomi


1.            lingkup pelaksanaan pengadaan barang/jasa antara lain :
Menurut Keppres 80 Tahun 2003 Pasal 7 ;
Ayat (1) huruf a) Pengadaan barang/jasa yang pembiayaannya sebagian atau seluruhnya dibebankan pada APBN/APBD;
Ayat (1) huruf b) Pengadaan barang/jasa yang sebagian atau seluruhnya dibiayai dari pinjaman/hibah luar negeri (PHLN) yang sesuai atau tidak bertentangan dengan pedoman dan ketentuan pengadaan barang/jasa;
Ayat (1) huruf c) Pengadaan barang/jasa untuk investasi di lingkungan BI, BHMN, BUMN, BUMD yang pembiayaannya sebagian atau seluruhnya dibebankan pada APBN/APBD.
Lingkup / jenis Pengadaan barang/jasa meliputi : Barang, Jasa Pemborongan, Jasa Konsultansi, dan Jasa Lainnya.
Menurut Perpres 54 Tahun 2010 Pasal 2
Ayat (1) huruf a) Pengadaan barang/jasa di lingkungan K/L/D/I yang pembiayaannya baik sebagian atau seluruhnya bersumber dari APBN/APBD;
Ayat (1) huruf b) Pengadaan barang/jasa untuk investasi di lingkungan Bank Indonesia, Badan Hukum Milik Negara dan Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah yang pembiayannya sebagian atau seluruhnya dibebankan pada APBN/APBD.
Lingkup / jenis Pengadaan barang/jasa (Pasal 4 Perpres 54 Tahun 2010) meliputi : Barang, Pekerjaan Konstruksi, Jasa Konsultansi, dan Jasa Lainnya. (Perubahan nama Jasa Pemborongan menjadi Pekerjaan Konstruksi dilakukan agar sejalan dengan International Best Practice).

Jadi lingkup pelaksanaan pengadaan barang/jasa antara Keppres No 80 Tahun 2003 dan Perpres No 54 Tahun 2010 hampir sama, yaitu semua pengadaan yang dibiayai oleh Pemerintah (APBN/APBD)






2.            Prakualifikasi dan Pascakualifikasi, beserta syarat-syarat dan prosesnya :
Menurut Keppres 80 Tahun 2003, Bagian Kelima “Prakualifikasi dan Pascakualifikasi”, Paragraf Pertama “Prinsip-prinsip Prakualifikasi dan Pascakualifikasi”, Pasal 14 :
Ayat (1) Prakualifikasi adalah proses penilaian kompetensi dan kemampuan usaha serta pemenuhan persyaratan tertentu lainnya dari penyedia barang/jasa sebelum memasukkan penawaran.
Ayat (2) Pascakualifikasi adalah proses penilaia kompetensi dan kemampuan usaha serta pemenuhan persyaratan tertentu lainnya dari penyedia barang/jasa setelah memasukkan penawaran.
Ayat (7) Persyaratan prakualfikasi/pascakualifikasi yang ditetapkan harus merupakan persyaratan minimal yang dibutuhkan untuk pelaksanaan kegiatan agar terwujud persaingan yang sehat secara luas.
Persyaratan Kualifikasi Penyedia Barang/Jasa :
-          Memiliki surat izin usaha pada bidang usahanya yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah yang berwenang yang masih berlaku, seperti SIUP untuk jasa perdagangan, IUJK untuk Jasa Konstruksi dan sebagainya,
-          Secara hokum mempunyai kapasitas menandatangani kontrak pengadaan;
-          Tidak dalam pengawasan pengadilan, tidak bangkrut, kegiatan usahanya tidak sedang dihentikan, dan/atau tidak sedang menjalani sanksi pidana;
-          Dalam hal penyedia jasa akan melakukan kemitraan, penyedia barang/jasa wajib mempunyai perjanjian kerjasama operasi/kemitraan yang memuat prosentase kemitraan dan perusahaan yang mewakili kemitraan tersebut;
-          Telah melunasi kewajiban pajak tahun terakhir (SPT/PPH) serta memiliki laporan bulanan PPh Pasal 25 atau Pasal 21/Pasal 23 atau PPN sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan yang lalu;
-          Selama 4 (empat) tahun terakhir pernah memiliki pengalaman menyediakan barang/jasa baik dilingkungan pemerintah atau swasta termasuk pengalaman subkontrak baik di lingkungan pemerintah atau swasta, kecuali penyedia barang/jasa yang baru berdiri kurang dari 3 (tiga) tahun;
-          Memiliki kinerja baik dan tidak masuk dalam daftar sanksi atau daftar hitam suatu instansi;
-          Memiliki kemampuan pada bidang pekerjaan yang sesuai untuk usaha kecil termasuk koperasi kecil;
-          Memiliki kemampuan pada bidang dan subbidang pekerjaan yang sesuai untuk bukan usaha kecil (untuk jasa pemborongan memenuhi KD = 2 NPt (KD : Kemampuan Dasar, NPt : nilai pengalaman tertinggi) pada subbidang pekerjaan yang sesuai untuk bukan usaha kecil dalam kurun waktu 7 (tujuh) tahun terakhir, Untuk pengadaan barang/jasa lainnya memenuhi KD = 3 NPt)
-          Dalam hal bermitra yang diperhitungkan adalah kemampuan dasar dari perusahaan yang mewakili kemitraan (lead firm);
-          Untuk pekerjaan khusus/spesifik/teknologi tinggi dapat ditambahkan persyaratan lain seperti peralatan khusus, tenaga ahli spesialis yang diperlukan, atau pengalaman tertentu;
-          Memiliki surat keterangan dukungan keuangan dari bank pemerintah/swastas untuk mengikuti  pengadaan barang/jasa sekurang-kurangnya 10% dari nilai proyek untuk pekerjaan jasa pemborongan dan 5% untuk pekerjaan pemasokan barang/jasa lainnya, kecuali untuk penyedia barang/jasa usaha kecil termnasuk koperasi kecil.
-          Memiliki kemampuan menyediakan fasilitas dan peralatan serta personil yang diperlukan untuk pelaksanaan pekerjaan;
-          Termasuk dalam penyedia barang/jasa yang sesuai dengan nilai paket pekerjaan;
-          Menyampaikan daftar perolehan pekerjaan yang sedang dilaksanakan khsus untuk jasa pemborongan;
-          Tidak membuat pernyataan yang tidak benar tentang kompetensi dan kemampuan usaha yang dimilikinya;
-          Untuk pekerjaan jasa pemborongan memiliki sisa kemampuan keuangan (SKK) yang cukup dan sisa kemampuan paket (SKP).
Keppres 80 Tahun 2003 “Proses Prakualifikasi dan Pascakualifikasi” Pasal 15
Ayat (1) Proses prakualifikasi secara umum meliputi pengumuman prakualifikasi, pengambilan dokumen prakualifikasi, pemasukan dokumen prakualifikasi, evaluasi dokumen prakualifikasi, penetapan calon peserta pengadaan yang lulus prakualifikasi dan pengumuman hasil prakualifikasi.
Ayat (2) Proses Pascakualifikasi secara umum meliputi pemasukan dokumen kualifikasi bersamaan dengan dokumen penawaran dan terhadap peserta yang diusulkan untuk menjadi pemenang serta cadangan pemenang dievaluasi dokumen kualifikasinya.
Menurut Perpres 54 Tahun 2010 Bagian Keempat “Penetapan Metode Penilaian Kualifikasi” Pasal 56;
Ayat (1) Kualifikasi merupakan proses penilaian kompetensi dan kemampuan usaha serta pemenuhan persyaratan tertentu lainnyua dari Penyedia Barang/Jasa.
Ayat (3) Prakualifikasi meruapkan proses penilaian kualifikasi yang dilakukan sebelum pemasukan penawaran.
Ayat (8) Pascakualifikasi merupakan proses penilaian kualifikasi yang dilakukan setelah pemasukan penawaran.
Perpres 54 tahun 2010 “Penyedia Barang/Jasa” Pasal 19
Ayat (1) Penyedia Barang/Jasa dalam pelaksanaan Pengadan Barang/Jasa wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut :
-          Memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menjalankan kegiatan/usaha;
-          Memiliki keahlian,pengalaman, kemampuan teknis dan manajerial untuk menyediakan Barang/Jasa;
-          Memperoleh paling kurang 1 (satu) pekerjaan sebagai penyedia barang/jasa dalam kurun waktu 4 (empat) tahun terakhir baik dilingkungan pemerintah maupun swasta, termasuk pengalaman subkontrak;
-          Ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf c, dikecualikan bagi Penyedia barang/jasa yang baru berdiri kurang dari 3 (tiga) tahun;
-          Memiliki sumber daya manusia, modal, peralatan dan fasilitas lain yang dipelrukan dalam Pengadaan Barang/Jasa;
-          Dalam hal Penyedia Barang/Jasa akan melakukan kemitraan, penyedia barang/jasa harus mempunyai perjanjian kerja sama operasi/kemitraan yang memuat prosentase kemitraan dan perusahaan yang mewakili kemitraan tesebut;
-          Memiliki kemampuan pada bidang pekerjaan yang sesuai untuk Usaha Mikro, Usaha Kecil dan koperasi kecil serta kemampuan pada subbidang pekerjaan yang sesuai untuk usaha non-kecil;
-          Memiliki Kemampuan Dasar (KD) untuk usaha non-kecil, kecuali untuk pengadaan Barang dan Jasa Konsultansi;
-          Khusus untuk pengadaan pekerjaan konstruksi dan jasa lainnya, harus memperhitungkan Sisa Kemampuan Paket (SKP) sebagai berikut :
SKP = KP – P
KP : nilai kemampuan paket, dengan ketentuan :
Untuk usaha kecil, nilai kemampuan paket (KP) ditentukan sebanyak 5 (lima) paket pekerjaan dan untuk usaha Non Kecil nilai kemampuan paket (KP) ditentukan sebanyak 6 (enam) atau 1,2 (satu koma dua) N.
P : jumlah paket yang sedang dikerjakan
N : jumlah paket pekerjaan terbanyak yang dapat ditangani pada saat bersamaan selama kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir.
-          Tidak dalam pengawasan pengadilan, tidak pailit, kegiatan usahanya tidak sedang dihentikan dan/atau direksi yang bertindak untuk dan atas nama perusahaan tidak sedang dalam menjalani sanksi pidana, yang dibuktikan dengan surat pernyataan yang ditandatangani penyedia barang/jasa;
-          Sebagai wajib pajak sudah memiliki NPWP dan telah memenuhi kwajiban perpajakan tahun terakhir (SPT Tahunan) serta memiliki laporan bulanan PPh Pasal 21, PPh  Pasal 23 (bila ada transaksi), PPh Pasal25/Pasal 29 dan PPN (bagi pengusaha kena pajak) paling kurang 3 bulan terakhir;
-          Secara hukum mempunyai kapasitas untuk mengikatkan diri pada kontrak;
-          Tidak masuk dalam daftar hitam
-          Memiliki alamat tetap dan jelas serta dapat dijangkau dengan jasa pengiriman dan
-          Menandatangani Pakta Integritas
Perpres 54 Tahun 2010 Pasal 56
Ayat (6) Proses Prakualifikasi menghasilkan : daftar calon Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa lainnya atau Daftar Pendek calon penyedia Jasa Konsultansi.
Ayat (7) Dalam proses prakualifikasi, ULP/Pejabat pengadaan segera membuka dan mengevaluasi dokumen kualifikasi paling lama 2 (dua) hari kerja setelah diterima.
Ayat (11) ULP/Pejabat pengadaan wajib menyederhanakan proses kualifikasi dengan ketentuan : Meminta penyedia barang/jasa mengisi formulir kualifikasi dan tidak meminta seluruh dokumen yang disyaratkan kecuali pada tahap pembuktian kualifikasi.

3.            metode pemilihan penyedia barang/jasa adalah sebagai berikut :
Keppres 80 tahun 2003 “Metode Pemilihan Penyedia Barang/Jasa Pemborongan/Jasa Lainnya” Pasal 17
Ayat (1) Dalam pemilihan penyedia barang/jasa pemborongan/jasa lainnya, pada prinsipnya dilakukan melalui metoda PELELANGAN UMUM;
Ayat (2) PELELANGAN UMUM adalah metoda pemilihan penyedai barang/jasa pemborongan/jasa lainnya yang dilakukan secara terbuka dengan pengumuman secara luas memalui media massa dan papan pengumuman resmi untuk penerangan umum sehingga masyarakat luas dunia usaha yang berminat dan memenuhi kualifikasi dapat mengikutinya
Ayat (3) Dalam hal jumlah penyedia barang/jasa yang mampu melaksanakan diyakini terbatas, yaitu untuk pekerjaan yang kompleks, maka pemilihan penyedia barang/jasa dapat dilakukan dengan metoda PELELANGAN TERBATAS dan diumumkan secara luas melalui media massa dan papan pengumuman resmi dengan mencantumkan penyedia barang/jasa yang telah diyakini mampu, guna memberikan kesempatan kepada penyedia barang/jasa lainnya yang memenuhi kualifikasi;
Ayat (4) Dalam hal metoda pelelangan umum atau pelelangan terbatas dinilai tidak efisien dari segi biaya pelelangan, maka pemilihan penyedia barang/jasa dapat dilakukan dengan metoda PEMILIHAN LANGSUNG, yaitu pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan dengan memnbandingkan sebanyak-banyaknya penawaran, sekurang-kurangnya 3 penawaran dari penyedia barang/jasa yang telah lulus prakualifikasi serta dilakukan negosiasi baik teknis maupun biaya serta harus diumumkan minimal melalui papan pengumuman resmi untuk penerangan umum dan bila memungkinkan melalui internet.
Ayat (5) Dalam keadaan tertentu dan keadaan khusus, pemilihan penyedia barang/jasa dapat dilakukan dengan cara PENUNJUKAN LANGSUNG terhadap 1 penyedia barang/jasa dengan cara melakukan negosiasi baik teknis maupun biaya sehingga dipoeroleh harga yang wajar secara teknis dapat dipertanggungjawabkan.
Perpres 54 tahun 2010 “Penetapan Metode Pemilihan Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya” Pasal 35
Ayat (2) Pemilihan penyedia barang/jasa lainnya dilakukan dengan
a.   Pelelangan yang terdiri atas Pelelangan Umum dan Pelelangan Sederhana
b.   Penunjukan Langsung;
c.   Pengadaan Langsung atau;
d.   Kontes/Sayembara.
Ayat (3) Pemilihan penyedia pekerjaan konstruksi dilakukan dengan
a.   Pelelangan umum
b.   Pelelangan terbatas
c.   Pemilihan langsung
d.   Penunjukan langsung atau
e.   Pengadaan langsung.

4.            evaluasi penawaran pada pemilihan barang/jasa :
Keppres 80 tahun 2003 “Evaluasi Penawaran pada Pemilihan Penyedia Barang/Jasa Pemborongan/Jasa Lainnya” Pasal 19
Ayat (1) Dalam pemilihan penyedia barang/jasa pemborongan/jasa lainnya dapat dipilih salah satu dari tiga metoda evaluasi penawaran berdasarkan jenis barang/jasa yang akan diadakan, dan metoda evaluasi penawaran tersebut harus dicantumkan dalam dokumen lelang, yang meliputi : Sistem Gugur, Sistem Nilai, Sistem Penilaian Biaya Umur Ekonomis.
Ayat (2) Sistem gugur adalah evaluasi penilaian penawaran dengan cara memeriksa dan membandingkan dokumen penawaran terhadap pemenuhan syarat yang telah ditetapkan dalam dokumen pemilihan penyedia barang/jasa dengan urutan proses evaluasi dimulai dari penilaian persyaratan administrasi, persyaratan teknis dan kewajaran harga, terhadap penyedia barang/jasa yang tidak lulus penilaian pada setiap tahapan dinyatakan gugur.
Ayat (3) Sistem Nilai adalah evaluasi penilaian penawaran dengan cara memberikan nilai angka tertentu pada setiap[ unsur yang dinilai berdasarkan kriteria dan nilai yang telah ditetapkan dalam dokumen pemilihan penyedia barang/jasa kemudian membandingkan jumlah nilai dari setiap penawaran dengan penawaran peserta lainnya.
Ayat (4) Sistem Penilaian Biaya Selama Umur Ekonomis adalah evaluasi penilaian penawaran dengan cara memberikan nilai pada unsur-unsur teknis dan harga yang dinilai menurut umur ekonomis barang yang ditawarkan berdasarkan kriteria dan nilai yang ditetapkan dalam dokumen pemilihan penyedia barang/jasa, kemudian nilai unsur-unsur tersebut dikonversikan ke dalam satuan mata uang tertentu dan dibandingkan dengan jumlah nilai dari setiap penawaran peserta dengan penawaran peserta lainnya.
Ayat (5) Dalam mengevaluasi dokumen penawaran, panitia/pejabat pemilihan penyedia barang/jasa tidak diperkenankan mengubah, menambah dan mengurangi kriteria dan tata cara evaluasi tersebut dengan alasan apapun dan atau melakukan tindakan lain yang bersifat post bidding.
Perpres no 54 tahun 2010 “Penetapan Metode Evaluasi Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya” Pasal 48
Ayat (1) Metode evaluasi penawaran dalam pemilihan Penyedia barang/Pekerjaan konstruksi/Jasa lainnya terdiri atas :
a.   sistem gugur
b.   sistem nilai, dll.