Monday, 7 April 2014

PENGERTIAN PENGANTAR ILMU HUKUM



          


A. Batasan Pengertian Ilmu Hukum
Ilmu  hukum merupakan ilmu pengetahuan yang  obyeknya  hukum, sehingga  ilmu hukum akan mempelajari semua seluk beluk  mengenai hukum  dengan menelaah hukum sebagai suatu gejala  atau  fenomena dalam kehidupan manusia dimanapun dan kapanpun, atau dengan  kata lain hukum dilihat sebagai fenomena yang sifatnya universal.
Dalam mempelajari itu hukum dapat digunakan beberapa  metode, sebagai berikut :
1.       Metode  Idealis, adalah metode yang bertitik tolak dari  suatu pandangan  bahwa  hukum sebagai  perwujudan  dari  nilai-nilai tertentu  (Keadilan,  Kepastian dan Kemanfaatan).  Metode  ini selalu   menguji   apakah  yang  dilakukan  oleh  hukum  untuk mewujudkan nilai-nilai tertentu. Nilai-nilai tertentu yang dimaksud oleh hukum adalah keadilan.
2.       Metode  Normatif  Analitis, yaitu metode  yang  melihat  hukum sebagai  suatu sistem aturan yang abstrak. Metode  ini  melihat hukum  sebagai  lembaga yang benar-benar  otonom dan dapat dibicarakan sebagai subyek tersendiri terlepas  dari  hal-hal lain yang berkaitan dengan peraturan-peraturan.
3.       Metode Sosiologis, yaitu metode yang berangkat dari  pandangan yang  melihat  hukum sebagai alat untuk  mengatur  masyarakat. Perhatian metode ini tertumpu pada faktor kemasyarakatan  yang mempengaruhi pembentukan wujud dari perkembangan hukum, serta efektifitas hukum itu sendiri dalam kehidupan masyarakat.
4.       Metode  Historis, yaitu metode yang mempelajari  hukum  dengan melihat  sejarah hukum itu sendiri, sehingga  akan  mengetahui bagaimana   lahir,   berkembang   dan  lenyapnya  hukum  serta perkembangan lembaga-lembaga hukum.
5.       Metode Sistematis, yaitu metode yang mempelajari hukum  dengan melihat hukum sebagai suatu sistem yang terdiri atas  berbagai subsistem  (seperti  hukum perdata, hukum pidana,  hukum  tata negara, hukum administrasi negara dan sebagainya).
6.       Metode Komparatif, yaitu metode yang mempelajari hukum dengan membandingkan  antara tata hukum yang berlaku di suatu  negara tertentu  dengan tata hukum yang berlaku di negara lain,  baik di  masa lampau maupun pada saat berlaku (sekarang).  Sehingga akan diketahui adanya persamaan-persamaan dan perbedaannya.




            
B. Batasan Pengertian Pengantar Ilmu Hukum
Pengantar  Ilmu  Hukum atau "Encyclopaedia  Hukum"  merupakan mata  kuliah dasar bagi setiap orang yang akan  mempelajari  ilmu hukum  dengan  segenap  ruang lingkupnya yang  sangat  luas,  dan menanamkan  tentang  pengertian-pengertian  dasar  dari  berbagai istilah  dalam  ilmu hukum, gambaran  dasar  tentang  sendi-sendi utama serta ajaran-ajaran penting dalam ilmu hukum.
Dengan  kata  lain Pengantar Ilmu Hukum  adalah  mata  kuliah dasar  yang  bertujuan  untuk memperkenalkan  ilmu  hukum  secara keseluruhan dalam garis besarnya. Secara sederhana dapat diragakan dalam bagan sebagai berikut:
                    

                 Pengantar Ilmu Hukum                                      Filsafat Hukum

                

    Encyclopaedia Hukum                     Sosiologi Hukum  
                                                    

                         

                                                Hukum-Hukum Publik

                                                    
                             


Hukum-hukum Privat
 
                               



Keterangan :           Untuk   mempelajari   Filsafat  Hukum,  Sosiologi  Hukum,  Hukum-Hukum Publik dan Hukum-hukum privat harus didasari oleh Pengantar Ilmu Hukum.
                
Dengan  demikian dapat dipahami bahwa hakekat Pengantar  Ilmu Hukum adalah sebagai dasar dari pengetahuan hukum yang mengandung pengertian-pengertian dasar yang menjadi akar dari ilmu hukum itu sendiri  atau  bahwa Pengantar Ilmu Hukum merupakan  dasar  untuk pelajaran lebih lanjut dalam studi ilmu hukum. Akibatnya  apabila ilmu  pengantar  ini tidak dipahami secara  seksama  dan  tuntas, tidaklah  mungkin  dapat diperoleh pengertian yang  baik  tentang berbagai cabang ilmu hukum baik yang publik maupun yang privat.

C. Kedudukan dan Fungsi Pengantar Ilmu Hukum
Kedudukan Pengantar Ilmu Hukum dalam kesatuan kurikulum  yang diajarkan  pada  Fakultas Hukum di Indonesia adalah  sebagai  mata kuliah  dasar  keahlian,  oleh karena itu  Pengantar Ilmu  Hukum berfungsi  untuk  memberikan  pengertian-pengertian  baik  secara garis  besar maupun secara mendalam mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan hukum, bagi Mahasiswa Fakultas Hukum yang mengawali belajar tentang hukum. Selain itu juga mempunyai fungsi "pedagogis" yakni menumbuhkan minat untuk dengan penuh kesungguhan  mempelajari  ilmu hukum, sehingga tepat bahwa Pengantar Ilmu Hukum merupakan dasar untuk pelajaran lebih lanjut dalam  studi  ilmu hukum. Akibatnya apabila  ilmu  pengantar  ini tidak dipahami secara seksama dan tuntas, tidaklah mungkin  dapat diperoleh pengertian yang baik tentang berbagai cabang ilmu hukum baik yang publik maupun yang privat.
Oleh  karena  itu siapapun  yang   ingin   mempelajari   atau melakukan studi hukum tetapi tidak menguasai Pengantar Ilmu Hukum akan  mengalami kesulitan, kalau tidak dikatakan  akan  mengalami kegagalan.
BAB II

ANEKA ARTI HUKUM



                Di depan telah diuraikan mengenai arti hukum secara simpel, tetapi arti hukum tersebut dirumuskan bukan untuk membatasi atau memberi definisi hukum. Karena memberi definisi hukum merupakan hal yang sangat sukar sekali. Seperti yang dikemukakan  oleh Van Apeldorn yang menyebut pendapat Imanuel Kant, bahwa batasan tentang hukum masih senantiasa dicari dan belum didapatkan. Kesukaran ini karena hukum mencakup aneka macam segi dan aspek, serta karena luasnya ruang lingkup hukum di samping itu sumbernyapun di berbagai bidang.
                Di samping pemberian arti umum untuk perluasan pemahaman, berikut ini akan dikemukakan aneka arti hukum, sebagai berikut :

a. Hukum Dalam Arti Ketentuan Penguasa
                Di sini hukum adalah perangkat-perangkat peraturan tertulis yang dibuat oleh pemerintah, melalui badan-badan yang berwenang membentuk berbagai peraturan tertulis (UUD, UU, Keppres, PP, Kep. Men dan Perda). Termasuk juga adalah keputusan-keputusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum atau yurisprudensi.



Hukum
 

Ketentuan-ketentuan Penguasa
 


                                            ?


 















Keterangan  :         Hukum    dalam  arti  ketentuan  penguasa berupa hasil pembuatan peraturan perundang-undangan dan keputusan Pengadilan.
               
Arti ini mudah dipahami oleh orang awam yang bukan ahli hukum, namun telah mendapatkan pendidikan yang cukup, seperti para sarjana di luar pendidikan hukum, dan setidaknya yang di SMU.

b. Hukum Dalam Arti Para Petugas
                Sebagian warga masyarakat, menunjuk hukum pada para petugas yang berusaha mengamankan dan menegakkan hukum. Hukum dibayangkan dalam wujud petugas yang berseragam dan bisa bertindak terhadap orang-orang yang melakukan tindakan-tindakan yang membahayakan warga masyarakat.
                Orang-orang pada kelompok lapisan tertentu melihat hukum dalam wujud sebagai para petugas (penegak hukum), seperti Polisi yang sedang patroli, Jaksa dengan seragamnya dan Hakim dengan toganya yang hitam berdasi putih. Di sini hukum dilihatnya dalam arti sebagai wujud fisik yang ditampilkan dalam gambaran orang-orang yang bertugas menegakkan hukum.

c. Hukum Dalam Arti Sikap Tindak
                Yaitu hukum sebagai perilaku yang ajeg atau sikap tindak teratur, di mana bekerjanya tidak nampak seperti dalam arti petugas, melainkan menghidup bersama dengan perilaku individu terhadap yang lain secara terbiasa, dan senantiasa terasa wajar serta rasional.
                Di sini hukum bekerja “mengatur” sikap tindak warga masyarakat, sedemikian rupa, sehingga hukum terlihat sebagai sikap tindak yang nampak di dalam pergaulan sehari-hari, ia merupakan suatu kebiasaan.

d. Hukum Dalam Arti Sistem Kaedah
                Sistem adalah merupakan suatu pemikiran bulat yang di dalamnya terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan dengan serasi dan saling mengisi serta tidak saling bertentangan satu dengan lain. Kebulatan pemikiran ini merupakan cara untuk mencapai tujuan tertentu.
Kaedah atau norma adalah ketentuan-ketentuan tentang baik buruk perilaku manusia di tengah pergaulan hidupnya, dengan menentukan perangkat-perangkat peraturan yang bersifat perintah dan anjuran larangan-larangan.
                Menurut Hans Kelsen “tata kaedah hukum suatu negara merupakan suatu sistem kaedah-kaedah hukum yang heirarkhis yang dalam bentuknya yang sangat sederhana”.
                Atau hukum sebagai sistem kaedah adalah:
1.       Suatu tata kaedah hukum yang merupakan sistem kaedah-kaedah hukum secara heirarkhis.
2.       Susunan kaedah-kaedah hukum yang sangat disederhanakan dari tingkat bawah ke atas meliputi:
i.         Kaedah-kaedah individual dari badan-badan pelaksana hukum terutama Pengadilan.
ii.        Kaedah-kaedah umum di dalam UU atau hukum kebiasaan.
iii.      Kaedah-kaedah konstitusi.
Ketiganya dinamakan kaedah positif.
3.       Sahnya kaedah-kaedah hukum dari golongan tingkat yang lebih rendah tergantung atau ditentukan oleh kaedah-kaedah yang termasuk golongan tingkat yang lebih tinggi.
Di samping kaedah hukum, dalam masyarakat dikenal dan bekerja kaedah-kaedah lain, yaitu:
- Kaedah-kaedah kesopanan;
- Kaedah kesusilaan;
- Kaedah agama dan kepercayaan.


e. Hukum Dalam Arti Jalinan Nilai
                Hukum dalam arti jalinan nilai bertujuan menserasikan nilai-nilai obyektif yang universal tentang baik dan buruk, tentang patut dan tidak patut, sedemikian rupa untuk mencerminkan rumusan perlindungan kepentingan antar individu, pemenuhan kebutuhan dan perlindungan hak dengan ketentuan yang merupakan kepastian hukum.
                Dalam hal tertentu hukum secara khusus menentukan nilai-nilai subyektif yang secara tertentu memberi keputusan bagi keadilan sesuai keadaan pada suatu tempat, waktu dan budaya masyarakat.
                Tujuan hukum dalam kaitannya dengan jalinan nilai adalah mewujudkan keserasian dan keseimbangan antara faktor obyektif dan subyektif dari hukum demi terwujudnya nilai-nilai keadilan dalam hubungan antara individu di tengah pergaulan hidupnya.

f. Hukum Dalam Arti Tata Hukum
                Tata hukum atau kerap kali disebut hukum positif adalah hukum yang berlaku disuatu tempat, pada saat tertentu (sekarang).
                Dalam arti ini tentunya tata hukum pada suatu negara yang berlaku dewasa ini, misalnya tata hukum Amerika adalah hukum yang berlaku di USA baik federal maupun di berbagai negara bagian. Demikian pula di Inggris, di India, di RRC, di Jerman dsb.
                Tata hukum di Indonesia adalah hukum yang sedang berlaku dewasa ini di Indonesia, yang meliputi baik hukum publik maupun hukum privat:
-       Hukum publik yang terdiri antara lain HTN, Hk. Pidana, HAN, Hk. Internasional.
-       Hukum privat yang terdiri antara lain Hk. Perdata, Hk. Dagang.

g. Hukum Dalam Arti Ilmu Hukum
                Hukum dalam arti ilmu hukum, hukum di lihat sebagai ilmu pengetahuan yang merupakan karya manusia yang berusaha mencari kebenaran tentang sesuatu yang memiliki ciri-ciri sistematis, logis, empiris, metodis, umum dan akumulatif.
                Dalam arti ilmu hukum meliputi:
1.       Ilmu Kaedah (normwissenchaft atau sollenwissenschaft) yaitu ilmu yang menelaah hukum sebagai kaedah-kaedah dengan domatig hukum dan sistematik hukum.
2.       Ilmu Pengertian (begriftenwissenschaft) yaitu ilmu tentang pengertian-pengertian pokok dalam hukum, misalnya subyek hukum, masyarakat hukum, peranan hukum, peristiwa hukum, objek hukum, akibat hukum.
3.       Ilmu Kenyataan (Tatsachenwissenschaft) yaitu menyoroti hukum sebagai perilaku atau sikap tindak, yang antara lain dipelajari dalam Sosiologi Hukum, Antropologi Hukum, Psikologi Hukum, Sejarah Hukum, Perbandingan Hukum.
h. Hukum Dalam Arti Disiplin Hukum
                Dalam telaah tentang apa yang ada di dalam batasan disiplin, maka dapat dibedakan antara disiplin analitis (merupakan sistem ajaran yang menganalisa memahami dan menjelaskan gejala-gejala yang dihadapi) dan disiplin perspektif (merupakan sistem ajaran yang menentukan di dalam menghadapi kenyataan tertentu).
Dari batasan tentang disiplin tersebut maka dapat dipahami bahwasannya disiplin hukum (sebagai sistem ajaran mengenai kenyataan atau gejala-gejala hukum yang ada dan hidup di tengah pergaulan) merupakan disiplin perspektif, yang berusaha menentukan apa yang seyogyanya, seharusnya dan patut dilakukan dalam menghadapi kenyataan.
                Dalam kerangka disiplin hukum sebagai suatu sistem disiplin perspektif, di dalamnya membahas tiga yaitu Ilmu Hukum, Filsafat Hukum dan Politik Hukum.
Ilmu Hukum, intinya merupakan ilmu pengetahuan yang berusaha membahas dan menelaah hukum (lihat penjelasan sebelumnya).
Filsafat Hukum adalah ilmu pegetahuan yang mempelajari pernyataan-pernyataan mendasar dari hukum. Atau merupakan ilmu pengetahuan tentang hakekat hukum, sehingga dalam ilmu ini akan dikemukakan tentang dasar-dasar kekuatan mengikat dari hukum.
Politik Hukum adalah disiplin hukum yang mengkhususkan dirinya pada usaha memerankan hukum dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan oleh masyarakat tertentu. Sebab bila disimak tentang kondisi suatu masyarakat yang teratur maka senantiasa memiliki tujuan untuk mensejahterakan warganya, sedangkan politik hakekatnya merupakan sarana untuk mencapai tujuan sehingga politik juga merupakan aktifitas memilih tujuan tertentu. Dalam kaitannya dengan permasalahan hukum, juga dijumpai keadaan yang sama. Untuk itu hukum yang berusaha memilih tujuan dan cara pencapainya tersebut merupakan perpaduan dari sisi politik dan sisi hukum atau merupakan politik hukum.



















 

 

 


BAB III

DISIPLIN HUKUM

 



Pengantar

                Dalam telaah tentang apa yang ada di dalam batasan disiplin, maka dapat dibedakan antara disiplin analitis (merupakan sistem ajaran yang menganalisa memahami dan menjelaskan gejala-gejala yang dihadapi) dan disiplin perspektif (merupakan sistem ajaran yang menentukan apakah yang seyogyanya atau yang seharusnya dilakukan di dalam menghadapi kenyataan tertentu).
                Dari batasan tentang disiplin tersebut maka dapat dipahami bahwasannya disiplin hukum (sebagai sistem ajaran mengenai kenyataan atau gejala-gejala hukum yang ada dan hidup di tengah pergaulan) merupakan disiplin perspektif, yang berusaha menentukan apa yang seyogyanya, seharusnya dan patut dilakukan dalam menghadapi kenyataan.
                Dalam kerangka disiplin hukum sebagai suatu sistem disiplin perspektif, di dalamnya membahas tiga yaitu Ilmu Hukum, Filsafat Hukum dan Politik Hukum.
1.  Ilmu Hukum
Ruang lingkup yang dipelajari dalam ilmu hukum meliputi :
a.        Ilmu Kaedah (normwissenchaft atau sollenwissenschaft) yaitu ilmu yang menelaah hukum sebagai kaedah-kaedah dengan domatig hukum dan sistematik hukum.
b.       Ilmu Pengertian (begriftenwissnschaft) yaitu ilmu tentang pengertian-pengertian pokok dalam hukum, misalnya subyek hukum, masyarakat hukum, peranan hukum, peristiwa hukum, obyek hukum, akibat hukum.
c.        Ilmu Kenyataan (Tatsachenwissenschaft) yaitu menyoroti hukum sebagai perilakuan atau sikap tindak, yang antara lain dipelajari dalam Sosiologi Hukum, Antropologi Hukum, Psikologi Hukum, Sejarah Hukum, Perbandingan Hukum.

2.  Filsafat Hukum
Filsafat Hukum adalah ilmu pegetahuan yang mempelajari pernyataan-pernyataan mendasar dari hukum. Atau merupakan ilmu pengetahuan tentang hakekat hukum, sehingga dalam ilmu ini akan dikemukakan tentang dasar-dasar kekuatan mengikat dari hukum.

3.  Politik Hukum
Politik Hukum adalah disiplin hukum yang mengkhususkan dirinya pada usaha memerankan hukum dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan oleh masyarakat tertentu.
Sebab bila disimak tentang kondisi suatu masyarakat yang teratur maka senantiasa memiliki tujuan untuk mensejahterakan warganya, sedangkan politik hakekatnya merupakan sarana untuk mencapai tujuan sehingga politik juga merupakan aktifitas memilih tujuan tertentu.
Secara sederhana disiplin hukum dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut:






























BAB IV

ILMU HUKUM SEBAGAI ILMU KENYATAAN



                Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa ilmu kenyataan (Tatsachenwissenschaft atau Seinwissenschaft) menyoroti hukum sebagai perikelakuan atau sikap tindak. Termasuk sebagai ilmu-ilmu kenyataan hukum, adalah:

1.  Sosiologi Hukum
Sosiologi hukum adalah cabang ilmu pengetahuan yang secara empiris dan analitis mempelajari hubungan timbal bailk antara hukum sebagai gejala sosial dengan gejala-gejala sosial lain. Studi yang demikian ini memiliki karakteristik (sekaligus) merupakan “kunci” bagi orang yang berminat untuk melakukan penyelidikan dalam bidang sosiologi hukum), yaitu sebagai berikut:
a.        Sosiologi hukum bermaksud memberi penjelasan terhadap praktek-praktek hukum, seperti dalam pembuatan undang-undang, praktek peradilan dsb. Sosiologi hukum berusaha menjelaskan mengapa praktek demikian itu terjadi, faktor apa yang berpengaruh, latar belakangnya dsb. (oleh Max Weber disebut sebagai interpretative-understanding).
b.       Sosiologi hukum tidak hanya menerima tingkah laku yang tampak dari luar saja, melainkan ingin memperoleh pula penjelasan yang bersifat internal, yaitu yang meliputi motif-motif tingkah laku seseorang.
c.        Sosiologi hukum senantiasa menguji keabsahan empiris dengan usaha untuk mengetahui antara kaedah dan di dalam kenyataannya, baik dengan data empiris.
d.       Sosiologi hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum, tetapi mendekati hukum dari segi obyektivitas semata dan bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap fenomena hukum yang nyata.

2.  Antropologi Hukum
Antropologi hukum yaitu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari pola-pola sengketa dan penyelesaiannya pada masyarakat-masyarakat sederhana, maupun masyarakat yang sedang mengalami proses perkembangan dan pembangunan/modern.
Pendekatan yang dipakai dalam ilmu ini adalah pendekatan secara menyeluruh yang dilakukan terhadap manusia.
Maka karakteristik Antropologi Hukum terletak pada sifat pengamatan, penyelidikan secara menyeluruh terhadap kehidupan manusia. Hal inilah yang menempatkan terapan antropologi, dalam Antropologi Hukum, hingga mendapatkan hasil studi yang lebih mempunyai nilai universal baik dalam hubungannya dengan waktu maupun tempat, atau paling tidak menuju kesasaran itu.
Baginya “hukum” hendaknya diartikan lebih dari sekedar peraturan dan lembaga-lembaga pelaksanaannya yang formal.
Seperti dapat diikuti pada perumusan fungsi-fungsi yang diperankan oleh hukum, sebagai berikut:
a.        Merumuskan hubungan-hubungan antar anggota suatu masyarakat untuk menentukan perbuatan-perbuatan apa yang boleh dan yang tidak, dengan tujuan mempertahankan -paling tidak- integrasi minimal dari kegiatan orang-orang dan kelompok-kelompok dalam masyarakat.
b.       Keharusan untuk menjinakkan kekuatan yang belum mapan dan mengarahkannya pada pemeliharaan tatanan. Fungsi ini meliputi pengalokasian kekuasaan dan penegasan tentang siapa boleh menggunakan paksaan fisik sebagai suatu hak istimewa yang diakui secara sosial, bersama-sama dengan pemilihan bentuk-bentuk sanksi fisik yang paling efektif guna mencapai tujuan-tujuan sosial dari hukum.
c.        Penyelesaian-penyelesaian sengketa yang timbul.
d.       Melakukan perumusan kembali hubungan-hubungan antara orang-orang atau kelompok-kelompok manakala kondisi-kondisi kehidupan berubah, fungsi ini dijalankan untuk mempertahankan kemampuan beradaptasi.
Dari itu semua Antropologi Hukum memperhatikan dan menerima hukum sebagai bagian dari proses-proses yang lebih besar dalam masyarakat, sehingga ia melihat hukum tidak secara statis melainkan dinamis, yaitu dalam proses-proses terbentuknya dan menghilang secara berkesinambungan.
Atau dengan kata lain Antropologi hukum bagi perkembangan ilmu hukum, memberikan manfaat sebagai berikut:
·       Hasil penelitiannya dapat:
      memberikan gambaran tentang hukum dalam konteks kebudayaan suatu masyarakat;
      memberikan data tentang penerapan hukum tertulis dalam masyarakat yang majemuk;
      mengetahui sebab-sebab atau latar belakang, mengapa warga masyarakat enggan menyelesaikan masalah-masalah hukum pada Pengadilan;
      mengidentifikasikan tentang kebutuhan-kebutuhan hukum warga masyarakat, serta latar belakang sosial budayanya;
·       dapat ditelusuri sistem nilai-nilai yang menjadi dasar dari sistem hukum tertentu;
·       dengan menelaah bahan-bahan Antropologi hukum dapat diketahui pola-pola proses hukum manakah yang digunakan untuk menegakkan sistem nilai-nilai dalam masyarakat;
·       memberikan pengetahuan tentang kemungkinan digunakannya proses peradilan tidak resmi yang mungkin lebih efektif dari pada peradilan resmi.

3.  Psikologi Hukum
Psikologi hukum yaitu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari hukum sebagai suatu perwujudan dari perkembangan jiwa manusia. Psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku manusia (human behaviour), maka dalam kaitannya dengan studi hukum ia akan melihat hukum sebagai salah satu pencerminan perilaku manusia. Mengingat suatu kenyataan bahwa salah satu yang menonjol pada hukum, terutama pada hukum modern, adalah penggunaannya secara sadar sebagai alat mencapai tujuan-tujuan yang dihendaki. Sehingga sadar atau tidak, hukum memasuki bidang yang menggarap tingkah laku manusia (bidang psikologi). Leon Petrazycky beranggapan bahwa fenomena-fenomena hukum itu terdiri dari proses-proses psikhis yang unik, yang hanya dapat dilihat dengan menggunakan methoda introspeksi. Sedangkan hak-hak dan kewajiban sebagai hal yang ada hanya dalam pikiran manusia, tetapi mempunyai arti sosial, oleh karenanya ia menciptakan “pengalaman imperatif-atributif” yang mempengaruhi tingkah laku mereka yang merasa terikat olehnya.

4.  Sejarah Hukum
Sejarah hukum adalah salah satu bidang studi hukum yang mempelajari perkembangan dan asal usul sistem hukum dalam suatu masyarakat tertentu dan memperbandingkan antara hukum yang berbeda yang dibatasi oleh perbedaan waktu.
Dalam studi ini, ditekankan mengenai sistem hukum suatu bangsa merupakan suatu ekspresi jiwa yang bersangkutan dan oleh karenanya senantiasa yang satu berbeda dengan yang lain.
Perbedaan ini terletak pada karakteristik pertumbuhan yang dialami oleh masing-masing sistem hukum. Apabila dikatakan bahwa hukum itu tumbuh, maka yang diartikan adalah hubungan yang terus menerus antara sistem yang sekarang dengan sistem yang lalu. Apabila dapat diterima bahwa hukum yang sekarang berasal dari yang sebelumnya atau hukum yang sekarang dibentuk proses-proses yang berlangsung pada waktu yang lampau. Mengenai dan memahami secara sistematis proses-proses terbentuknya hukum, faktor-faktor yang menyebabkannya, dsb, memberikan tambahan pengetahuan yang berharga untuk memahami fenomena hukum dalam masyarakat.

5.  Perbandingan Hukum
Perbandingan hukum adalah (suatu methoda studi hukum) yang mempelajari perbedaan sistem hukum antara negara yang satu dengan yang lain. Atau membandingkan sistem hukum positif dari bangsa yang satu dengan bangsa yang lain (dua sistem hukum atau lebih).
Yang perlu mendapat perhatian bahwa di sini terdapat ius comparadum (hukum pembanding) dan ius comparatum (hukum dibanding) serta tertium comparatum (bahan/ukuran bandingan).
Maksudnya bahwa dalam membanding-bandingkan dua sistem hukum atau lebih, sebelumnya telah ditentukan suatu ukuran ideal tentang sistem hukum tertentu, sehingga arah dari perbandingan tersebut dapat ditentukan pula. Bahan-bahan yang diperoleh dari proses perbandingan tersebut pada akhirnya dapat dijadikan sarana guna memperdalam pemahaman terhadap sistem hukum tertentu.
 




                                                               
 




                                                                            
Keterangan      :         Hukum  sebagai  kenyataan  ia menghidup dalam pergaulan hidup manusia dan tercermin dalam sikap tidak warga masyarakat.





















BAB V
ILMU HUKUM SEBAGAI ILMU KAEDAH


1.    PENGERTIAN ILMU PENGETAHUAN
a.                     Definisi Ilmu Pengetahuan
Sebenarnya definisi itu sekedar merupakan suatu titik tolak bagi sesuatu penguraian dan analisa lebih lanjut, sehingga pada akhirnya menjadi lebih jelas batas-batas serta ruang lingkup penyediaan ilmu yang didefinisikan itu dan menjadi lebih teranglah sifat-sifat ilmu itu dan tempatnya dalam kerangka umum ilmu-ilmu yang lain.
Adapun salah satu definisi tentang ilmu adalah : bahwa ilmu merupakan akumulasi pengetahuan yang disistematisasikan. Definisi tentang ilmu seperti dikemukakan di atas sebenarnya terlalu luas dan baru akan menjadi lebih jelas, apabila dapat ditegaskan lebih lanjut arti yang lebih terperinci mengenai pengetahuan, dan arti tentang sistematik dan organisasi yang digunakan dalam definisi itu.
Ilmu dapat pula dilihat sebagai suatu pendekatan atau suatu metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris, yaitu dunia yang terikat oleh faktor ruang dan waktu, dunia yang pada prinsipnya dapat diamati oleh panca indera manusia.
Dalam definisi ini titik berat diletakkan kepada metode ilmu. Memang yang mengikat semua ilmu adalah adanya metode ilmu yang digunakan untuk mensistematisasikan seluruh pengetahuan yang sifatnya masih fragmentaris itu.
Demikian itu apabila dipelajari definisi tentang ilmu tersebut, maka akan diketahui bahwa ciri-ciri yang pokok yang terdapat pada pengertian ilmu itu adalah:
1. Bahwa ilmu itu rasional.
2. Bahwa ilmu itu bersifat empiris.
3. Bahwa ilmu itu bersifat umum.
4. Bahwa ilmu itu bersifat akumulatif.
Penjelasan:
Bahwa yang dimaksud dengan rasional di sini adalah suatu sifat kegiatan berpikir yang dituduhkan kepada logika formal dengan urutan berpikir silogistik, di mana kemampuan untuk berpikir rasional pada manusia dibawa oleh kemampuannya untuk dapat berpikir secara abstrak. Di samping itu manusia adalah makhluk yang dapat berpikir secara kompleks dan konsepsional, serta dia menyadari akan dimensi waktu masa lampau, sekarang dan masa yang akan datang.
Berpikir rasional sebenarnya dapat digunakan dan atau diterapkan kepada dunia empiris dan non-empiris. Akan tetapi ilmu adalah hasil daripada berpikir rasional yang ditunjukkan atau diterapkan kepada dunia empiris saja. Maka sampailah kita kepada sifat yang kedua dari yaitu sifat-sifat empiris di samping rasional.
Ilmu dikatakan bersifat empiris, oleh karena konklusi-konklusinya yang diambil harus dapat ditundukkan kepada pemeriksaan atau pada verifikasi panca indera manusia.
Dalam hubungan dengan sifat empiris dari ilmu itu para ilmiawan dan terutama para filsuf dewasa ini kebanyakan sependapat, bahwa kita tidak dapat mempelajari dunia dan mengembangkan ilmu tanpa bantuan panca indera kita. Hal itu terbentuk dalam preposisi ilmiah yang antara lain adalah kaedah-kaedah logika formal dan hukum-hukum kuasalitas, yang menjadi dasar-dasar ilmu yang menghasilkan kebenaran-kebenaran yang bersifat relatif. Ilmu yang terdiri atas 2 (dua) unsur besar fakta dan teori, mendefinisikan, sedang teori mempunyai fungsi menetapkan hubungan yang terdapat diantara fakta-fakta itu. Sehingga tanpa adanya sistem atau tanpa adanya prinsip yang mengatur, singkatnya tanpa teori, fakta tidak mempunyai sesuatu arti. Oleh karena itu kelirulah anggapan kebanyakan orang yang mengatakan bahwa fakta lebih penting dari pada teori atau sebaliknya. Fakta dan teori atau sebaliknya. Fakta dan teori sangat erat hubungannya dan mempunyai hubungan yang fungsional.
Ilmu bersifat umum maksudnya, bahwa kebenaran-kebenaran yang dihasilkan oleh ilmu itu dapat diverifikasikan oleh peninjau-peninjau ilmiah yang mempunyai hak dan kemampuan untuk melakukan itu.
Obyek maupun metode ilmu harus dapat dipelajari dan diikuti secara umum (open baar) dan dapat diajarkan dalam kelas bersama-sama. Kebenaran-kebenaran yang dihasilkan oleh sesuatu ilmu tidak bersifat rahasia dan tidak dirahasiakan, melainkan hasil-hasil kebenaran ilmu justru memiliki ilmu sosial, serta kewibawaan ilmiah setelah hasil-hasil itu diketahui, diselidiki dan dibenarkan validitasnya oleh sebanyak mungkin ahli dalam bidang ilmu tersebut, jadi bersifat open baar (umum).
Sedangkan sifat lain dari ilmu yang harus dapat dikatakan akumulatif oleh karena ilmu yang kita kenal merupakan kelanjutan dari ilmu yang telah dikembangkan sebelumnya.
Dalam proses perkembangan atau dalam proses kumulasinya konklusi-konklusi dari ilmu biasanya bersifat tentatif. Di mana ilmu itu akan bersifat korektif terhadap konklusi yang diperolehnya. Sehingga jika suatu konklusi itu kemudian ternyata tidak/kurang benar, maka dalam perkembangan selanjutnya ilmu itu akan mengkoreksi dirinya sendiri.

b.                    Metode Ilmu Pengetahuan
Metode ilmu adalah suatu prosedur berpikir teratur yang digunakan dalam penelitian untuk memperoleh konklusi-konklusi ilmiah berdasarkan atas postulat-postulat dan preposisi-preposisi ilmiah tertentu.
Prinsipnya -sekurang-kurangnya- metode ilmu itu meliputi:
1.       Pernyataan masalah penelitian;
2.       Pemecahan masalah/soal yang dirumuskan (penentuan atau pengembangan hipotesa);
3.       Melakukan tes/uji coba dan verifikasi terhadap hipotesa.
c.     Sikap Ilmiah
Sikap ilmiah adalah sikap-sikap yang seharusnya dimiliki oleh setiap ilmuan dalam melakukan tugasnya untuk mempelajari, meneruskan, menolak atau menerima serta merubah atau menambah ilmu.
Dengan kata lain seorang ilmuan harus memiliki sikap bathin tertentu, sesuai dengan makna dan maksud dari apa yang menjadi niat dan apa yang hendak dilakukan. Adapun sikap ilmiah itu, antara lain :
1.       Obyektivitas;
2.        Beranggapan sesuatu itu serba relatif;
3.       Selalu curiga atau tidak segera percaya (skeptif);
4.       Memiliki kesabaran intelektual;
5.       Memiliki kesederhanaan dalam berpikir, berpendapat dan menguji/ membuktikan;
6.       Tidak memihak pada etik atau bebas nilai.

2.   ILMU PENGETAHUAN KAEDAH
Dalam ilmu pengetahuan kaedah (norm-wissenschaft/sollen-wissenschaft/ilmu-ilmu normatif) apa yang tertuang dalam perangkat ilmu pengetahuan sebagaimana telah dijelaskan di depan diterapkan dalam mempelajari kaedah atau norma yang tumbuh, hidup, berkembang, dan hilang, mati, tenggelam bersama-sama dengan tumbuh, hidup, berkembang, dan hilang, mati, tenggelamnya pola hidup pergaulan di masyarakat.
Di mana pola hidup yang dimaksud adalah sesuatu struktur atau susunan dari kaedah-kaedah untuk hidup. Sehingga dapat dikatakan bahwa kaedah merupakan patokan atau ukuran atau pedoman untuk berkelakuan atau bersikap tindak dalam hidup.
Bila lebih dicermati maka kaedah merupakan perumusan pandangan mengenai perilaku dan sikap tindak yaitu sikap tindak dan perilaku yang baik dan buruk, yang patut dan tidak patut, dalam ketentuan-ketentuan yang telah menghidup, membumi di dalam pergaulan hidup dari waktu ke waktu, yang hanya akan berubah apabila kelompok pergaulan tersebut menghendakinya.
Kaedah-kaedah itu terwujud secara alamiah dan dianut baik yang tidak tertulis maupun yang tertulis. Di dalamnya terdapat beberapa kaedah, di samping terdapat kaedah hukum, juga banyak terdapat kaedah-kaedah lain yang bukan merupakan kaedah hukum. Yang bersifat sebagai kaedah hukum proses pengkaedahannya berlangsung secara tidak tertulis, namun pada masyarakat modern yang telah komplek seperti sekarang ini, banyak pengkaedahan yang melalui proses pembuatan undang-undang (tertulis).
Jadi dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan kaedah adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari dan menelaah proses terjadinya kaedah atau pengkaedahan.


3.    ILMU HUKUM SEBAGAI ILMU KAEDAH
a.   Ide hukum, hukum positif dan paham hukum.
Ilmu hukum sebagai ilmu kaedah, merupakan ilmu yang menelaah ilmu sebagai ilmu kaedah, atau sistem kaedah-kaedah dengan dogmatik hukum atau sistematik hukum, sedemikian rupa sehingga dapat dipahami dengan jelas tentang hukum sebagai ilmu kaedah.
Apabila kita memandang dan menyelidiki masyarakat, yakni sebagai suatu kenyataan, maka dapat ditemui berupa-rupa gejala yang dapat diuraikan secara sosiologis dan/atau psikologis (misalnya: hubungan diantara agama dengan kejahatan; diantara pernikahan dan perceraian; dan sebagainya). Hasil uraian itu semata-mata merupakan gubahan saja, yaitu tentang keadaan yang terdapat dalam kenyataan sosial, tanpa memberikan penghargaan kepada gejala-gejala itu. Dengan cara itu kita tidak mementingkan nilai gejala-gejala itu (kita tidak mengatakan suatu apa-apa tentang betapa jahatkah kejahatan itu; betapa buruklah perceraian pernikahan itu); kita hanya menggubahkan gejala-gejala itu, sebagaimana gejala itu telah kita tangkap dengan panca indera kita dalam dunia kenyataan.
Lain halnya apabila kita mepersoalkan harta benda kebudayaan (“Kulturguiter”); di sanalah gubahan yang semata-mata gubahan saja, sekali-kali tidak memuaskan. Kepada arti harta benda kebudayaan (misalnya; kesenian, hukum, juga menurut suatu arti yang tertentu; agama), kita senantiasa mengaitkan juga suatu penilaian.
Kita akan mengakui bahwa manusia dikuasai oleh nilai-nilai yang mutlak, dan oleh ide-ide, yang menjadi alasan sehingga manusia merasa terdorong berbuat sesuatu. Manusia hendak hidup dengan penuh keinsafan, sebagaimana budi manusia meluluskannya; dengan demikian manusialah yang menyesuaikan diri dengan ide-ide itu. Yang dimaksudkan ialah misalnya: Ide kebenaran, ide keindahan, ide kemuliaan dan ide keadilan. Justru itulah sebabnya bahwa kita selalu mempertalikan pertimbangan tentang nilai kepada hal-hal dan perlakuan-perlakuan yang terdapat di dalam dunia kenyataan itu. Apabila dinyatakan sesuatu tentang “baik atau buruk”, atau sebagai “bagus atau jelek”, atau sebagai “indah atau keji”, maka kita mengucapkan sesuatu penilaian, hanya berdasarkan ide-ide mutlak itulah dapat kita yang menyatakan demikian.
Ide terletak di dalam dunia ide, gejala-gejala, yang di dalam dunia kenyataan, hanya dapat dimengerti sebagai pengabdian kepada ide itu. Segala hasil usaha manusia hanya dapat dimengerti dan difahamkan dari sudut idenya. Hanya harus diperhatikan bahwa hasil itu berbeda menurut tempat dan waktu. Juga terdapat kaedah-kaedah harus difahami idenya.
Bagaimana halnya dengan hukum ?
Apakah yang menjadi dasarnya yang mutlak ?
Menurut pandangan golongan ahli filsafat Neo Kantian, seperti tokohnya ahli filsafat hukum Gustav Radbruch, maka ide hukum itu tidak lain adalah keadilan saja (Rechtsphilosophie 1950), ide hukum itu terletak di dalam dunia nilai-nilainya yang mutlak.
Mulai dari zaman purbakala, semenjak manusia hidup bersama-sama di dalam ikatan-ikatan tertentu, kaedah-kaedah hukum menguasai masyarakat. Masyarakat sendiri, yang disusun menurut kehendak hukum positif dinamakan tertib hukum, kita berharap pula supaya hukum positif itu berorientasi atas keadilan sebagai ide hukum.
Radbruch mengatakan hukum (positif) ialah kenyataan yang bermaksud mengabdikan kepada nilai hukum, kepada ide hukum; dan bahwa hukum (positif) merupakan kenyataan, yang mempunyai pengetian akan mengabdi keadilan. Jadi, apabila dipelajari sumber-sumber hukum positif (yaitu; sumber di dalam arti zahiri); maka kita jumpa bentuk-bentuk yang berupa hukum yang bermaksud mengabdi kepada keadilan. Kita khayalkan saja bahwa hukum positif itu memenuhi maksudnya yang mulia itu sesungguhnya dengan demikian kita dapat menyebutkan berikut-berikut hukum positif itu sebagian lambang-lambang dari pada ide hukum hal itu tidak berarti bahwa seluruh hukum positif benar-benar berorientasi kepada ide hukum; perumusan itu mengandung kemungkinan bahwa akan terdapat jenis-jenis hukum positif benar-benar berorientasi kepada ide hukum; perumusan itu mengandung kemungkinan bahwa akan terdapat jenis-jenis hukum positif juga yang tidak memenuhi maksud itu. Akan tetapi kaedah hukum positif itu yang tidak berorientasi kepada ide hukum tidak dapat dipandang sebagai lambangnya. Kaedah-kaedah hukum itu harus dinyatakan dalam bentuk-bentuk zahiri, sehingga bentuk itu dapat ditangkap dengan panca indera; tanda-tanda itu tidaklah identik dengan kaedah, malahan tanda itu hanyalah lambang kaedah itu.
Sehubungan dengan hal itu, kita menemui suatu sifat baru, yakni pendapat kita mengenai hukum. Maksudnya bahwa inti pengertian yang menentukan bahwa kaedah-kaedah yang ditentukan adalah kaedah hukum, dan bahwa kaedah-kaedah lain bukanlah kaedah hukum. Pengertian itu dapat dinamakan "paham-paham" / der rechtbegrif”.
Jadi syarat tersebut dapat dirumuskan bahwasannya lambang hukum yang dapat ditangkap oleh panca indera harus pula dengan hukum itu.
Sebagai ilustrasi, seringkali berdasarkan kebiasaan dapat dibuktikan apakah suatu perbuatan adalah penjelmaan hukum atau bukan. Yang merupakan penjelmaan hukum termasuk dalam “hukum kebiasaan”, sedangkan yang bukan merupakan penjelmaan hukum atau kebiasaan-kebiasaan yang tidak diakui oleh hukum termasuk dalam “kelaziman”.
Perbedaan antara perilaku sebagai penjelmaan hukum, dengan perilaku yang dinilai kelaziman, haruslah dihubungkan pada ada atau tidak adanya paham hukum. Baik hukum kebiasaan maupun kelaziman membebankan kehendaknya kepada anggota-anggota masyarakat; keduanya memberikan aturan tingkahlaku kepada manusia supaya ia menyesuaikan kelakuannya pada petunjuk-petunjuk itu, di samping itu, keduanya dapat mempergunakan paksaan, supaya mereka yang ingkar dalam memperhatikan perintahnya akan menyesuaikan diri kepada perintah-perintah itu.
Perbedaannya, bahwa terhadap hukum kebiasaan dipertalikan “kuasa” (die macht) sedangkan terhadap kelaziman tidak.
(Renungan pernyataan/postulat ini, dan kondisionalkan dengan eksistensinya di Indonesia ?).



b.   Kebiasaan dan Atau Hukum Kebiasaan  
Kebiasaan dapat dipandang sebagai penjelmaan atau perwujudan hukum, oleh sebab itu kiranya tepat apabila terhadapnya juga diistilahkan sebagai Hukum Kebiasaan.
Syarat-syarat yang dapat membuktikan perilaku itu telah menjadi hukum kebiasaan ialah :
1.       Hendaknya diperhatikan oleh yang berkepentinggan pada umumnya dan seringkali dihubungkan perhatian dalam kurun waktu yang lama;
2.       Yang berkepentingan harus sadar bahwa kelakuan mereka itu (kebiasaan itu) sesuai dengan kehendak hukum; dan harus insaf bahwa mereka terikat kepada kebiasaan (karena merupakan hukum).
Mengingat sifat mengikatnya hukum kebiasaan tersebut, maka dalam kondisi seperti saat ini, di mana disadari bersama bahwa bersamaan dengan kebiasaan maka telah melembaga adanya undang-undang (hukum tertulis) yang nota bene merupakan tolok ukur utama dalam memahami suatu tatanan hukum, dengan kata lain dalam kondisi tertentu, kebiasaan dapat disederajadkan dengan undang-undang, sehingga sering kali pemahaman ini di samping akan bersifat melengkapi juga memungkinkan menimbulkan kondisi pertikaian perwujudan hukum diantara kebiasaan disatu sisi dan undang-undang di sisi lain. Terhadap kondisi ini. Dalam ilmu hukum dikenal adanya :
1.       Consuetudo praeter legem (kebiasaan yang menambah atau menjelaskan undang-undang); tetapi janganlah undang-undang dipandang sebagai kebiasaan-kebiasaan yang dikitabkan, melainkan perlu dihayati bahwa hasil pekerjaan pembuat undang-undang merupakan perwujudan dari hukum itu sendiri (di samping kebiasaan terdapat bentuk-bentuk hukum lain);
2.       Consuetudo praeter legem (kebiasaan yang bertentangan dengan undang-undang); kebiasaan yang bertentangan dengan undang-undang dapat mengakibatkan undang-undang dihapuskan (Consuetudo aobrogatoria), ataupun bahwa undang-undang itu tidak diperhatikan lagi.

4. HUKUM dan INTERDISIPLIN ILMU 
Di dalam batasan disiplin, dibedakan antara disiplin analitis (merupakan sistem ajaran yang menganalisa memahami dan menjelaskan gejala-gejala yang dihadapi) dan disiplin perspektif (merupakan sistem ajaran yang menentukan apakah yang seyogyanya atau yang seharusnya dilakukan di dalam menghadapi kenyataan tertentu).
Dari batasan tentang disiplin tersebut maka dapat dipahami bahwasannya disiplin hukum (sebagai sistem ajaran mengenai kenyataan atau gejala-gejala hukum yang ada dan hidup di tengah pergaulan) merupakan disiplin perspektif, yang berusaha menentukan apa yang seyogyanya, seharusnya dan patut dilakukan dalam menghadapi kenyataan.
Dengan melihat kenyataan bekerjanya hukum di dalam masyarakat, maka ilmu hukum yang bersifat perpektif tidak dapat “bekerja” sendiri, melainkan senantiasa interdisipliner dengan berbagai ilmu lain, baik yang bersifat analitis maupun yang sama perspektif, sebab untuk menjabarkan hukum dalam kehidupan masyarakat, serta kaedahnya yang menetapkan apa yang seharusnya dengan sanksi yang mengikat, serta melindungi hak dan kepentingan yang berhubungan benda-benda nyata yang bergerak maupun benda-benda kondisional alamiah, maka hukum harus berdampingan dengan interdisiplin ilmu.
Secara umum (berdasarkan atas obyek penelitiannya) interdisiplin ilmu dikelompokkan ke dalam:
·         Ilmu-ilmu pengetahuan alam, yang berusaha menyelidiki seluruh lingkungan alam manusia (seperti : Biologi, Kimia, Fisika, dsb);
·         Ilmu-ilmu pengetahuan alam, yang berusaha menyelidiki seluruh aspek rasional manusia yang hidup dalam kelompok atau masyarakat (seperti ; Sejarah, Ilmu Hukum, Ilmu Ekonomi, Ilmu Politik, Sosiologi, Antropologi, dsb);
·         Ilmu-ilmu kerohanian, yang berusaha menyelidiki aspek-aspek tertentu kebudayaan masyarakat yang erat kaitannya dengan sistem nilai-nilai etik dan estetik.
    

BAB  VI

ILMU HUKUM SEBAGAI ILMU PENGERTIAN





Pengantar

Ilmu pengertian yang dimaksud dalam konteks pembahasan di sini adalah ilmu pengertian hukum yaitu ilmu tentang pengertian-pengertian pokok dalam hukum, antara lain masyarakat hukum, subyek hukum (termasuk hubungan hukum), peranan hukum, peristiwa hukum (termasuk perbuatan hukum), obyek hukum, akibat hukum.

1.    Masyarakat Hukum
Apabila ditelaah suku bangsa di Indonesia, maka akan nampak suatu masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok yang berhubungan satu dengan yang lain, termasuk pula dengan alam yang tidak nampak, terhadap dunia luar dan terhadap alam kebendaan, kelompok-kelompok ini dapat  disebut sebagai masyarakat hukum.
Dalam pergaulan hukum mereka yang merasa menjadi anggota dari ikatan-ikatan itu bersikap dan bertindak sebagai suatu kesatuan. Di mana terjadinya masyarakat itu merupakan takdir alam sebagai suatu kenyataan dari kekuatan gaib, sehingga tiada seorangpun yang berpikiran atau berangan-angan, akan kemungkinan membubarkan kelompok-kelompok itu, paling-paling dalam keadaan tertentu -yang dianggapnya tidak dapat dielakkan sehingga seseorang- menggagalkan kelompok itu.
Atau dapat dikatakan bahwa terjadinya kelompok itu adalah karena kodrat alam (manusia makhluk sosial), yang karena kodratnya itu manusia ingin selalu hidup berkelompok. Dalam berkelompok mereka menentukan sendiri tentang peraturan-peraturan yang menjadi pedoman tingkah laku baik yang dibuat secara sadar dan dikehendaki maupun karena kebiasaan beberapa orang bertingkah laku demikian secara berulang-ulang dan anggota yang lain mengikutinya karena mereka yakin bahwa memang seharusnya demikian. Antara kelompok yang satu dengan yang lain dalam menentukan peraturan maupun perilaku yang dianggap seharusnya dilakukan, tidak selalu sama dikarenakan terdapat perbedaan aturan diantara sesama kelompok atau masyarakat sesuai dengan tingkat kebudayaan dari masing-masing kelompok.
Dalam masyarakat yang sudah maju kebutuhan hidup anggotanya akan lebih kompleks dibanding dengan masyarakat primitif, sehingga persoalan yang timbul dalam pergaulan untuk memenuhi kebutuhan masing-masing semakin kompleks dan akibatnya peraturan yang berfungsi mengatur pergaulan hidup merekapun kompleks dan lebih baik dibanding sebelumnya.
Di Indonesia yang wilayahnya demikian luas juga terdapat berbagai kelompok atau masyarakat baik yang masih primitif maupun yang sudah maju, sehinga peraturan hidup masing-masing kelompok itupun saling berbeda. Menurut V. Volen Hoven kelompok-kelompok tersebut merupakan masyarakat hukum adat Indonesia.
Dari uraian tersebut, dapat dipahami bahwa Masyarakat Hukum adalah sekelompok orang yang berdiam di wilayah tertentu, di mana di dalam kelompok tersebut berlaku serangkaian peraturan yang menjadi pedoman tingkah laku bagi setiap anggota kelompok dalam pergaulan hidup mereka.

2.    Subjek Hukum
Apa yang dikatakan sebagai  subyek menurut hukum adalah apa yang dapat memiliki hak dan kewajiban. Jadi subyek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban. Jadi subyek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban, maka ia memiliki kewenangan untuk bertindak (menurut hukum).
Sedangkan yang dapat menjadi subyek hukum adalah :
  1. manusia/orang (natuurjlke persoon); dan
  2. badan hukum (rechts persoon).
Semua orang tidak dibedakan apakah ia warga negara atau orang asing, apakah ia laki-laki atau perempuan dapat menjadi subyek hukum. Orang sebagai hukum pada dasarnya dimulai sejak ia lahir dan berakhir setelah hukum pada dasarnya dimulai sejak ia lahir dan berakhir setelah orang itu meninggal dunia.
Orang sebagai subyek hukum mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dan menerima hak-haknya. Dengan kata lain ia berwenang untuk melakukan tindakan-tindakan hukum misalnya mengadakan perjanjian, melakukan perkawinan, membuat surat wasiat dan lain-lain. Orang sebagai subyek hukum kewenangan untuk bertindaknya dibatasai oleh faktor-faktor atau keadaan tertentu. Seseorang dinyatakan wenang untuk melakukan tindakan hukum apabila:
  1. Orang itu telah dewasa.
  2. Orang itu sehat rohani/jiwanya, tidak ditaruh di bawah pengampuan.
Dengan demikian maka seseorang yang  wenang  hukum belum tentu cakap hukum karena orang dewasa wenang melakukan tindakan hukum tetapi dalam keadaan tertentu ia tidak cakap melakukan tindakan hukum. Seseorang dianggap cakap melakukan tindakan hukum apabila ia cakap untuk mempertanggungjawabkan sendiri segala tindakan-tindakannya. Jadi seseorang itu dianggap cakap hukum harus memenuhi dua syarat tersebut yaitu dewasa, sehat rohani/jiwanya, tidak di bawah pengampuan. Seseorang yang masih di bawah umur atau di bawah pengampuan untuk melakukan tindakan hukum harus diwakili oleh orang tua atau walinya.
Badan hukum sebagai subyek hukum ialah suatu badan atau wadah yang memenuhi persyaratan tertentu sehingga badan itu disebut badan hukum. Suatu badan dikatakan sebagai badan hukum karena ketentuan badan itu sendiri misalnya koperasi, gereja, masjid. Tetapi di samping itu ada badan lain yang untuk dapat disebut sebagai badan hukum harus memenuhi syarat tertentu ialah bahwa akte pendirian badan itu harus disahkan oleh Mahkamah Agung dan diumumkan melalui Berita Negara. Contoh : Perseroan Terbatas (PT).
Badan hukum  sebagai subjek hukum juga wenang melakukan tindakan hukum misalnya mengadakan perjanjian dengan pihak lain, mengadakan jual beli, dan hal itu dilakukan oleh pengurusnya. Menurut hukum yang mengaturnya badan hukum dibedakan menjadi 2 (dua):
  1. Badan hukum publik yaitu badan hukum yang didirikan dan diatur menurut hukum publik. Contoh: desa, kota madya, propinsi, negara.
  2. Badan hukum perdata yaitu badan hukum yang didirikan dan diatur menurut  hukum perdata. Contoh: perseroan terbatas, koperasi yayasan, gereja (badan hukum perdata Eropa), gereja Indonesia, masjid, wakaf, koperasi di Indonesia (Badan Hukum Perdata Indonesia).
Dalam masyarakat hukum antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain, dalam kondisi tertentu kadang melakukan persetujuan atau melakukan hubungan, di mana hubungan itu diatur tata laksananya oleh hukum (disebut hubungan hukum) yang di dalamnya berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Hubungan hukum tersebut dapat dibedakan antara hubungan hukum sepihak dan hubungan hukum timbal balik.

3.    Peranan Hukum
Hukum mempunyai peranan sangat besar dalam pergaulan hidup di tengah-tengah masyarakat, khususnya dalam penentuan hak dan kewajiban serta perlindungan kepentingan sosial dan para individunya.
Dalam konteks pergaulan hidup para individu, hukum berperan sedemikian rupa sehingga sesuatu yang berkaitan dengan hubungan antara individu yang satu dengan yang lain dapat berjalan dengan tertib dan terattur, karena hukum secara tegas menentukan hak dan kewajiban mereka masing-masing. Sampai dalam kaitannya dengan pemerintahpun, hukum menentukan tugas, kewajiban dan wewenang yang jelas sehingga hubungan antara individu dengan pemerintah berjalan dengan lancar karena masing-masing mengetahui apa yang menjadi hak dan kewajibannya dalam melaksanakan perannya di tengah kehidupan bersama, hukum mempunyai fungsi yang sangat penting (pendapat JF Glastra Van Loon); yaitu:
a.Penertiban (penataan) masyarakat dan pengaturan pergaulan hidup;
b.       Penyelesaian pertikaian;
c.Memelihara dan mempertahankan tata tertib dan aturan-aturan jika perlu dengan kekerasan;
d.       Pengaturan atau memelihara dan mempertahakankan hal tersebut;
e.Pengubahan tata tertib dan aturan-aturan dalam rangka penyesuaian pada kebutuhan-kebutuhan dari msyarakat;
f.         Pengaturan tentang pengubahan tersebut.
Jadi hukum mewujudkan fungsi-fungsi tersebut agar ia dapat  memenuhi tuntutan “keadilan” (rechtsvaardigheid/justice), “hasil guna” (doelmatigheid/aspek materi yang ditujukan pada tujuan kegunaan hukum bagi kepentingan sosial), dan “kepastian hukum” (rechtszekerheid/legal security yaitu kepastian yang sifatnya universal).

4.     Peristiwa Hukum
Peristiwa hukum adalah semua peristiwa atau kejadian yang dapat menimbulkan akibat hukum, antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan hukum.
Dari batasan tersebut dapat diketahui bahwa dalam peristiwa hukum akan diketahui adanya peristiwa yang merupakan perbuatan subyek hukum (misal : peristiwa pembuatan surat wasiat, peristiwa menghibahkan barang, dsb) dan yang bukan perbuatan subyek hukum (misal : kelahiran bayi, kematian seseorang, kadaluwarsa baik kadaluwarsa yang menimbulkan hak/kadaluwarsa aquisitief, maupun kadaluwarsa yang melenyapkan kewajiban/kadaluwarsa extincief).
Sedangkan perbuatan subyek hukum dapat dibedakan menjadi:
a.       Perbuatan subyek hukum yang merupakan perbuatan hukum yaitu perbuatan-perbuatan yang akibat hukumnya dikehendaki oleh pelaku;
b.        Perbuatan subyek hukum yang bukan merupakan perbuatan hukum yaitu perbuatan-perbuatan yang akibat hukumnya tidak dikehendaki oleh pelaku.
c.        Peristiwa hukum tersebut dapat mengenai berbagai segi hukum baik hukum publik maupun hukum privat.

5.   Obyek Hukum
Obyek hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum (orang atau badan hukum) dan yang dapat menjadi pokok suatu hubungan hukum, karena sesuatu itu dapat dikuasai oleh subyek hukum.
Dalam hal ini tentunya sesuatu itu mempunyai harga dan nilai, sehingga memerlukan penentuan siapa yang berhak atasnya dan penguasanya diatur oleh kaedah hukum

6.   Akibat Hukum
Akibat hukum adalah suatu akibat yang ditimbulkan oleh adanya suatu peristiwa dan atau hubungan hukum.
Hal tersebut dikarenakan suatu hubungan hukum melahirkan hak dan kewajiban yang telah ditentukan oleh undang-undang, sehingga apabila hak tidak diterima dan atau kewajiban tidak dilaksanakan maka akan menimbulkan akibat (hukum), bahwa yang tidak dilaksanakannya dapat dituntut di muka Pengadilan.




















BAB Vll

TERJADINYA HUKUM DAN FUNGSINYA DALAM  MASYARAKAT


a.     Terjadinya  Hukum
Tentang terjadinya hukum atau tumbuh dan berkembangnya hukum menurut JP Glastra van Loon secara umum terdapat dua pandangan ekstrim, yaitu:
  1. Pandangan Legisme
Menurut pandangan ini hukum terbentuk hanya oleh perundang-undangan (wetgeving).  Di mana hakim secara tegas terikat pada undang-undang dan peradilan sebagai lembaga yang secara mekanis menerapkan ketentuan undang-undang pada kejadian kejadian kongkret (kasus-kasus).  Sedangkan kebiasaan hanya akan memperoleh kekuatan hukum apabila diakui oleh undang-undang .
Seperti yang dikemukakan oleh Jeremi Betham “bahwa hukum di buat oleh pembentuk undang-undang”.

  1. Pandangan Freirechtlehre.
Menurut  pandangan   ini hukum  terbentuk hanya oleh peradilan (rechtspraak); undang-undang dan kebiasaan dan sebagainya, hanyalah sarana pembantu bagi hukum dalam menemukan hukun pada kasus-kasus konkret. Kegunaan ini hanya menitik beratkan pada aspek kegunaan sosial (socialedoelmatgheid). Sebagaimana dikemukakan oleh Von Savigny yang menyatakan bahwa ”hukum terjadi dalam pergaulan”.
Pandangan-pandangan tersebut secara tegas membedakan tentang terjadinya hukum berasal dari perundang-undangan dan yang berasal dari peradilan, serta masing-masing  hanya mengakui dominasinya. Namun dalam perkembangan dewasa ini dipahami bahwasannya pandangan-pandangan tersebut sangat exstrim dan bertentangan serta terlalu mendikotomiskan tentang terjadinya hukum. Dan berdasarkan ilmu hukum ternyata pandangan-pandangan tersebut tidak dapat di pertahankan lagi, sehingga muncullah pandangan yang ketiga yaitu pandangan hukum yang modern, yang berkembang hingga saat sekarang (dewasa ini).

3.    Pandangan Hukum modern
Dalam pandangan yang berkembang tentang terjadinya hukum dewasa ini telah berkembang suatu ajaran yang dapat lebih menjelaskan tentang terjadinya hukum yang merupakan kompromi dari kedua pandangan tersebut, sebagai berikut:
“Bahwa hukum terbentuk melalui beberapa cara; pertama-tama karena pembentuk undang-undang (wetgever) membuat aturan-aturan umum, sehingga hakim harus menerapkan undang-undang. Namun penerapan undang-undang tidak dapat berlangsung secara ‘mekanis’ melainkan menuntut interprestasi (penafsiran) dan karena itu dalam penerapannya memerlukan kreatifitas,  mengingat perundang-undangan dibentuk tidak lengkap sempurna, kadang-kadang harus digunakan istilah-istilah yang kabur maknanya dan harus dijelaskan lebih jauh oleh hakim, kadang-kadang terdapat kekosongan (leemtes) dalam undang-undang yang harus diisi oleh proses peradilan.
Di samping oleh perundang-undangan dan peradilan ternyata hukum terbentuk karena kebiasaan yang terhadapnya para pelaku pergaulan sosial itu menganggap saling terikat, sekalipun kebiasaan itu tidak ditetapkan secara eksplisit. Dan dalam rangka memelihara kesatuan hukum dalam proses pembentukan hukum maka disamping diselenggarakan peradilan biasa (Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi) difungsikan juga adanya Peradilan Kasasi.
Sebagaimana dikemukakan oleh Eugen Erlich, yang menjelaskan “bahwa dengan melihat kenyataan pada masyarakat modern hukum dapat terjadi melalui perundang-undangan, karena proses di dalam pengadilan dan bisa karena kebiasaan, traktat dan sebagainya.
Kesimpulan :           bahwa   hukum terbentuk karena perundang-undangan, kebiasaan dan dalam proses peradilan.

b.    Pembentukan Hukum (Dalam Yurisprudensi Indonesia)
Di dalam hukum positif (undang-undang, traktat, kebiasaan) kaedah-kaedah hukumnya bersifat umum, dimana di dalam kaedah itu ditetapkan ketentuan-ketentuan tentang tingkah laku orang pada umumnya; setiap orang yang dimaksudkan kaedah hukum itu haruslah menginsyafinya dan sadar bahwa apa yang diatur dalam ketentuan tersebut berlaku terhadapnya.
Proses pembentukan dari hukum positif tersebut berlangsung dalam dua (2) bentuk hukum yaitu:
1.   Hukum Obyektif
Kaedah hukumnya dibentuk dan biasanya dirumuskan secara teoritis peristiwa-peristiwa yang mungkin terjadi dalam pergaulan masyarakat, serta ditetapkan pula akibat-akibat dari suatu peristiwa  dan atau perbuatan hukum yang mungkin tejadi. Atau secara singkat kaedah hukum ini di rumuskan sebagai berikut : ”Inilah yang terjadi, maka itulah akibatnya”.
2.    Hukum Subyektif
Kaedah hukumnya dibentuk melalui proses perhubungan yang muncul diantara dua orang oknum (atau lebih) -termasuk didalamnya badan yang bertindak sebagai oknum- di mana mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang dinyatakan secara teoritis termasuk di dalam kaedah hukum (hukum objektif), sehingga terhadap mereka harus memikul akibat hukumnya, hanya saja karena melibatkan oknum maka akibat hukum yang terdapat dalam hukum obyektif dipertalikan dengan orang/ oknum yang melakukan perbuatan itu.  Terhadap pembentukan hukum tersebut (di negara-negara modern) telah ada alat-alat yang menyelidiki tentang perbuatan yang terjadi itu telah sesuai dengan kaedah hukum yang disusun secara teoritis ataukah tidak, alat itu adalah hakim (pengadilan).
Berikut ini beberapa hal mengenai bagaimana hakim harus melaksanakan tugasnya yang diatur dalam Algemene Bapelingen Van Wetgaving (A.B) atau ketentuan umum tentang perundang-undangan (K.U.T.P), -yang pada akhirnya merumuskan perkembangan yurisprudensi di Indonesia-, sebagai berikut:
1.       Dalam Pasal 20 A.B, hakim diwajibkan mengadili menurut undang-undang, dan dilarang mempertimbangkan ”nilai rohani atau keadilan undang-undang”. Maksudnya apabila di dalam undang-undang  telah ditetapkan suatu kaedah hukum maka hakim diwajibkan mempergunakan kaedah itu, ia tidak boleh menyimpang dari hukum yang dinyatakan secara positif.
2.       Pasal 21 A.B menyatakan : “ Tidak ada seorang hakim diperkenankan memberikan keputusan yang bersifat peraturan umum, disposisi (penetapan/reglement), Jikalau hakim memberikan keputusan didalam suatu percideraan yang diajukan kepadanya.
3.       Pasal 22 A.B berbunyi : “Seorang hakim yang menolak memutuskan perkara, berdalih bahwa undang-undang tidak terang atau kurang lengkap, dan lain-lain; dapat dituntut karena mengingkari hukum”. Maksudnya pembuat undang-undang menyuruh dengan tegas kepada hakim supaya hakim memberikan keputusan di dalam setiap sengketa yang dimajukan kepadanya termasuk juga apabila undang-undang kurang jelas (hakim wajib menafsirkan undang-undang itu), atau apabila undang-undang itu kurang lengkap (hakim wajib menambahkan pendapatnya/konstruksi hukum kepada undang-undang itu). Dengan kata lain, dari sengketa satu ke sengketa lain, hakim dapat melanjutkan tugas pembuat undang-undang.
Sekalipun pasal 21 A.B itu dengan tegas mengandung larangan tersebut, kepada hakim tidaklah dilarang memperhatikan keputusan-keputusan hakim yang lain, yaitu keputusan di dalam sengketa-sengketa atau perkara-perkara yang sama.   Ada kemungkinan bahwa seorang hakim, berdasarkan pasal 22 A.B memberikan penafsiran terhadap suatu kaidah hukum tertentu, yang tepat sekali; ataupun hakim memberikan penjelasan yang menambah wilayah berlakunya kaedah hukum itu, yang ternyata merupakan suatu yang melengkapi undang-undang yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Apabila penafsiran tersebut juga disetujui oleh para hakim yang lain, maka dengan sendirinya mereka (hakim lain) dapat mempergunakan corak berfikir yang telah dirumuskan  hakim yang mula-mula memberikan penafsiran itu.
Artinya, berdasarkan nurani para hakim itu, ada kemungkinan bahwa perumusan hukum oleh seorang hakim tertentu , dapat juga di pergunakan oleh hakim-hakim yang lain. Inilah yang kemudian disebut sebagai Yurisprudensi.
c.     Fungsi Hukum
Mengingat pentingnya peranan hukum dalam pergaulan masyarakat, hukum dalam aksinya tersebut ternyata mempunyai fungsi seperti pengaturan, penertiban, penyelesaian pertikaian, dan sebagainya sedemikian rupa sehingga dapat mengiringi masyarakat yang senantiasa berkenbang.
 Sacara garis besar fungsi hukum dapat di kelompokkan dalam tahap-tahap sebagai berikut :
1.   Fungsi hukum sebagai alat ketertiban dan keteraturan masyarakat.
Fungsi hukum ini dimungkinkan karena sifat watak hukum yang memberi pedoman  dan petunjuk tentang bagaimana berperilaku yang baik dan tercela, yang boleh dan dilarang, di dalam pergaulan masyarakat . oleh karena masing-masing anggota masyarakat telah jelas apa yang boleh diperbuat atau yang tidak boleh diperbuat, sehingga segala sesuatunya di dalam  masyarakat dapat tertib dan teratur.
2.   Fungsi hukum sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir batin.
Hukum bersifat dan sekaligus berwatak yang memiliki daya mengikat baik  secara fisik maupun psikologis. Daya mengikat (dalam keadaan tertentu ”memaksa”) ini adalah watak yang dimiliki oleh hukum, sehingga hukum itu dapat menangani kasus-kasus nyata dan memberikan (mewujudkan) keadilan, menghukum yang bersalah, membebaskan/melepas yang benar, memutuskan agar yang berhutang  membayar dan sebagainya.
3.   Fungsi hukum sebagai sarana penggerak pembangunan.
Salah satu daya mengikat dan memaksanya dari hukum, juga dapat dimanfaatkan untuk mengerakkan pembangunan. Dimana hukum dijadikan sebagai alat bagi otoritas untuk membawa masyarakat kearah yang lebih maju.
4.   Fungsi kritis dari hukum.
Sebagai tindak lanjut dari  fungi hukum sebagai sarana penggerak pembangunan, yang seolah-olah hanya semata-mata melaksanakan pengawasan perilaku kepada masyarakat belaka sedangkan aparat otoritas agak lepas dari kontrol hukum. Oleh karena itu muncullah fungsi ini, dimana hukum mempunyai fungsi kritis, yaitu daya kerja hukum tidak semata-mata melakukan pengawasan kepada aparatur pengawas, pada aparatur pemerintah (petugas) dan aparatur penegak hukumpun termasuk didalamnya.
Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa dalam suatu kehidupan bermasyarakat hukum diharapkan mempunyai fungsi untuk mewujudkan ketertiban, keteraturan, keadilan dan perkembangan, sedemikian rupa sehingga dapat dijumpai masyarakat yang senantiasa berkembang.
Agar hukum dapat melaksanakan fungsinya tersebut, maka bagi pelaksana dan atau penegak hukum (khususnya hakim) dituntut kemampuannya untuk melaksanakan atau menerapkan hukum, dengan seni yang dimiliki oleh masing-masing, antara lain dengan melakukan penemuan hukum/penafsiran hukum yaitu dengan melakukan penafsiran hukum, baik dalam bentuk menafsirkan hukum sesuai dengan situasi, kondisi dan keadaan yang dihadapi (penafsiran hukum secara murni) ataupun dengan melakukan kontruksi hukum, dalam bentuk menafsirkan hukum dengan membentuk hukum sesuai dengan makna yang dikehendaki.

d.      Penafsiran Hukum
Hukum yang sudah dikodifikasikan sifatnya statis, sulit diubah dan kaku. Keadaan demikian berakibat bahwa hukum selalu ketinggalan jaman karena  dalam kenyataannya perkembangan masyarakat lebih cepat daripada perkembangan perundang-undangan, sehingga tidak mustahil suatu ketika ada peristiwa konkrit yang belum terjangkau oleh peraturan.
Hakim sebagai pelaksana hukum dan sekaligus penegak hukum harus mampu menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan peristiwa hukumnya yang konkrit terjadi. Dengan menggunakan logika yang tepat dalam mengadili suatu perkara dan ia tunduk kepada undang-undang, kecuali itu hakim juga didasari perasaan keadilan menurut keyakinan pribadinya maupun menurut pandangan  masyarakat setempat.  Dalam hal ini hakim dikatakan akan melakukan penafsiran undang-undang guna menemukan hukumnya.
Terdapat 2 (dua) metoda penemuan/penafsiran hukum, yaitu:
a.         Metoda Penafsiran Hukum (Murni) yang terdiri atas:
1.      Penafsiran Gramatikal;
2.      Penafsiran Historis;
3.      Penafsiran Sistematis;
4.      Penafsiran Teleologis
5.      Penafsiran Otentik.

b.        Metoda Konstruksi Hukum, yang terdiri atas :
1.      Penafsiran Analogis;
2.      Penafsiran A Contrario;
3.      Penghalusan Hukum.

ad.  a.   Metoda Penafsiran Hukum
1.       Penafsiran  Gramatikal yaitu penafsiran berdasarkan pada bunyi undang-undang  dengan pedoman pada arti kata-kata dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat yang dipakai dalam undang-undang. Penafsiran Gramatikal semata-mata hanya berdasarkan arti kata-kata menurut tata bahasa atau kebiasaan dalam penggunaan sehari-hari.
2.     Penafsiran Historis  yaitu  penafsiran  berdasarkan   pada sejarah baik sejarah terbentuknya undang-undang (proses pembentukkan undang-undang) maupun sejarah hukum (termasuk penyelidikkan terhadap maksud pembentuk undang-undang pada waktu membentuk undang-undang tersebut) dengan menyelidiki asal-usul suatu peraturan dikaitkan dengan suatu sistem hukum yang pernah berlaku atau dengan sistem hukum asing tertentu.
3.     Penafsiran Sistematis  yaitu   penafsiran   yang   memperhatikan susunan kata-kata yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam undang-undang itu sendiri maupun undang-undang lain.
4.     Penafsiran  Teleologis  (Sosiologis)   yaitu      penafsiran   yang memperhatikan tentang tujuan undang-undang itu, mengingat kebutuhan masyarakat berubah menurut masa atau waktu, sedang bunyi undang-undang tetap.   Maksudnya walaupun suatu undang-undang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan akan tetapi kalau undang-undang itu masih berlaku, maka tetap diterapkan terhadap  kejadian  atau peristiwa masa kini. Namun pengertiannya disesuaikan dengan situasi pada saat ketentuan itu diterapkan. Jadi penerapan undang-undangnya yang disesuaikan dengan situasinya.
5.     Penafsiran Otentik yaitu penafsiran berdasarkan pada  penjelasan dari kata-kata, istilah dan pengertian di dalam peraturan undang-undang yang ditetapkan oleh pembuat undang-undang itu sendiri dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
ad.  b.  Metoda Kontruksi Hukum        
1.        Penafsiran   Analogis  yaitu  penafsiran  dengan   memberi  ibarat (kias) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga suatu peristiwa yang tidak cocok dengan peraturannya, dianggap sesuai dengan bunyi peraturan itu.
2.     Penafsiran A Contrario yaitu penafsiran dengan cara melawankan pengertaian antara hal yang dihadapi dengan masalah yang diatur dalam suatu pasal undang-undang.
3.     Penghalusan  Hukum yaitu  merupakan  penafsiran  dengan cara menyempitkan berlakunya ketentuan undang-undang karena jika tidak dilakukan akan terjadi kerugian yang lebih besar.
Di samping penafsiran-penafsiran tersebut diatas, masih terdapat penafsiran lain, yaitu:
1.       Penafsiran  Ekstensif  yaitu  penafsiran  dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan undang-undang sehingga suatu peristiwa termasuk didalamnya.
2.     Penafsiran Restriktif yaitu penafsiran dengan membatasi arti kata-kata dalam peraturan undang-undang.
3.     Penafsiran   Komparatif   yaitu     penafsiran    dengan   cara membandingkan dengan penjelasan-penjelasan berdasarkan perbandingan hukum, agar ditemukan suatu ketentuan undang-undang.
4.     Penafsiran  Futuristik   yaitu   penafsiran   pada  undang-undang dengan berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum.  Atau dengan kata lain lewat penafsiran ini dimungkinkan memberlakukan ketentuan yang dalam undang-undang belum ada/tidak ada dengan ketentuan yang tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU). 














BAB VIII
SUMBER-SUMBER HUKUM



1.    Arti Sumber Hukum
Sumber hukum dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang mengikat dan memaksa, sehingga apabila aturan-aturan itu dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata pada pelangarnya. Istilah ‘segala sesuatu’ maksudnya yaittu  faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya hukum, faktor-faktor yang merupakan sumber kekuatan berlakunya hukum secara formal, dari mana hukum itu dapat ditemukan, dari mana asal mula hukum dan lain sebagainya.
Oleh karena itu istilah sumber hukum sendiri sering digunakan dalam beberapa arti seperti berikut ini:
  1. Sebagai asas hukum, yaitu sesuatu yang merupakan permulaan hukum, misalnya kehendak Tuhan, akal manusia, jiwa bangsa dan sebagainya.
  2. Menunjukkan sumber hukum terdahulu yang memberikan bahan-bahan kepada hukum yang sekarang berlaku.
  3. Sebagai sumber berlakunyaa, yang memberi kekuatan berlaku secara formal kepada peraturan hukum, misalnya penguasa, masyarakat.
  4. Sebagai sumber dari mana hukum itu dapat diketahui, misalnya dokumen-dokumen, undang-undang, batu bertulis dan sebagainya.
  5. Sebagai sumber terbentuknya hukum atau sumber yang menimbulkan hukum.

Sumber hukum pada hakekatnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sumber hukum materiil dan sumber hukum formal.
2.    Sumber Hukum Materiil
Sumber hukum materiil adalah faktor-faktoor yang turut serta menentukan isi hukum. Mempelajari sumber-sumber hukum sangat kompleks masalahnya, oleh karena itu demi keberhasilan dan mempelajari sumber-sumber hukum harus ditinjau dari beberapa sudut cabang ilmu hukum maupun disiplin ilmu lainnya, misal : sosiologi hukum, sejarah, agama, psikologi dan sebagainya.
Faktor-faktor yang turut serta menentukan isi hukum. Faktor Idiil adalah patokan-patokan yang tetap mengenai keadilan yang harus ditaati oleh para pembentuk undang-undang ataupun para pembentuk hukum yang lain dalam melaksanakan tugasnya. Faktor kemasyarakatan  adalah hal-hal yang benar-benar hidup dalam masyarakat dan tunduk pada aturan-aturan yang berlaku sebagai petunjuk hidup masyarakat yang bersangkutan.
Termasuk dalam kategori faktor kemasyarakatan adalah:
  1. Struktur ekonomi dan kebutuhan masyarakat.
  2. Kebiasaan atau adat istiadat yang telah melekat pada masyarakat dan berkembang menjadi aturan tingkah laku yang tetap.
  3. Hukum yang berlaku, yaitu hukum yan tumbuh berkembang dalam masyarakat dan mengalami perubahan-perubahan menurut kebutuhan masyarakat yang bersangkutan.
  4. Tata hukum negara-negara lain.
  5. Keyakinan tentang agama dan kesusilaan.
  6. Aneka gejala dalam msyarakat baik yang sudah meenjadi peristiwa maupun yang belum menjadi peristiwa.
3.    Sumber Hukum Formal
Sumber hukum formal adalah sumber dengan bentuk tertentu yang merupakan dasar berlakunya hukum secara formal. Jadi sumber hukum formal merupakan dasar kekuatan mengikatnya peraturan-peraturan agar ditaati oleh masyarakat maupun oleh penegak hukum. Dengan kata lain sumber hukum formal tersebut merupakan causa efficient dari hukum.
Termasuk dalam sumber hukum formal ialah:
  1. Undang-undang.
  2. Kebiasaan.
  3. Yurisprudensi.
  4. Traktat (perjanjian antar negara).
  5. Perjanjian.
  6. Doktrin.

ad. 1. Undang-undang
Undang-undang merupakan peraturan negara yang dibentuk oleh alat perlengkapan negara yang berwenang dan mengikat masyarakat.
Undang-undang dapat dibedakan menjadi 2 (dua):
a.        Undang-undang dalam arti materiil, yaitu setiaap peraturan perundang-undangan yang isinya mengikat langsung masyarakat secara umum.
b.       Undang-undang dalam arti formal, yaitu setiap peraturan perundangan yang dibentuk oleh alat perlengkapan negara yang berwenang melalui tata cara dan prosedur yang berlaku.
c.        Undang-undang dalam arti formal pada hakikatnya adalah keputusan alat perlengkapan negara yang karena cara pembentukannya disebut undang-undang. Di Indonesia undang-undang dalam arti formal dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan DPR (Pasal 5 ayat (1) UUD 1945).

Perbedaan dari kedua macam undang-undang tersebut terletak pada sudut peninjauannya. Undang-undang dalam arti materiil ditinjau dari sudut isinya yang mengikat umum, sedangkan undang-undang dalam arti formal ditinjau dari segi pembuatan dan bentuknya. Namun demikian banyak undang-undang yang dapat disebut undang-undang dalam arti materiil dan undang-undang dalam arti formal, misalnya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Tidak semua undang-undang dapat disebut dengan dua macam pengertian seperti tersebut di atas, karena undang-undang yang hanya berlaku untuk segolongan orang tertentu hanya dapat disebut sebagai undang-undang dalam arti materiil saja.
Undang-undang berlaku dan mengikat apabila telah memenuhi persyaratan tertentu yang tidak dapat disampaikan, yaitu bahwa setiap undang-undang harus diundangkan oleh Mensekneg dan dimuat dalam Lembaran Negara.
Lembaran Negara adalah tempat pengundangan suatu undang-undang agar mempunyai daya mengikat.
Sedangkan mengenai saat undang-undang mulai berlaku dan mengikat senantiasa disebutkan dalam undang-undang itu sendiri – biasanya – sesuai dengan tanggal pengundangannya. Apabila tidak ditentukan tanggal berlakunya maka terdapat ketentuan umum yang menyatakan bahwa untuk daerah Jawa dan Madura adalah hari ke 30 (tiga puluh) sejak diundangkan, sedangkan untuk daerah lain hari ke 100 (seratus) sejak diundangkan.
Setelah persyaratan itu dipenuhi maka setiap orang dianggap telah mengetahuinya dan terikat oleh undang-undang itu. Sehingga setiap orang tidak dapat membela diri dengan alasan karena belum mengetahui undang-undang dimaksud. (terhadapnya berlaku fiksi hukum, biasanya untuk segi efektifitas diberikan jeda waktu selama 5 (lima) tahun -terutama bagi undang-undang yang dalam arti formal).
Terdapat perbedaan prinsip mengenai kekuatan mengikatnya undang-undang kekuatan berlakunya/efekifitasnya undang-undang. Undang-undang mengikat sejak diundangkan, berarti sejak itu orang wajib mengakui eksistensi undang-undang, sedang kekuatan berlakunya undang-undang berarti sudah menyangkut berlakunya undang-undang secara operasional.
Agar undang-undang mempunyai kekuatan berlaku harus memenuhi persyaratan tertentu, yaitu:
-          Mempunyai kekuatan berlaku yuridis, apabila persyaratan formal terbentuknya undang-undang itu telah terpenuhi.
-          Mempunyai kekuatan berlaku sosilogis,  apabila undang-undang itu efektif berlaku di dalam masyarakat. Maksudnya bahwa undang-undang itu telah diterima dan ditaati oleh masyarakat tanpa memperhatikan bagaimana terbentuknya undang-undang itu.
-          Mempunyai kekuatan berlaku filosofis, apabila undang-undang tersebut memang telah sesuai dengan cita-cita hukum sebagai niilai positif yang tertingi.
Berikut ini beberapa asas yang berlaku terhadap eksistensi/keberadaan undang-undang, yaitu:
a.        Undang-undang tidak berlaku surut (retro aktif);
b.       Undang-undang yang berlaku kemudian membatalkan undang-undang terdahulu, sejauh undang-undang itu mengatur obyek yang sama (lex posteior derogat legi priori).
c.        Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai derajat yan lebih tinggi pula, sehingga apabila ada dua macam undang-undang yang tidak sederajat mengatur obyek yang sama dan saling bertentangan, maka hakim harus menerapkan  undang-undang yang tinggi dan menyatakan bahwa undang-undang yang lebih rendah tidak mengikat (lex superior derogat legi inferior).
d.       Undang-undang yang khusus mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum, maka jika ada dua macam ketentuan dari peraturan perundangan yang setingkat dan berlaku pada waktu bersamaan serta saling bertentangan, hakim harus menerapkan yang khusus dan mengesampingkan yang umum (lex specialis derogat legi generali).
e.        Undang-undang tidak dapat diganggu gugat, dan undang-undang tidak berlaku lagi, apabila:
1.       Jangka waktu berlakunya undang-undang iu telah habis;
2.       Hal-hal atau obyek yang diatur oleh undang-undang itu sudah tidak ada;
3.       Undang-undang itu dicabut oleh pembentuknya atau oleh instansi yang lebih tinggi;
4.       Telah dikeluarkan undang-undang baru yang isinya bertentangan dengan isi undang-undang terdahulu.
Sehubungan dengan masalah perundangan yang berlaku di Indonesia, telah ditetapkan TAP MPR RI  No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan (mencabut TAP MPRS No. XX/MPRS/1996).
Pasal 2 TAP MPR RI No. III/MPR/2000 menyebutkan bahwa Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya.
Tata urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia adalah:
a.        Undang-Undang Dasar 1945;
b.       Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
c.        Undang-Undang;
d.       Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU);
e.        Peraturan Pemerintah;
f.         Keputusan Presiden;
g.       Peraturan Daerah.
Selanjutnya pada Pasal 4 ayat (1) menyebutkan bahwa sesuai dengan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, maka setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.
Ketentuan tersebut diperkuat lagi dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.

ad. 2.  Kebiasaan
Perbuatan manusia mengenai hal tertentu yang dilakukan secara berulang-ulang dan terhadapnya dipertalikan adanya ide hukum, sehingga perbuatan tersebut diterima oleh suatu masyarakat, selalu dilakukan oleh orang lain atau dengan kata lain masyarakat beranggapan bahwa memang harus berlaku demikian, jika tidak berbuat demikian merasa berlawanan dengan kebiasaan dan merasa melakukan pelangaran perilaku -hukum-. Masyarakat yakin bahwa kebiasaan yang mereka lakukan itu mengandung ide hukum, maka jika  terdapat anggota masyarakat yang tidak mentaatinya, dia dianggap telah melakukan pelanggaran hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat (perlu diingat dengan adanya kelaziman). Atau secara praktis dapat dikatakan bahwa untuk timbulnya hukum kebiasan diperlukan persyaratan tertentu, yaitu:
a.        Adanya perbuatan tertentu yang dilakukan berulang-ulang di dalam masyarakat tertentu; dan
b.        Adanya keyakinan/ide hukum dari masyarakat tersebut.

ad. 3. Yurisprudensi
Dalam Algemene Bapelingen Van Wetgeving (A.B) atau Ketentuan umum tentang Perundang-undangan (KUTP), -yang pada akhirnya merumuskan perkembangan Jurisprudensi di Indonesia-, sebagai berikut :
1.       Dalam pasal 20 A.B, hakim diwajibkan mengadili menurut undang-undang, dan dilarang mempertimbangkan “nilai rokhani atau keadilan undang-undang”. Maksudnya apabila di dalam undang-undang telah ditetapkan suatu kaedah hukum maka hakim diwajibkan mempergunakan kaedah hukum itu, ia tidak boleh menyimpang dari hukum yang dinyatakan secara positif.
2.       Pasal 21 A.B menyatakan: “Tidak ada seorang hakim diperkenankan memberikan keputusan yang bersifat peraturan umum, disposisi (penetapan/reglemen). Jikalau hakim memberikan keputusan di dalam suatu percideraan yang diajukan kepadanya.
3.       Pasal 22 A.B berbunyi: “Seorang hakim yang menolak memutuskan perkara, berdalih bahwa undang-undang tidak terang atau kurang lengkap, dan lain-lain; dapat dituntut karena mengingkari hukum”. Maksudnya pembuat undang-undang menyuruh dengan tegas kepada hakim supaya hakim memberikan keputusan di dalam setiap sengketa yang dimajukan kepadanya termasuk juga apabila undang-undang kurang jelas (hakim wajib menafsirkan undang-undang itu), atau apabila undang-undang itu kurang lengkap (hakim wajib menambahkan pendapatnya/konstruksi hukum kepada undang-undang itu).
Dengan kata lain, dari sengketa yang satu ke sengketa yang lain hakim dapat melanjutkan tugas pembuat undang-undang.
Sekalipun Pasal 21 A.B itu dengan tegas mengandung larangan tersebut, kepada hakim tidaklah dilarang memperhatikan keputusan-keputusan hakim yang lain, yaitu keputusan di dalam sengketa-sengketa atau perkara-perkara yang sama. Ada kemungkinan bahwa seorang hakim, berdasarkan Pasal 22 A.B memberikan penafsiran terhadap suatu kaedah hukum tertentu, yang tepat sekali; ataupun memberikan penjelasan yang menambah wilayah berlakunya kaedah hukum itu, yang ternyata merupakan suatu yang melengkapi undang-undang dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Apabila penafsiran tersebut juga disetujui oleh para hakim yang lain, maka dengan sendirinya mereka (hakim lain) dapat mempergunakan corak berfikir yang telah dirumuskan oleh hakim yang mula-mula memberikan penafsiran itu.
Artinya, berdasarkan nurani para hakim itu, ada kemungkinan bahwa perumusan hukum oleh seorang hakim tertentu, dapat juga dipergunakan oleh hakim-hakim yang lain. Inilah yang kemudian disebut sebagai Yurisprudensi. Atau dengan kata lain Yurisprudensi merupakan “keputusan Pengadilan atau keputusan hakim yang terdahulu, yang diangap tepat sehinga diikuti oleh Pengadilan atau hakim lain”.
Terdapat 2 (dua) macam Yurisprudensi, yaitu :
a.        Yurisprudensi Tetap, ialah keputusan hakim terjadi karena rangkaian keputusan serupa dan dijadikan dasar/patokan untuk memutuskan suatu perkara (standar arresten).
b.       Yurisprudensi Tak Tetap, ialah keputusan hakim terdahulu yang bukan standar arresten.

ad. 4. Traktat (Perjanjian Antar Negara)
Traktat sebagai sumber hukum formal harus memenuhi syarat formal tertentu. Di Indonesia ditentukan dalam Pasal 11 UUD 1945, yaitu “Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan membuat perjanjian dengan negara lain”.
Perjanjian antar negara yang telah disahkan berlaku mengikat negara peserta, termasuk warga negaranya. Sehingga dapat dipahami bahwa setiap traktat sebelum disahkan oleh Presiden terlebih dahulu harus disetujui oleh DPR.
Tetapi dalam pelaksanaannya ternyata tidak semua bentuk perjanjian antar negara harus dapat mendapat persetujuan DPR, sebab jika demikian pemerintah menjadi kurang leluasa untuk menjalankan hubungan internasional, yang terpenting terdapat spesifiksi yang bersifat limitatif/paling tidak terhadap beberapa hal yang mutlak harus mendapat persetujuan DPR tidak diabaikan, beberapa hal yang harus mendapat persetujuan DPR sehubungan dengan adanya suatu perjanjian antar negara, yaiu terhadap perjanjian antar negara yang mengandung materi-materi penting (lazimnya disebut Traktat/Treaty), sebagai berikut:
a.        Soal-soal politik atau soal-soal yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri; misal: perjanjian persekutuan, perjanjian batas wilayah, perubahan wilayah, dsb.
b.       Ikatan-ikatan yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri; seperti perjanjian kerjasama ekonomi, pinjaman.
c.        Soal-soal yang menurut UUD dan sistem perundangan kita yang harus diatur dengan bentuk undang-undang; misalnya: tentang kewarganegaraan, kehakiman,dsb.
Sedang terhadap perjanjian yang tidak memerlukan (pengecualian) persetujuan DPR, sifatnya hanya merupakan persetujuan bersama (Agreement) antar negara peserta, sehingga Presiden dapat meratifikasinya dalam bentuk Keputusan Presiden dan kemudian DPR cukup diberitahu.
Ada beberapa bentuk Perjanjian Antar negara (Pan)/Traktat, yaitu:
1.       PAn/Traktat Bilateral, yaitu Pan/Traktat yang hanya diikuti oleh dua negara.
2.       PAn/Traktat Multilateral, yaitu Pan/Traktat yang pesertanya lebih dari dua negara.
3.       Pan/Traktat Kolektif, yaitu Pan/Traktat Multilateral yang masih memungkinkan masuknya negara lain menjadi peserta asal negara itu menyetujui isi perjanjian yang ada.

ad. 5. Perjanjian
Perjanjian (Overeenkomst) merupakan “suatu peristuiwa hukum di mana dua orang/pihak atau lebih berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu”.
Perjanjian akan menimbulkan hubungan hukum yang saling mengikat diantara para pihak atau menimbulkan perikatan  (Verbintenis), sehinga apabila salah satu pihak ada yang ingkar janji (wan prestasi) akan mendapatkan resiko untuk digugat oleh pihak yang dirugikan.
Jika kedua belah pihak telah sepakat berarti mereka membuat atau menentukan peraturan/kaedah atau hak dan kewajiban. Para pihak sendiri yang menciptakan hukum, sehingga mereka berkewajiban untuk mentaatinya, dan hanya merekalah yang terikat kata sepakat yang mereka tentukan. Perjanjian yang mereka buat berfungsi sebagai sarana untuk menyelesaikan perselisihan bila salah satu pihak ingkar janji. Karena itu dapat dipahami bahwasannya Perjanjian juga merupakan sumber hukum formal. Dengan catatan bahwa perjanjian itu merupakan perjanjian yang sah dan memenuhi beberapa unsur sutau perjanjian.
Perjanjian adalah sah bila memenuhi syarat-syarat tertentu (Pasal 1320 KUHPerdata), yaitu:
a.        Orang yang mengadakan Perjanjian harus cakap;
b.       Ada kata sepakat atau persesuaianan kehendak antar pihak;
c.        Mengenai obyek tertentu;
d.       Dasar atau kuasa yang halal;
Perjanjian mengandung beberapa unsur, yaitu:
a.        Unsur essentialia yaitu yang merupakan syarat sahnya perjanjian;
b.       Unsur naturalia, yaitu unsur yang melekat pada perjanjian;
c.        Unsur accidentalia, yaitu unsur yang melekat pada perjanjian dimuat dalam perjanjian (identitas, domisili, dsb).

ad. 6. Doktrin
Doktrin adalah pendapat para sarjana hukum terkemuka yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan hukum pada umumnya dan secara khusus terhadap hakim dalam mengambil keputusannya.
Kadangkala hakim dalam memutuskan perkara yang diperiksanya guna menguatkan keyakinan dan atau terdapat ketidakjelasan dan atau kekosongan hukum (melakukan penemuan hukum) maka hakim menyebut pendapat para sarjana sebagai dasar pertimbangannya. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa hakim menemukan hukumnya dalam doktrin itu. Sehingga dapat dipahami bahwa doktrin merupakan sumber hukum formal.
                    
                         
     

BAB IX
ASAS-ASAS HUKUM DAN SISTEM HUKUM


a.     Pengertian Asas Hukum
Tentang batasan pengertian asas hukum terdapat berbagai pendapat yang dikemukakan oleh beberapa ahli, antara lain:
1.    Bellefroid
Asas hukum umum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Asas hukum umum merupakan pengendapan dari hukum positif.
2.    Paul Scholten
Asas hukum adalah kecenderungan yang diisyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum dan merupakan sifat-sifat umum dengan keterbatasannya sebagai pembawaan yang umum itu, tetapi harus ada.
3.    Eikema Hommes
Asas hukum bukanlah norma hukum konkrit, tetapi ia adalah sebagai dasar-dasar pikiran umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. Asas hukum merupakan dasar-dasar atau petunjuk arah dalam pembentukkan hukum positif.

4.    Satjipto Rahardjo
Asas hukum adalah unsur yang penting dan pokok dari peraturan hukum. Asas hukum merupakan jantungnya peraturan hukum karena ia merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya peraturan hukum atau ia adalah sebagai ratio legisnya peraturan hukum. Yang pada akhirnya peraturan-peraturan hukum itu harus dapat dikembalikan pada asas-asas tersebut.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya apa yang disebut dengan asas apa yang disebut dengan asas hukum adalah dasar-dasar umum yang terkandung dalam peraturan hukum dan dasar-dasar umum tersebut merupakan sesuatu yang mengandung nilai-nilai etis.
Peraturan hukum sebagai ketentuan konkrit tentang cara berperilaku di dalam masyarakat. Ia merupakan konkritisasi dari asas hukum.
Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa asas hukum bukanlah norma hukum konkrit karena asas hukum merupakan jiwanya norma hukum itu. Dikatakan asas hukum sebagai jiwanya norma hukum atau peraturan hukum karena ia merupakan dasar lahirnya peraturan hukum (Ia adalah Ratio Legis-nya peraturan hukum).
Berikut beberapa contoh bahwasannya semua peraturan harus dapat dikembalikan pada asas hukumnya, sebagai berikut :
·       Asas hukumnya “bahwa seseorang yang melakukan cidra janji/dursila/wanprestasi yang merugikan orang lain maka harus mengganti kerugian yang ditimbulkannya”, maka norma hukumnya menjadi “setiap perbuatan yang melawan hukum dan menimbulkan kerugian bagi pihak lain, wajib membayar ganti rugi (lihat Pasal 1365 KUHPerdata/BW).
·       Asas hukumnya “Undang-undang tidak dapat berlaku surut”, maka norma hukumnya menjadi “tiada suatu perbuatanpun dapat dihukum, kecuali atas kekauatan undang-undang yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan” atau terkenal dengan asas “nullum delictum nulla poena zine pravia lege punale” (lihat Pasal 1 ayat (1) KUHPidana).


Serta beberapa contoh lain, seperti:
·      Asas Presumtion of innocence (praduga tak bersalah);
·      Asas in dubio pro reo (dalam keraguan berlaku yang menguntungkan terdakwa);
·      Asas Similia similibus (perkara yang sama harus diputus sama);
·      Asas ne bis in idem (perkara yang sudah diputus tidak dapat diperiksa lagi);
·      Asas Pacta sunt servanda (perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak);
·      Asas Geen straft zonder schuld (tiada hukuman tanpa kesalahan);
·      Dan sebagainya.  
Dari berbagai contoh dan uraian tersebut, dapat ditegaskan bahwa asas hukum bukanlah norma hukum yang konkrit tetapi merupakan latar belakang dari peraturan konkrit, karena ia merupakan dasar pemikiran yang umum dan abstrak serta mendasari lahirnya setiap peraturan. Dengan kata lain asas hukum merupakan petunjuk arah bagi pembentukkan hukum dan pengambil keputusan.
b.    Perbedaan Asas dan Norma
Asas hukum  adalah dasar-dasar umum yang terkandung dalam peraturan hukum, dan dasar-dasar umum tersebut merupakan sesuatu yang mengandung nilai-nilai etis.
Peraturan hukum sebagai ketentuan konkrit tentang cara berperilaku di dalam masyarakat. Ia merupakan konkritisasi dari asas hukum. Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa asas hukum bukanlah norma hukum konkrit karena asas hukum merupakan jiwanya norma hukum itu. Dikatakan asas hukum sebagai jiwanya norma hukum atau peraturan hukum karena ia merupakan dasar lahirnya peraturan hukum (Ia adalah Ratio Legis-nya peraturan hukum). Atau dapat ditegaskan bahwa asas hukum bukanlah norma hukum yang konkrit tetapi merupakan latar belakang dari peraturan konkrit, karena ia merupakan dasar pemikiran yang umum dan abstrak serta mendasari lahirnya setiap peraturan. Dengan demikian orang sebagai anggota masyarakat akan bertingkah laku etis sebagaimana diharapkan oleh peraturan itu. Sehingga dapat diketahui adanya perbedaan antara asas dan norma sebagai berikut:
1.         Asas merupakan dasar pemikiran yang umum dan abstrak, sedangkan norma merupakan aturan riil/konkrit.
2.         Asas adalah suatu ide atau konsep sedangkan norma merupakan penjabaran dari ide/konsep tersebut.
3.         Asas hukum tidak mempunyai sanksi, sedangkan norma mempunyai sanksi dan kadang tegas/keras dan bahkan sangat tegas/keras.
c.     Pengertian Sistem Hukum
Sistem hukum merupakan kesatuan utuh dari tatanan-tatanan yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur yang satu sama lain saling berhubungan dan kait mengkait secara erat (pendapat Soedikno Mertokusumo).
Untuk mencapai tujuan kesatuan itu diperlukan kerja sama antar unsur-unsur tersebut (keterpaduan). Jadi tegasnya sistem hukum bukan hanya sekedar kumpulan peraturan hukum tetapi masing-masing peraturan itu satu sama lain saling berkaitan dan tidak bolehterjadi konflik atau kontradiksi didalamnya, jika terjadi kontradiksi akan diselesaikan oleh sistem itu sendiri sehingga tidak akan dibiarkan berlarut-larut.
Hukum yang merupakan suatu sistem tersusun atas sejumlah bagian yang masing-masing juga merupakan sistem yang dinamakan subsistem, tetapi akan bersama-sama mewujudkan suatu kesatuan yang utuh.
Sistem hukum merupakan sistem abstrak dan terbuka artinya sistem hukum itu terdiri dari unsur-unsur yang tidak konkrit, tidak menunjukkan kesatuan yang dapat dilihat, dan unsur-unsur itu mempunyai hubungan timbal balik dengan lingkungannya, serta unsur-unsur lain yang tidak konkrit, tidak menunjukkan kesatuan yang dapat dilihat, dan unsur-unsur itu mempunyai hubungan timbal balik dengan lingkungannya, serta unsur-unsur lain yang tidak termasuk dalam sistem, mempunyai pengaruh terhadap unsur-unsur di dalam sistem.  Paul Scholten mengatakan “bahwa tata hukum itu sendiri tidak lengkap, oleh karenanya sistem hukum merupakan sistem terbuka yang selalu membutuhkan masukkan untuk penyempurnaan.
Hukum sebagai suatu sistem menurut Fuller dapat diukur dengan 8 (delapan) asas yang dikenal sebagai Principles of Legality, sebagai berikut:
1.        Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan (bukan hanya keputusan ad hoc);
2.        Peraturan yang sudah dibuat harus diumumkan;
3.        Peraturan tidak boleh ada yang berlaku surut;
4.        Peraturan-peraturan harus dirumuskan dengan susunan kata-kata yang dapat dimengerti;
5.        Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain;
6.        Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung ketentuan yang melebihi apa yang dapat dilakukan;
7.        Tidak boleh sering merubah peraturan sehingga menyebabkan orang kehilangan orientasi;
8.        Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya.
BAB X
ANEKA PEMBEDAAN HUKUM




Terdapat   aneka  cara  pembedaan  hukum,  diantaranya   yang  dibedakan adalah antara pasangan-pasangan hukum sebagai berikut : 

A.    Ius Constitutum dan Ius Constituendum

·        Ius Constitutum   adalah hukum  positif  suatu negara,  yaitu   hukum yang berlaku dalam suatu negara pada suatu saat tertentu misalnya hukum Indonesia yang berlaku dewasa ini dinamakan Ius Constitutum, atau bersifat positif, juga dinamakan tata  hukum Indonesia, demikian tata hukum Amerika, Rusia, Jerman, Inggris ,  Jepang, Grenland, Malaysia, dsb.
·        Ius  Constituendum  adalah  hukum   yang dicita-citakan  oleh  pergaulan  hidup dan negara, tetapi belum  merupakan  kaedah  dalam bentuk undang-undang atau berbagai ketentuan lain.
Perbedaan  keduanya didasarkan pada perkembangan sejarah  tata  hukum tertentu, bahwa hukum  menerbitkan  pergaulan   hidup  manusia  pada  suatu tempat tertentu dan  dalam  jangka  waktu  tertentu.  Hal tersebut merupakan hasil perkembangan sejarah  yang terbentuk, tumbuh dan akan hilang. Jadi dapat dikatakan bahwa  -Ius Constitutum sekarang adalah Ius Constituendum  pada  masa lampau-.
Lebih jauh dapat ditegaskan bahwa perbedaan keduanya merupakan  suatu abstraksi dari fakta bahwa sesungguhnya segala  sesuatu  merupakan  suatu proses  perkembangan.  Termasuk  hukum yang  merupakan  suatu lembaga masyarakat yang senantiasa  mengalami  perkembangan, sedemikian rupa sehingga apa yang dicita-citakan  pada saatnya akan terwujud menjadi kenyataan, sebaliknya  yang  sedang berlaku menjadi pudar ditelan waktu karena telah  tidak  cocok lagi (mengalami dekrapansi/kesenjangan antara kaedah dan  kenyataan sosial).

 

B.    Hukum Alam dan Hukum Positif

·         Hukum  Alam   adalah ekspresi  dari  kegiatan  manusia  yang  mencari keadilan sejati yang mutlak (yang ideal).
Upaya  mencari hukum yang ideal ini berkembang seiring  dengan  perkembangan jaman. Ajaran-ajaran hukum  alam  telah  banyak  dipergunakan  oleh  berbagai bagian  masyarakat  dan  generasi  untuk mengungkapkan  aspirasi-aspirasinya. Dalam   sejarah  tercermin bahwa  ajaran hukum alam  dapat digunakan  sebagai  senjata dalam perkembangan politik dan hukum.
·          Hukum Positif atau Stellingrecht merupakan suatu kaedah yang  berlaku, yang sebenarnya di dalamnya merupakan perumusan suatu  hubungan  yang pantas antara fakta dengan akibat hukum yang  merupakan abstraksi dari keputusan-keputusan.
Keputusan  yang  konkrit sebagai fakta  sosial  yang  mengatur hubungan-hubungan, senantiasa terjadi dalam  suatu   tertib  pergaulan hidup.  Suatu gambaran  tentang hukum   positif  tertentu,  selalu merupakan  lukisan  tentang tertib   hukum  tertentu, yang berarti suatu tertib hukum yang  terikat  oleh  tempat dan waktu tertentu pula. Hal ini karena  ia  merupakan  suatu  abstraksi  dari kehidupan. Artinya hal itu merupakan  suatu pengetahuan tentang kenyataan tertentu, yang terjadi  di  suatu  tempat dan masa tertentu. Maka menurut Logemann hukum  positif  adalah kenyataan hukum yang dikenal. Hal itu  sebagai  lawan  dari  hukum keagamaan atau hukum alam,  yang  merupakan  kaedah  yang secara kritis berhadapan dengan  kenyataan  yang  dapat  disimpulkan  bahwa pembedaan antara hukum alam dengan hukum positif terutama terletak pada ruang lingkup dari hukum.
Pada  ajaran-ajaran hukum alam terdapat  prinsip-prinsip  yang  diberlakukan secara universal. Artinya ingin diberlakukan  di  manapun dan  pada  apapun  juga. Sedangkan  orientasi  hukum  positif adalah pada tempat dan  waktu  tertentu. Seterusnya  apabila  dihubungkan ajaran hukum alam  dan orientasi hukum  positif, maka terungkap tiga wawasan:
1.     Hukum alam sebagai sarana koreksi bagi hukum positif.
2.     Hukum  alam  menjadi  inti  hukum  positif  seperti   hukum  internasional.
3.     Hukum alam sebagai pembenaran hak asasi manusia.
Dalam pendalaman pengertian tentang pengantar ilmu hukum  maka penjelasan yang lebih luas dan mendalam tentang hukum positif,  dalam kaitannya dengan hukum alam dan pengertian keadilan. Hal  ini dipandang  perlu  bagi studi hukum yang  diarahkan bagi penggalian bahan-bahan penting untuk mewujudkan hukum  nasional, yang diperankan dalam pembangunan nasional.

C.     Hukum Imperatif dan Hukum Fakultatif.
Dari  sudut  sifatnya hukum dapat dibedakan  dalam  dua  jenis  yaitu yang disebut hukum imperatif dan  hukum  fakultatif.
Pembedaan   keduanya  ini  mendapat  banyak  penjelasan   dari  beberapa ahli hukum yang intinya berkisar pada penekanan bahwa  hukum imperatif adalah paksaan dan fakulatif adalah pelengkap,  hukum imperatif  harus  ditaati  secara mutlak   sedangkan  imperatif masih  bisa  ada  pilihan  dan  sebagainya, yang  sebenarnya  dapat dirasakan  mana  yang  imperatif  dan  yang  fakultatif.
Hukum  Imperatif   adalah  kaedah-kaedah hukum  yang  secara apriori harus ditaati. Sedangkan Hukum  Fakultatif  tidaklah secara apriori harus ditaati atau tidak apriori wajib  untuk  dipatuhi.
Hal-hal yang perlu mendapat perhatian.
1.     Pada hukum fakultatif, pembentuk undang-undang juga memberi perintah seperti halnya pada hukum imperatif. Hanya  sifat  perintahnya  yang berbeda, yang disadarinya oleh  pembentuk  undang-undang bahwa perintah tertntu  itu mungkin tidak  sesuai dengan  keadaan, sehingga dimungkinkan terjadinya penyimpangan yang  berupa  pengecualian.  Maka   perintah  tersebut lebih banyak diartikan sebagai petunjuk,  sehingga  perintah  ini langsung  ditujukan  kepada penegak hukum,  berbeda dengan hukum imperatif yang juga  secara  langsung  tertuju kepada pribadi-pribadi.
2.     Dalam hubungan dengan hukum publik dan hukum perdata.
Dari  pembedaan sifat antara hukum yang imperatif dan  yang  fakultatif secara garis  besar dan pada umumnya,  hukum  publik relatif bersifat imperatif, sedangkan hukum  perdata  bersifat fakultatif, sekalipun dalam hukum perdata ada yang  bersifat  imperatif,  yang  antara  lain  disebabkan oleh beberapa hal seperti:
a.     Pembentuk  undang-undang  menganggap  perlu   melindungi  pribadi-pribadi,  yang oleh karena kurang  mampu  atau  tidak dapat  mempertanggungjawabkan  tindakannya  akan  dapat merugikan diri sendiri.
b.     Pembentuk    undang-undang   menganggap   perlu    untuk   melindungi fihak-fihak yang secara ekonomis lemah.
c.     Dalam  kasus-kasus  yang  bertautan  aspek  publik   dan  perdata.
d.       Ke-tiga alasan di atas merupakan sebab kumulatif.
e.     Ada syarat-syarat yang mengangkat kemampuan-kemampuan di  bidang hukum, sebagai kriteria perikelakuan yang sah dan  mempunyai akibat hukum.
Namun  demikian  bobot  sifat  hukum  publik  tetap   lebih  imperatif karena umumnya kaedah-kaedah hukum   publik  bersifat hubungan antara penguasa-penguasa dengan pribadi-pribadi, dalam hubungannya dengan kepantingan umum  yang  berorientasi pada kesejahteraan bersama warga masyarakat.
3.     Kaedah-kaedah yang ada sebagai bagian cerminan hukum  tidak  secara nyata terumus dalam kalimat yang menunjukkan  sifat  imperatifnya, sekalipun  dapat dirasakan  di  dalam  makna  kaedah itu. Persoalan pembedaan antara hukum imperatif  dan fakultatif  ini tercermin bahwa hukum secara luas dan  mendalam berusaha mewujudkan keadilan sejati, ia  memaksa  secara apriori, bila diperlukan bagi  kepentingan  umum, namun  untuk hal-hal tertentu apabila tidak sejalan  dengan  keadaan nyata menjadi fakultatif.




D.   Hukum Substantif dan Hukum Ajektif


·         Hukum  Substantif  adalah serangkaian kaedah yang  merumuskan  hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari subyek hukum yang terkait  dalam hubungan hukum;
·         Hukum  Ajektif adalah serangkaian  kaedah  yang  memberikan  petunjuk dengan jelas tentang bagaimana kaedah-kaedah materiil  dri hukum substantif ditegakkan.
Inti  dari pembedaan tersebut ada pada hak-hak dan  kewajiban-kewajiban subjek hukum, di mana dalam  hukum  substantif  hal  tersebut  dirumuskan sedangkan dalam hukum ajektif memberikan petunjuk bagaimana penegakkannya atau mempertahankannya di dalam   praktek,  termasuk bagaimana mengatasi pelanggaran  terhadap hak-hak dan kewajiban-kewajiban tersebut.
Maka keduanya merupakan komplementer yang saling mengisi.  hal  ini berarti bahwa hukum substantif adalah  hukum  materiil,  sedangkan hukum ajektif adalah hukum formil.     

 

E.  Hukum Tidak Tertulis dan Hukum Tertulis

·     Hukum Tidak Tertulis, juga termasuk hukum kebiasaan. Salah  satu contoh hukum tidak  tertulis yaitu hukum  adat  Indonesia.  Adat di sini  berarti kebiasaan, yang  merupakan  perbuatan  yang diulang-ulang, dengan cara dan tindak tanduk,  perilaku  yang  sama,  yang didalamnya  terdapat aktualisasi  adanya kesadaran hukum.
Di  dalam  ajaran-ajaran kesadaran hukum  yang  lahir  sebagai  kaedah-kaedah hukum tidak tertulis, yang merupakan gejala umum  yang terdapat pada setiap individu dengan derajat yang merata.  Perlu diperhatikan  bahwa mengenai kesadaran hukum  ada  yang bersifat pribadi dan yang umum. Pada kesadaran pribadi masing masing individu memiliki kesadaran spontan mengenai apa  yang  dianggap selaras  dengan hukum atau  berupa  sifat  melanggar  hukum, sedangkan pada  kesadaran  hukum umum,  antara  lain  terwujud apabila masyarakat mempunyai sikap tertentu  terhadap  hukum yang ada.
·     Hukum Tertulis adalah hukum yang mencakup perundang-undangan  dalam berbagai bentuk yang dibuat oleh pembentuk undang-undang  dan traktat yang dihasilkan dari hubungan internasional.
Sehubungan  dengan  jenis Hukum Tertulis  di  Indonesia   telah ditetapkan TAP MPR RI  No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan (mencabut TAP MPRS No. XX/MPRS/1996).
Pasal 2 TAP MPR RI No. III/MPR/2000 menyebutkan bahwa Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya.
Tata urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia adalah:
1.       Undang-Undang Dasar 1945;
2.       Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
3.       Undang-Undang;
4.       Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU);
5.       Peraturan Pemerintah;
6.       Keputusan Presiden;
7.       Peraturan Daerah.
 Ketentuan tersebut diperkuat lagi dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2004.
 Sedangkan mengenai Traktat Di Indonesia ditentukan dalam Pasal  11 UUD 1945, yaitu "Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan  perang,  membuat perdamaian  dan  membuat  perjanjian dengan  negara lain".
Di mana  perjanjian  antar negara yang telah  disahkan  berlaku  mengikat negara peserta, termasuk warga  negaranya.  Sehingga  dapat dipahami  bahwa setiap traktat  sebelum  disahkan  oleh  Presiden terlebih dahulu harus disetujui oleh DPR.
Tetapi  dalam  pelaksanaannya  ternyata  tidak  semua   bentuk  perjanjian antarnegara harus mendapat persetujuan DPR,  sebab  jika demikian pemerintah menjadi  kurang   leluasa   untuk  menjalankan hubungan internasional, yang terpenting  terdapat  spesifikasi  yang bersifat  limitatif/paling tidak terhadap  beberapa hal yang mutlak harus mendapat persetujuan DPR tidak  diabaikan, beberapa hal yang harus mendapat  persetujuan  DPR  sehubungan  dengan adanya suatu perjanjian antar negara, yaitu  terhadap perjanjian antar negara yang mengandung materi-materi  penting (lazimnya disebut Traktat/ Treaty ), sebagai berikut:
a.        Soal-soal  politik atau soal-soal yang  dapat  mempengaruhi  haluan politik luar negeri; misal: perjanjian persekutuan,  perjanjian batas wilayah, perubahan wilayah, dsb.
b.       Ikatan-ikatan  yang  dapat  mempengaruhi   haluan   politik  luar negeri; seperti perjanjian kerjasama ekonomi, pinjaman.
c.        Soal-soal  yang menurut UUD dan sistem  perundangan   kita,  yang harus diatur dengan bentuk undang-undang;  misalnya:  tentang kewarganegaraan, kehakiman, dsb.
Sedang terhadap perjanjian yang    tidak    memerlukan  (pengecualian) persetujuan DPR,  sifatnya hanya merupakan  persetujuan bersama (Agreement) antar negara peserta, sehingga Presiden dapat meratifikasinya dalam bentuk Keputusan Presiden  dan kemudian DPR cukup diberitahu.




“You will can if you think, you will can do it”


 










    


No comments:

Post a Comment