A. Batasan
Pengertian Ilmu Hukum
Ilmu hukum merupakan ilmu pengetahuan yang obyeknya
hukum, sehingga ilmu hukum akan
mempelajari semua seluk beluk mengenai
hukum dengan menelaah hukum sebagai
suatu gejala atau fenomena dalam kehidupan manusia dimanapun
dan kapanpun, atau dengan kata lain
hukum dilihat sebagai fenomena yang sifatnya universal.
Dalam
mempelajari itu hukum dapat digunakan beberapa
metode, sebagai berikut :
1.
Metode Idealis, adalah metode yang bertitik tolak
dari suatu pandangan bahwa
hukum sebagai perwujudan dari
nilai-nilai tertentu
(Keadilan, Kepastian dan
Kemanfaatan). Metode ini selalu
menguji apakah yang
dilakukan oleh hukum
untuk mewujudkan nilai-nilai tertentu. Nilai-nilai tertentu yang
dimaksud oleh hukum adalah keadilan.
2.
Metode Normatif
Analitis, yaitu metode yang melihat
hukum sebagai suatu sistem aturan
yang abstrak. Metode ini melihat hukum
sebagai lembaga yang
benar-benar otonom dan dapat dibicarakan
sebagai subyek tersendiri terlepas
dari hal-hal lain yang berkaitan
dengan peraturan-peraturan.
3.
Metode
Sosiologis, yaitu metode yang berangkat dari
pandangan yang melihat hukum sebagai alat untuk mengatur
masyarakat. Perhatian metode ini tertumpu pada faktor
kemasyarakatan yang mempengaruhi
pembentukan wujud dari perkembangan hukum, serta efektifitas hukum itu sendiri
dalam kehidupan masyarakat.
4.
Metode Historis, yaitu metode yang mempelajari hukum
dengan melihat sejarah hukum itu
sendiri, sehingga akan mengetahui bagaimana lahir,
berkembang dan lenyapnya
hukum serta perkembangan
lembaga-lembaga hukum.
5.
Metode
Sistematis, yaitu metode yang mempelajari hukum
dengan melihat hukum sebagai suatu sistem yang terdiri atas berbagai subsistem (seperti
hukum perdata, hukum pidana,
hukum tata negara, hukum
administrasi negara dan sebagainya).
6.
Metode
Komparatif, yaitu metode yang mempelajari hukum dengan membandingkan antara tata hukum yang berlaku di suatu negara tertentu dengan tata hukum yang berlaku di negara
lain, baik di masa lampau maupun pada saat berlaku
(sekarang). Sehingga akan diketahui
adanya persamaan-persamaan dan perbedaannya.
B.
Batasan Pengertian Pengantar Ilmu Hukum
Pengantar Ilmu
Hukum atau "Encyclopaedia
Hukum" merupakan mata kuliah dasar bagi setiap orang yang akan mempelajari
ilmu hukum dengan segenap
ruang lingkupnya yang sangat luas,
dan menanamkan tentang pengertian-pengertian dasar
dari berbagai istilah dalam
ilmu hukum, gambaran dasar tentang
sendi-sendi utama serta ajaran-ajaran penting dalam ilmu hukum.
Dengan kata
lain Pengantar Ilmu Hukum
adalah mata kuliah dasar
yang bertujuan untuk memperkenalkan ilmu
hukum secara keseluruhan dalam
garis besarnya. Secara sederhana dapat diragakan dalam bagan sebagai berikut:


Pengantar Ilmu Hukum Filsafat
Hukum

Encyclopaedia Hukum Sosiologi Hukum


Hukum-Hukum
Publik












|

Keterangan : Untuk
mempelajari Filsafat Hukum,
Sosiologi Hukum, Hukum-Hukum Publik dan Hukum-hukum privat
harus didasari oleh Pengantar Ilmu Hukum.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa hakekat
Pengantar Ilmu Hukum adalah sebagai
dasar dari pengetahuan hukum yang mengandung pengertian-pengertian dasar yang
menjadi akar dari ilmu hukum itu sendiri
atau bahwa Pengantar Ilmu Hukum
merupakan dasar untuk pelajaran lebih lanjut dalam studi ilmu
hukum. Akibatnya apabila ilmu pengantar
ini tidak dipahami secara
seksama dan tuntas, tidaklah mungkin
dapat diperoleh pengertian yang
baik tentang berbagai cabang ilmu
hukum baik yang publik maupun yang privat.
C.
Kedudukan dan Fungsi Pengantar Ilmu Hukum
Kedudukan
Pengantar Ilmu Hukum dalam kesatuan kurikulum
yang diajarkan pada Fakultas Hukum di Indonesia adalah sebagai
mata kuliah dasar keahlian,
oleh karena itu Pengantar
Ilmu Hukum berfungsi untuk
memberikan
pengertian-pengertian baik secara garis
besar maupun secara mendalam mengenai segala sesuatu yang berkaitan
dengan hukum, bagi Mahasiswa Fakultas Hukum yang mengawali belajar tentang
hukum. Selain itu juga mempunyai fungsi "pedagogis" yakni menumbuhkan
minat untuk dengan penuh kesungguhan
mempelajari ilmu hukum, sehingga
tepat bahwa Pengantar Ilmu Hukum merupakan dasar untuk pelajaran lebih lanjut
dalam studi ilmu hukum. Akibatnya apabila ilmu
pengantar ini tidak dipahami
secara seksama dan tuntas, tidaklah mungkin
dapat diperoleh pengertian yang baik tentang berbagai cabang ilmu hukum
baik yang publik maupun yang privat.
Oleh karena
itu siapapun yang ingin
mempelajari atau melakukan studi
hukum tetapi tidak menguasai Pengantar Ilmu Hukum akan mengalami kesulitan, kalau tidak
dikatakan akan mengalami kegagalan.
BAB
II
ANEKA ARTI HUKUM
Di depan telah diuraikan mengenai arti hukum secara
simpel, tetapi arti hukum tersebut dirumuskan bukan untuk membatasi atau
memberi definisi hukum. Karena memberi definisi hukum merupakan hal yang sangat
sukar sekali. Seperti yang dikemukakan
oleh Van Apeldorn yang menyebut
pendapat Imanuel Kant, bahwa batasan tentang hukum masih senantiasa dicari dan
belum didapatkan. Kesukaran ini karena hukum mencakup aneka macam segi dan
aspek, serta karena luasnya ruang lingkup hukum di samping itu sumbernyapun di
berbagai bidang.
Di samping pemberian arti umum untuk perluasan
pemahaman, berikut ini akan dikemukakan aneka arti hukum, sebagai berikut :
a.
Hukum Dalam Arti Ketentuan Penguasa
Di sini hukum adalah
perangkat-perangkat peraturan tertulis yang dibuat oleh pemerintah, melalui
badan-badan yang berwenang membentuk berbagai peraturan tertulis (UUD, UU,
Keppres, PP, Kep. Men dan Perda). Termasuk juga adalah keputusan-keputusan
Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum atau yurisprudensi.
|
|
||||


?
![]() |
Keterangan : Hukum dalam
arti ketentuan penguasa berupa hasil pembuatan peraturan
perundang-undangan dan keputusan Pengadilan.
Arti ini mudah
dipahami oleh orang awam yang bukan ahli hukum, namun telah mendapatkan
pendidikan yang cukup, seperti para sarjana di luar pendidikan hukum, dan
setidaknya yang di SMU.
b. Hukum Dalam Arti Para Petugas
Sebagian warga
masyarakat, menunjuk hukum pada para petugas yang berusaha mengamankan dan
menegakkan hukum. Hukum dibayangkan dalam wujud petugas yang berseragam dan
bisa bertindak terhadap orang-orang yang melakukan tindakan-tindakan yang
membahayakan warga masyarakat.
Orang-orang pada kelompok
lapisan tertentu melihat hukum dalam wujud sebagai para petugas (penegak
hukum), seperti Polisi yang sedang patroli, Jaksa dengan seragamnya dan Hakim
dengan toganya yang hitam berdasi putih. Di sini hukum dilihatnya dalam arti
sebagai wujud fisik yang ditampilkan dalam gambaran orang-orang yang bertugas
menegakkan hukum.
c. Hukum Dalam Arti Sikap Tindak
Yaitu hukum sebagai perilaku
yang ajeg atau sikap tindak teratur, di mana bekerjanya tidak nampak seperti
dalam arti petugas, melainkan menghidup bersama dengan perilaku individu
terhadap yang lain secara terbiasa, dan senantiasa terasa wajar serta rasional.
Di sini hukum bekerja “mengatur”
sikap tindak warga masyarakat, sedemikian rupa, sehingga hukum terlihat sebagai
sikap tindak yang nampak di dalam pergaulan sehari-hari, ia merupakan suatu
kebiasaan.
d. Hukum Dalam Arti Sistem Kaedah
Sistem
adalah merupakan suatu pemikiran bulat yang di dalamnya terdiri dari
bagian-bagian yang saling berhubungan dengan serasi dan saling mengisi serta
tidak saling bertentangan satu dengan lain. Kebulatan pemikiran ini merupakan
cara untuk mencapai tujuan tertentu.
Kaedah
atau norma adalah ketentuan-ketentuan tentang baik buruk perilaku manusia di
tengah pergaulan hidupnya, dengan menentukan perangkat-perangkat peraturan yang
bersifat perintah dan anjuran larangan-larangan.
Menurut Hans Kelsen “tata kaedah
hukum suatu negara merupakan suatu sistem kaedah-kaedah hukum yang heirarkhis
yang dalam bentuknya yang sangat sederhana”.
Atau hukum sebagai sistem kaedah
adalah:
1.
Suatu
tata kaedah hukum yang merupakan sistem kaedah-kaedah hukum secara heirarkhis.
2.
Susunan
kaedah-kaedah hukum yang sangat disederhanakan dari tingkat bawah ke atas
meliputi:
i.
Kaedah-kaedah
individual dari badan-badan pelaksana hukum terutama Pengadilan.
ii.
Kaedah-kaedah
umum di dalam UU atau hukum kebiasaan.
iii.
Kaedah-kaedah
konstitusi.
Ketiganya
dinamakan kaedah positif.
3. Sahnya
kaedah-kaedah hukum dari golongan tingkat yang lebih rendah tergantung atau
ditentukan oleh kaedah-kaedah yang termasuk golongan tingkat yang lebih tinggi.
Di samping
kaedah hukum, dalam masyarakat dikenal dan bekerja kaedah-kaedah lain, yaitu:
- Kaedah-kaedah kesopanan;
- Kaedah kesusilaan;
- Kaedah agama dan kepercayaan.
e. Hukum Dalam Arti Jalinan Nilai
Hukum dalam arti jalinan nilai
bertujuan menserasikan nilai-nilai obyektif yang universal tentang baik dan
buruk, tentang patut dan tidak patut, sedemikian rupa untuk mencerminkan
rumusan perlindungan kepentingan antar individu, pemenuhan kebutuhan dan
perlindungan hak dengan ketentuan yang merupakan kepastian hukum.
Dalam hal tertentu hukum secara
khusus menentukan nilai-nilai subyektif yang secara tertentu memberi keputusan
bagi keadilan sesuai keadaan pada suatu tempat, waktu dan budaya masyarakat.
Tujuan hukum dalam kaitannya
dengan jalinan nilai adalah mewujudkan keserasian dan keseimbangan antara
faktor obyektif dan subyektif dari hukum demi terwujudnya nilai-nilai keadilan
dalam hubungan antara individu di tengah pergaulan hidupnya.
f. Hukum Dalam Arti Tata Hukum
Tata hukum atau kerap kali
disebut hukum positif adalah hukum yang berlaku disuatu tempat, pada saat
tertentu (sekarang).
Dalam arti ini tentunya tata
hukum pada suatu negara yang berlaku dewasa ini, misalnya tata hukum Amerika
adalah hukum yang berlaku di USA baik federal maupun di berbagai negara bagian.
Demikian pula di Inggris, di India, di RRC, di Jerman dsb.
Tata hukum di Indonesia adalah
hukum yang sedang berlaku dewasa ini di Indonesia, yang meliputi baik hukum
publik maupun hukum privat:
-
Hukum publik yang terdiri antara lain HTN , Hk. Pidana, HAN, Hk. Internasional.
-
Hukum
privat yang terdiri antara lain Hk. Perdata, Hk. Dagang.
g.
Hukum Dalam Arti Ilmu Hukum
Hukum dalam arti ilmu hukum, hukum di lihat sebagai
ilmu pengetahuan yang merupakan karya manusia yang berusaha mencari kebenaran
tentang sesuatu yang memiliki ciri-ciri sistematis, logis, empiris, metodis,
umum dan akumulatif.
Dalam arti ilmu hukum meliputi:
1.
Ilmu Kaedah (normwissenchaft
atau sollenwissenschaft) yaitu
ilmu yang menelaah hukum sebagai kaedah-kaedah dengan domatig hukum dan
sistematik hukum.
2.
Ilmu Pengertian (begriftenwissenschaft)
yaitu ilmu tentang pengertian-pengertian pokok dalam hukum, misalnya subyek
hukum, masyarakat hukum, peranan hukum, peristiwa hukum, objek hukum, akibat
hukum.
3.
Ilmu Kenyataan (Tatsachenwissenschaft)
yaitu menyoroti hukum sebagai perilaku atau sikap tindak, yang antara lain
dipelajari dalam Sosiologi Hukum, Antropologi Hukum, Psikologi Hukum, Sejarah
Hukum, Perbandingan Hukum.
h. Hukum Dalam Arti Disiplin Hukum
Dalam telaah tentang apa yang
ada di dalam batasan disiplin, maka dapat dibedakan antara disiplin analitis (merupakan sistem ajaran yang menganalisa
memahami dan menjelaskan gejala-gejala yang dihadapi) dan disiplin perspektif (merupakan sistem ajaran yang menentukan di
dalam menghadapi kenyataan tertentu).
Dari batasan
tentang disiplin tersebut maka dapat dipahami bahwasannya disiplin hukum
(sebagai sistem ajaran mengenai kenyataan atau gejala-gejala hukum yang ada dan
hidup di tengah pergaulan) merupakan
disiplin perspektif, yang berusaha menentukan apa yang seyogyanya, seharusnya
dan patut dilakukan dalam menghadapi kenyataan.
Dalam kerangka disiplin hukum
sebagai suatu sistem disiplin perspektif, di dalamnya membahas tiga yaitu Ilmu Hukum, Filsafat Hukum dan Politik
Hukum.
Ilmu Hukum, intinya merupakan ilmu pengetahuan yang berusaha membahas dan
menelaah hukum (lihat penjelasan sebelumnya).
Filsafat Hukum adalah ilmu pegetahuan yang mempelajari
pernyataan-pernyataan mendasar dari hukum. Atau merupakan ilmu pengetahuan
tentang hakekat hukum, sehingga dalam ilmu ini akan dikemukakan tentang
dasar-dasar kekuatan mengikat dari hukum.
Politik Hukum adalah disiplin hukum yang mengkhususkan dirinya pada usaha
memerankan hukum dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan oleh masyarakat
tertentu. Sebab bila disimak tentang kondisi suatu masyarakat yang teratur maka
senantiasa memiliki tujuan untuk mensejahterakan warganya, sedangkan politik
hakekatnya merupakan sarana untuk mencapai tujuan sehingga politik juga
merupakan aktifitas memilih tujuan tertentu. Dalam kaitannya dengan
permasalahan hukum, juga dijumpai keadaan yang sama. Untuk itu hukum yang
berusaha memilih tujuan dan cara pencapainya tersebut merupakan perpaduan dari
sisi politik dan sisi hukum atau merupakan politik hukum.
BAB III
DISIPLIN HUKUM
Pengantar
Dalam telaah tentang apa yang
ada di dalam batasan disiplin, maka dapat dibedakan antara disiplin analitis (merupakan sistem ajaran yang menganalisa
memahami dan menjelaskan gejala-gejala yang dihadapi) dan disiplin perspektif (merupakan sistem ajaran yang menentukan apakah
yang seyogyanya atau yang seharusnya dilakukan di dalam menghadapi kenyataan
tertentu).
Dari batasan tentang disiplin
tersebut maka dapat dipahami bahwasannya disiplin hukum (sebagai sistem ajaran
mengenai kenyataan atau gejala-gejala hukum yang ada dan hidup di tengah pergaulan) merupakan disiplin perspektif, yang
berusaha menentukan apa yang seyogyanya, seharusnya dan patut dilakukan dalam
menghadapi kenyataan.
Dalam kerangka disiplin hukum
sebagai suatu sistem disiplin perspektif, di dalamnya membahas tiga yaitu Ilmu Hukum, Filsafat Hukum dan Politik
Hukum.
1. Ilmu Hukum
Ruang lingkup yang dipelajari dalam ilmu hukum meliputi :
a.
Ilmu
Kaedah (normwissenchaft atau
sollenwissenschaft) yaitu ilmu yang menelaah hukum sebagai kaedah-kaedah
dengan domatig hukum dan sistematik hukum.
b.
Ilmu Pengertian (begriftenwissnschaft)
yaitu ilmu tentang pengertian-pengertian pokok dalam hukum, misalnya subyek
hukum, masyarakat hukum, peranan hukum, peristiwa hukum, obyek hukum, akibat
hukum.
c.
Ilmu Kenyataan (Tatsachenwissenschaft)
yaitu menyoroti hukum sebagai perilakuan atau sikap tindak, yang antara lain
dipelajari dalam Sosiologi Hukum, Antropologi Hukum, Psikologi Hukum, Sejarah
Hukum, Perbandingan Hukum.
2. Filsafat Hukum
Filsafat Hukum adalah ilmu pegetahuan yang mempelajari
pernyataan-pernyataan mendasar dari hukum. Atau merupakan ilmu pengetahuan
tentang hakekat hukum, sehingga dalam ilmu ini akan dikemukakan tentang
dasar-dasar kekuatan mengikat dari hukum.
3. Politik Hukum
Politik Hukum adalah disiplin hukum yang mengkhususkan dirinya pada usaha
memerankan hukum dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan oleh masyarakat
tertentu.
Sebab bila disimak tentang kondisi suatu masyarakat yang teratur maka
senantiasa memiliki tujuan untuk mensejahterakan warganya, sedangkan politik
hakekatnya merupakan sarana untuk mencapai tujuan sehingga politik juga
merupakan aktifitas memilih tujuan tertentu.
Secara sederhana
disiplin hukum dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut:
BAB IV

ILMU HUKUM SEBAGAI
ILMU KENYATAAN
Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya bahwa ilmu kenyataan (Tatsachenwissenschaft
atau Seinwissenschaft) menyoroti
hukum sebagai perikelakuan atau sikap tindak. Termasuk sebagai ilmu-ilmu
kenyataan hukum, adalah:
1. Sosiologi Hukum
Sosiologi hukum adalah cabang ilmu pengetahuan yang secara empiris dan
analitis mempelajari hubungan timbal bailk antara hukum sebagai gejala sosial
dengan gejala-gejala sosial lain. Studi yang demikian ini memiliki
karakteristik (sekaligus) merupakan “kunci” bagi orang yang berminat untuk
melakukan penyelidikan dalam bidang sosiologi hukum), yaitu sebagai berikut:
a.
Sosiologi hukum bermaksud memberi penjelasan terhadap
praktek-praktek hukum, seperti dalam pembuatan undang-undang, praktek peradilan
dsb. Sosiologi hukum berusaha menjelaskan mengapa praktek demikian itu terjadi,
faktor apa yang berpengaruh, latar belakangnya dsb. (oleh Max Weber disebut sebagai interpretative-understanding).
b.
Sosiologi
hukum tidak hanya menerima tingkah laku yang tampak dari luar saja, melainkan
ingin memperoleh pula penjelasan yang bersifat internal, yaitu yang meliputi
motif-motif tingkah laku seseorang.
c.
Sosiologi
hukum senantiasa menguji keabsahan empiris dengan usaha untuk mengetahui antara
kaedah dan di dalam kenyataannya, baik dengan data empiris.
d.
Sosiologi
hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum, tetapi mendekati hukum dari
segi obyektivitas semata dan bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap
fenomena hukum yang nyata.
2. Antropologi Hukum
Antropologi
hukum yaitu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari pola-pola sengketa dan
penyelesaiannya pada masyarakat-masyarakat sederhana, maupun masyarakat yang
sedang mengalami proses perkembangan dan pembangunan/modern.
Pendekatan
yang dipakai dalam ilmu ini adalah pendekatan
secara menyeluruh yang dilakukan terhadap manusia.
Maka
karakteristik Antropologi Hukum terletak pada sifat pengamatan, penyelidikan
secara menyeluruh terhadap kehidupan manusia. Hal inilah yang menempatkan
terapan antropologi, dalam Antropologi Hukum, hingga mendapatkan hasil studi
yang lebih mempunyai nilai universal baik dalam hubungannya dengan waktu maupun
tempat, atau paling tidak menuju kesasaran itu.
Baginya
“hukum” hendaknya diartikan lebih dari sekedar peraturan dan lembaga-lembaga
pelaksanaannya yang formal.
Seperti dapat diikuti pada perumusan fungsi-fungsi yang
diperankan oleh hukum, sebagai berikut:
a.
Merumuskan
hubungan-hubungan antar anggota suatu masyarakat untuk menentukan
perbuatan-perbuatan apa yang boleh dan yang tidak, dengan tujuan mempertahankan
-paling tidak- integrasi minimal dari kegiatan orang-orang dan
kelompok-kelompok dalam masyarakat.
b.
Keharusan
untuk menjinakkan kekuatan yang belum mapan dan mengarahkannya pada
pemeliharaan tatanan. Fungsi ini meliputi pengalokasian kekuasaan dan penegasan
tentang siapa boleh menggunakan paksaan fisik sebagai suatu hak istimewa yang
diakui secara sosial, bersama-sama dengan pemilihan bentuk-bentuk sanksi fisik
yang paling efektif guna mencapai tujuan-tujuan sosial dari hukum.
c.
Penyelesaian-penyelesaian
sengketa yang timbul.
d.
Melakukan
perumusan kembali hubungan-hubungan antara orang-orang atau kelompok-kelompok
manakala kondisi-kondisi kehidupan berubah, fungsi ini dijalankan untuk
mempertahankan kemampuan beradaptasi.
Dari itu semua Antropologi Hukum memperhatikan dan
menerima hukum sebagai bagian dari proses-proses yang lebih besar dalam
masyarakat, sehingga ia melihat hukum tidak secara statis melainkan dinamis,
yaitu dalam proses-proses terbentuknya dan menghilang secara berkesinambungan.
Atau
dengan kata lain Antropologi hukum bagi perkembangan ilmu hukum, memberikan
manfaat sebagai berikut:
·
Hasil penelitiannya dapat:
memberikan gambaran tentang hukum dalam konteks kebudayaan
suatu masyarakat;
memberikan data tentang penerapan hukum tertulis dalam
masyarakat yang majemuk;
mengetahui sebab-sebab atau latar belakang, mengapa warga
masyarakat enggan menyelesaikan masalah-masalah hukum pada Pengadilan;
mengidentifikasikan
tentang kebutuhan-kebutuhan hukum warga masyarakat, serta latar belakang sosial
budayanya;
·
dapat
ditelusuri sistem nilai-nilai yang menjadi dasar dari sistem hukum tertentu;
·
dengan
menelaah bahan-bahan Antropologi hukum dapat diketahui pola-pola proses hukum
manakah yang digunakan untuk menegakkan sistem nilai-nilai dalam masyarakat;
·
memberikan
pengetahuan tentang kemungkinan digunakannya proses peradilan tidak resmi yang
mungkin lebih efektif dari pada peradilan resmi.
3. Psikologi Hukum
Psikologi hukum yaitu cabang ilmu pengetahuan yang
mempelajari hukum sebagai suatu perwujudan dari perkembangan jiwa manusia.
Psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku manusia (human behaviour), maka dalam kaitannya dengan studi hukum ia akan
melihat hukum sebagai salah satu pencerminan perilaku manusia. Mengingat suatu
kenyataan bahwa salah satu yang menonjol pada hukum, terutama pada hukum
modern, adalah penggunaannya secara sadar sebagai alat mencapai tujuan-tujuan
yang dihendaki. Sehingga sadar atau tidak, hukum memasuki bidang yang menggarap
tingkah laku manusia (bidang psikologi). Leon Petrazycky beranggapan bahwa
fenomena-fenomena hukum itu terdiri dari proses-proses psikhis yang unik, yang
hanya dapat dilihat dengan menggunakan methoda introspeksi. Sedangkan hak-hak dan kewajiban sebagai hal yang ada
hanya dalam pikiran manusia, tetapi mempunyai arti sosial, oleh karenanya ia
menciptakan “pengalaman imperatif-atributif” yang mempengaruhi tingkah laku
mereka yang merasa terikat olehnya.
4. Sejarah Hukum
Sejarah hukum adalah salah satu bidang studi hukum yang
mempelajari perkembangan dan asal usul sistem hukum dalam suatu masyarakat
tertentu dan memperbandingkan antara hukum yang berbeda yang dibatasi oleh
perbedaan waktu.
Dalam studi ini, ditekankan mengenai sistem hukum suatu
bangsa merupakan suatu ekspresi jiwa yang bersangkutan dan oleh karenanya
senantiasa yang satu berbeda dengan yang lain.
Perbedaan ini terletak pada karakteristik pertumbuhan
yang dialami oleh masing-masing sistem hukum. Apabila dikatakan bahwa hukum itu
tumbuh, maka yang diartikan adalah hubungan yang terus menerus antara sistem
yang sekarang dengan sistem yang lalu. Apabila dapat diterima bahwa hukum yang
sekarang berasal dari yang sebelumnya atau hukum yang sekarang dibentuk
proses-proses yang berlangsung pada waktu yang lampau. Mengenai dan memahami
secara sistematis proses-proses terbentuknya hukum, faktor-faktor yang
menyebabkannya, dsb, memberikan tambahan pengetahuan yang berharga untuk
memahami fenomena hukum dalam masyarakat.
5. Perbandingan Hukum
Perbandingan hukum adalah (suatu methoda studi hukum)
yang mempelajari perbedaan sistem hukum antara negara yang satu dengan yang
lain. Atau membandingkan sistem hukum positif dari bangsa yang satu dengan
bangsa yang lain (dua sistem hukum atau lebih).
Yang perlu mendapat perhatian bahwa di sini terdapat ius comparadum (hukum pembanding) dan ius comparatum (hukum dibanding) serta
tertium comparatum (bahan/ukuran bandingan).
Maksudnya bahwa dalam membanding-bandingkan dua sistem
hukum atau lebih, sebelumnya telah ditentukan suatu ukuran ideal tentang sistem
hukum tertentu, sehingga arah dari perbandingan tersebut dapat ditentukan pula.
Bahan-bahan yang diperoleh dari proses perbandingan tersebut pada akhirnya
dapat dijadikan sarana guna memperdalam pemahaman terhadap sistem hukum tertentu.
![]() |
|||
![]() |
|||

Keterangan : Hukum
sebagai kenyataan ia menghidup dalam pergaulan hidup manusia
dan tercermin dalam sikap tidak warga masyarakat.
BAB V
ILMU
HUKUM SEBAGAI ILMU KAEDAH
1. PENGERTIAN
ILMU PENGETAHUAN
a.
Definisi Ilmu Pengetahuan
Sebenarnya
definisi itu sekedar merupakan suatu titik tolak bagi sesuatu penguraian dan
analisa lebih lanjut, sehingga pada akhirnya menjadi lebih jelas batas-batas
serta ruang lingkup penyediaan ilmu yang didefinisikan itu dan menjadi lebih
teranglah sifat-sifat ilmu itu dan tempatnya dalam kerangka umum ilmu-ilmu yang
lain.
Adapun salah
satu definisi tentang ilmu adalah : bahwa
ilmu merupakan akumulasi pengetahuan yang disistematisasikan. Definisi
tentang ilmu seperti dikemukakan di atas sebenarnya terlalu luas dan baru akan
menjadi lebih jelas, apabila dapat ditegaskan lebih lanjut arti yang lebih
terperinci mengenai pengetahuan, dan arti tentang sistematik dan organisasi
yang digunakan dalam definisi itu.
Ilmu dapat pula
dilihat sebagai suatu pendekatan atau suatu metode pendekatan terhadap seluruh
dunia empiris, yaitu dunia yang terikat oleh faktor ruang dan waktu, dunia yang
pada prinsipnya dapat diamati oleh panca indera manusia.
Dalam definisi
ini titik berat diletakkan kepada metode ilmu. Memang yang mengikat semua ilmu
adalah adanya metode ilmu yang digunakan untuk mensistematisasikan seluruh
pengetahuan yang sifatnya masih fragmentaris itu.
Demikian itu
apabila dipelajari definisi tentang ilmu tersebut, maka akan diketahui bahwa
ciri-ciri yang pokok yang terdapat pada pengertian ilmu itu adalah:
1. Bahwa ilmu
itu rasional.
2. Bahwa ilmu
itu bersifat empiris.
3. Bahwa ilmu
itu bersifat umum.
4. Bahwa ilmu
itu bersifat akumulatif.
Penjelasan:
Bahwa yang dimaksud
dengan rasional di sini adalah suatu
sifat kegiatan berpikir yang dituduhkan kepada logika formal dengan urutan
berpikir silogistik, di mana kemampuan untuk berpikir rasional pada manusia
dibawa oleh kemampuannya untuk dapat berpikir secara abstrak. Di samping itu
manusia adalah makhluk yang dapat berpikir secara kompleks dan konsepsional,
serta dia menyadari akan dimensi waktu masa lampau, sekarang dan masa yang akan
datang.
Berpikir
rasional sebenarnya dapat digunakan dan atau diterapkan kepada dunia empiris
dan non-empiris. Akan tetapi ilmu adalah hasil daripada berpikir rasional yang
ditunjukkan atau diterapkan kepada dunia empiris saja. Maka sampailah
kita kepada sifat yang kedua dari yaitu sifat-sifat empiris di samping
rasional.
Ilmu dikatakan bersifat empiris,
oleh karena konklusi-konklusinya yang diambil harus dapat ditundukkan kepada
pemeriksaan atau pada verifikasi panca indera manusia.
Dalam hubungan dengan sifat empiris dari ilmu itu para ilmiawan dan
terutama para filsuf dewasa ini kebanyakan sependapat, bahwa kita tidak dapat
mempelajari dunia dan mengembangkan ilmu tanpa bantuan panca indera kita. Hal
itu terbentuk dalam preposisi ilmiah yang antara lain adalah kaedah-kaedah
logika formal dan hukum-hukum kuasalitas, yang menjadi dasar-dasar ilmu yang
menghasilkan kebenaran-kebenaran yang bersifat relatif. Ilmu yang terdiri atas
2 (dua) unsur besar fakta dan teori, mendefinisikan, sedang teori mempunyai
fungsi menetapkan hubungan yang terdapat diantara fakta-fakta itu. Sehingga
tanpa adanya sistem atau tanpa adanya prinsip yang mengatur, singkatnya tanpa
teori, fakta tidak mempunyai sesuatu arti. Oleh karena itu kelirulah anggapan
kebanyakan orang yang mengatakan bahwa fakta lebih penting dari pada teori atau
sebaliknya. Fakta dan teori atau sebaliknya. Fakta dan teori sangat erat
hubungannya dan mempunyai hubungan yang fungsional.
Ilmu bersifat umum maksudnya,
bahwa kebenaran-kebenaran yang dihasilkan oleh ilmu itu dapat diverifikasikan
oleh peninjau-peninjau ilmiah yang mempunyai hak dan kemampuan untuk melakukan
itu.
Obyek maupun metode ilmu harus dapat dipelajari dan diikuti secara umum (open baar) dan dapat diajarkan dalam
kelas bersama-sama. Kebenaran-kebenaran yang dihasilkan oleh sesuatu ilmu tidak
bersifat rahasia dan tidak dirahasiakan, melainkan hasil-hasil kebenaran ilmu
justru memiliki ilmu sosial, serta kewibawaan ilmiah setelah hasil-hasil itu
diketahui, diselidiki dan dibenarkan validitasnya oleh sebanyak mungkin ahli
dalam bidang ilmu tersebut, jadi bersifat open baar (umum).
Sedangkan sifat lain dari ilmu yang harus dapat dikatakan akumulatif oleh karena ilmu yang kita
kenal merupakan kelanjutan dari ilmu yang telah dikembangkan sebelumnya.
Dalam proses perkembangan atau dalam proses kumulasinya konklusi-konklusi
dari ilmu biasanya bersifat tentatif. Di mana ilmu itu akan bersifat korektif
terhadap konklusi yang diperolehnya. Sehingga jika suatu konklusi itu kemudian
ternyata tidak/kurang benar, maka dalam perkembangan selanjutnya ilmu itu akan
mengkoreksi dirinya sendiri.
b.
Metode Ilmu Pengetahuan
Metode ilmu
adalah suatu prosedur berpikir teratur yang digunakan dalam penelitian untuk
memperoleh konklusi-konklusi ilmiah berdasarkan atas postulat-postulat dan
preposisi-preposisi ilmiah tertentu.
Prinsipnya
-sekurang-kurangnya- metode ilmu itu meliputi:
1.
Pernyataan
masalah penelitian;
2.
Pemecahan
masalah/soal yang dirumuskan (penentuan atau pengembangan hipotesa);
3.
Melakukan tes/uji coba dan verifikasi terhadap hipotesa.
c. Sikap
Ilmiah
Sikap ilmiah
adalah sikap-sikap yang seharusnya dimiliki oleh setiap ilmuan dalam melakukan
tugasnya untuk mempelajari, meneruskan, menolak atau menerima serta merubah
atau menambah ilmu.
Dengan kata lain
seorang ilmuan harus memiliki sikap bathin tertentu, sesuai dengan makna dan
maksud dari apa yang menjadi niat dan apa yang hendak dilakukan. Adapun sikap
ilmiah itu, antara lain :
1.
Obyektivitas;
2.
Beranggapan sesuatu itu serba relatif;
3.
Selalu
curiga atau tidak segera percaya (skeptif);
4.
Memiliki
kesabaran intelektual;
5.
Memiliki
kesederhanaan dalam berpikir, berpendapat dan menguji/ membuktikan;
6.
Tidak
memihak pada etik atau bebas nilai.
2. ILMU
PENGETAHUAN KAEDAH
Dalam ilmu
pengetahuan kaedah (norm-wissenschaft/sollen-wissenschaft/ilmu-ilmu
normatif) apa yang tertuang dalam perangkat ilmu pengetahuan sebagaimana telah
dijelaskan di depan diterapkan dalam mempelajari kaedah atau norma yang tumbuh,
hidup, berkembang, dan hilang, mati, tenggelam bersama-sama dengan tumbuh,
hidup, berkembang, dan hilang, mati, tenggelamnya pola hidup pergaulan di
masyarakat.
Di mana pola
hidup yang dimaksud adalah sesuatu struktur atau susunan dari kaedah-kaedah
untuk hidup. Sehingga dapat dikatakan bahwa kaedah merupakan patokan atau
ukuran atau pedoman untuk berkelakuan atau bersikap tindak dalam hidup.
Bila lebih
dicermati maka kaedah merupakan perumusan pandangan mengenai perilaku dan sikap
tindak yaitu sikap tindak dan perilaku yang baik dan buruk, yang patut dan
tidak patut, dalam ketentuan-ketentuan yang telah menghidup, membumi di dalam
pergaulan hidup dari waktu ke waktu, yang hanya akan berubah apabila kelompok
pergaulan tersebut menghendakinya.
Kaedah-kaedah
itu terwujud secara alamiah dan dianut baik yang tidak tertulis maupun yang
tertulis. Di dalamnya terdapat beberapa kaedah, di samping terdapat kaedah
hukum, juga banyak terdapat kaedah-kaedah lain yang bukan merupakan kaedah
hukum. Yang bersifat sebagai kaedah hukum proses pengkaedahannya berlangsung
secara tidak tertulis, namun pada masyarakat modern yang telah komplek seperti
sekarang ini, banyak pengkaedahan yang melalui proses pembuatan undang-undang
(tertulis).
Jadi dapat
dikatakan bahwa ilmu pengetahuan kaedah adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari dan menelaah proses terjadinya kaedah atau pengkaedahan.
3. ILMU
HUKUM SEBAGAI ILMU KAEDAH
a.
Ide hukum,
hukum positif dan paham hukum.
Ilmu hukum sebagai ilmu kaedah, merupakan ilmu yang menelaah ilmu sebagai
ilmu kaedah, atau sistem kaedah-kaedah dengan dogmatik hukum atau sistematik
hukum, sedemikian rupa sehingga dapat dipahami dengan jelas tentang hukum
sebagai ilmu kaedah.
Apabila kita memandang dan menyelidiki masyarakat, yakni sebagai suatu
kenyataan, maka dapat ditemui berupa-rupa gejala yang dapat diuraikan secara
sosiologis dan/atau psikologis (misalnya: hubungan diantara agama dengan
kejahatan; diantara pernikahan dan perceraian; dan sebagainya). Hasil uraian
itu semata-mata merupakan gubahan saja, yaitu tentang keadaan yang terdapat
dalam kenyataan sosial, tanpa memberikan penghargaan kepada gejala-gejala itu.
Dengan cara itu kita tidak mementingkan nilai gejala-gejala itu (kita tidak
mengatakan suatu apa-apa tentang betapa jahatkah kejahatan itu; betapa buruklah
perceraian pernikahan itu); kita hanya menggubahkan gejala-gejala itu,
sebagaimana gejala itu telah kita tangkap dengan panca indera kita dalam dunia
kenyataan.
Lain halnya apabila kita mepersoalkan harta benda kebudayaan (“Kulturguiter”); di sanalah gubahan
yang semata-mata gubahan saja, sekali-kali tidak memuaskan. Kepada arti harta
benda kebudayaan (misalnya; kesenian, hukum, juga menurut suatu arti yang tertentu;
agama), kita senantiasa mengaitkan juga suatu penilaian.
Kita akan mengakui bahwa manusia dikuasai oleh nilai-nilai yang mutlak, dan
oleh ide-ide, yang menjadi alasan sehingga manusia merasa terdorong berbuat
sesuatu. Manusia hendak hidup dengan penuh keinsafan, sebagaimana budi manusia
meluluskannya; dengan demikian manusialah yang menyesuaikan diri dengan ide-ide
itu. Yang dimaksudkan ialah misalnya: Ide kebenaran, ide keindahan, ide
kemuliaan dan ide keadilan. Justru itulah sebabnya bahwa kita selalu
mempertalikan pertimbangan tentang nilai kepada hal-hal dan perlakuan-perlakuan
yang terdapat di dalam dunia kenyataan itu. Apabila dinyatakan sesuatu tentang
“baik atau buruk”, atau sebagai “bagus atau jelek”, atau sebagai “indah atau
keji”, maka kita mengucapkan sesuatu penilaian, hanya berdasarkan ide-ide
mutlak itulah dapat kita yang menyatakan demikian.
Ide terletak di dalam dunia ide, gejala-gejala, yang di dalam dunia
kenyataan, hanya dapat dimengerti sebagai pengabdian kepada ide itu. Segala hasil
usaha manusia hanya dapat dimengerti dan difahamkan dari sudut idenya. Hanya
harus diperhatikan bahwa hasil itu berbeda menurut tempat dan waktu. Juga
terdapat kaedah-kaedah harus difahami idenya.
Bagaimana halnya dengan hukum ?
Apakah yang menjadi dasarnya yang mutlak ?
Menurut pandangan golongan ahli filsafat Neo Kantian, seperti tokohnya ahli
filsafat hukum Gustav Radbruch, maka ide hukum itu tidak lain adalah keadilan
saja (Rechtsphilosophie 1950), ide hukum itu terletak di dalam dunia
nilai-nilainya yang mutlak.
Mulai dari zaman purbakala, semenjak manusia hidup bersama-sama di dalam
ikatan-ikatan tertentu, kaedah-kaedah hukum menguasai masyarakat. Masyarakat
sendiri, yang disusun menurut kehendak hukum positif dinamakan tertib hukum,
kita berharap pula supaya hukum positif itu berorientasi atas keadilan sebagai
ide hukum.
Radbruch mengatakan hukum (positif) ialah kenyataan yang bermaksud
mengabdikan kepada nilai hukum, kepada ide hukum; dan bahwa hukum (positif)
merupakan kenyataan, yang mempunyai pengetian akan mengabdi keadilan. Jadi,
apabila dipelajari sumber-sumber hukum positif (yaitu; sumber di dalam arti
zahiri); maka kita jumpa bentuk-bentuk yang berupa hukum yang bermaksud
mengabdi kepada keadilan. Kita khayalkan saja bahwa hukum positif itu memenuhi
maksudnya yang mulia itu sesungguhnya dengan demikian kita dapat menyebutkan
berikut-berikut hukum positif itu sebagian lambang-lambang dari pada ide hukum
hal itu tidak berarti bahwa seluruh hukum positif benar-benar berorientasi
kepada ide hukum; perumusan itu mengandung kemungkinan bahwa akan terdapat
jenis-jenis hukum positif benar-benar berorientasi kepada ide hukum; perumusan
itu mengandung kemungkinan bahwa akan terdapat jenis-jenis hukum positif juga
yang tidak memenuhi maksud itu. Akan tetapi kaedah hukum positif itu yang tidak
berorientasi kepada ide hukum tidak dapat dipandang sebagai lambangnya.
Kaedah-kaedah hukum itu harus dinyatakan dalam bentuk-bentuk zahiri, sehingga
bentuk itu dapat ditangkap dengan panca indera; tanda-tanda itu tidaklah
identik dengan kaedah, malahan tanda itu hanyalah lambang kaedah itu.
Sehubungan dengan hal itu, kita menemui suatu sifat baru, yakni pendapat
kita mengenai hukum. Maksudnya bahwa inti pengertian yang menentukan bahwa
kaedah-kaedah yang ditentukan adalah kaedah hukum, dan bahwa kaedah-kaedah lain
bukanlah kaedah hukum. Pengertian itu dapat dinamakan "paham-paham" /
der rechtbegrif”.
Jadi syarat tersebut dapat dirumuskan bahwasannya lambang hukum yang dapat
ditangkap oleh panca indera harus pula dengan hukum itu.
Sebagai ilustrasi, seringkali berdasarkan kebiasaan dapat dibuktikan apakah
suatu perbuatan adalah penjelmaan hukum atau bukan. Yang merupakan penjelmaan
hukum termasuk dalam “hukum kebiasaan”, sedangkan yang bukan merupakan
penjelmaan hukum atau kebiasaan-kebiasaan yang tidak diakui oleh hukum termasuk
dalam “kelaziman”.
Perbedaan antara perilaku sebagai penjelmaan hukum, dengan perilaku yang
dinilai kelaziman, haruslah dihubungkan pada ada atau tidak adanya paham hukum.
Baik hukum kebiasaan maupun kelaziman membebankan kehendaknya kepada
anggota-anggota masyarakat; keduanya memberikan aturan tingkahlaku kepada
manusia supaya ia menyesuaikan kelakuannya pada petunjuk-petunjuk itu, di
samping itu, keduanya dapat mempergunakan paksaan, supaya mereka yang ingkar
dalam memperhatikan perintahnya akan menyesuaikan diri kepada perintah-perintah
itu.
Perbedaannya, bahwa terhadap hukum kebiasaan dipertalikan “kuasa” (die macht) sedangkan terhadap kelaziman
tidak.
(Renungan
pernyataan/postulat ini, dan kondisionalkan dengan eksistensinya di Indonesia ?).
b. Kebiasaan
dan Atau Hukum Kebiasaan
Kebiasaan dapat
dipandang sebagai penjelmaan atau perwujudan hukum, oleh sebab itu kiranya
tepat apabila terhadapnya juga diistilahkan sebagai Hukum Kebiasaan.
Syarat-syarat
yang dapat membuktikan perilaku itu telah menjadi hukum kebiasaan ialah :
1.
Hendaknya
diperhatikan oleh yang berkepentinggan pada umumnya dan seringkali dihubungkan
perhatian dalam kurun waktu yang lama;
2.
Yang
berkepentingan harus sadar bahwa kelakuan mereka itu (kebiasaan itu) sesuai
dengan kehendak hukum; dan harus insaf bahwa mereka terikat kepada kebiasaan
(karena merupakan hukum).
Mengingat sifat
mengikatnya hukum kebiasaan tersebut, maka dalam kondisi seperti saat ini, di
mana disadari bersama bahwa bersamaan dengan kebiasaan maka telah melembaga
adanya undang-undang (hukum tertulis) yang nota bene merupakan tolok ukur utama
dalam memahami suatu tatanan hukum, dengan kata lain dalam kondisi tertentu,
kebiasaan dapat disederajadkan dengan undang-undang, sehingga sering kali
pemahaman ini di samping akan bersifat melengkapi juga memungkinkan menimbulkan
kondisi pertikaian perwujudan hukum diantara kebiasaan disatu sisi dan
undang-undang di sisi lain. Terhadap kondisi ini. Dalam ilmu hukum dikenal adanya
:
1.
Consuetudo praeter legem (kebiasaan yang menambah
atau menjelaskan undang-undang); tetapi janganlah undang-undang dipandang
sebagai kebiasaan-kebiasaan yang dikitabkan, melainkan perlu dihayati bahwa
hasil pekerjaan pembuat undang-undang merupakan perwujudan dari hukum itu
sendiri (di samping kebiasaan terdapat bentuk-bentuk hukum lain);
2.
Consuetudo praeter legem (kebiasaan yang
bertentangan dengan undang-undang); kebiasaan yang bertentangan dengan
undang-undang dapat mengakibatkan undang-undang dihapuskan (Consuetudo aobrogatoria), ataupun bahwa undang-undang itu tidak
diperhatikan lagi.
4.
HUKUM dan INTERDISIPLIN ILMU
Di dalam batasan
disiplin, dibedakan antara disiplin
analitis (merupakan sistem ajaran yang menganalisa memahami dan menjelaskan
gejala-gejala yang dihadapi) dan disiplin
perspektif (merupakan sistem ajaran yang menentukan apakah yang seyogyanya
atau yang seharusnya dilakukan di dalam menghadapi kenyataan tertentu).
Dari batasan
tentang disiplin tersebut maka dapat dipahami bahwasannya disiplin hukum
(sebagai sistem ajaran mengenai kenyataan atau gejala-gejala hukum yang ada dan
hidup di tengah pergaulan) merupakan
disiplin perspektif, yang berusaha menentukan apa yang seyogyanya, seharusnya
dan patut dilakukan dalam menghadapi kenyataan.
Dengan melihat
kenyataan bekerjanya hukum di dalam masyarakat, maka ilmu hukum yang bersifat
perpektif tidak dapat “bekerja” sendiri, melainkan senantiasa interdisipliner
dengan berbagai ilmu lain, baik yang bersifat analitis maupun yang sama perspektif,
sebab untuk menjabarkan hukum dalam kehidupan masyarakat, serta kaedahnya yang
menetapkan apa yang seharusnya dengan sanksi yang mengikat, serta melindungi
hak dan kepentingan yang berhubungan benda-benda nyata yang bergerak maupun
benda-benda kondisional alamiah, maka hukum harus berdampingan dengan
interdisiplin ilmu.
Secara umum
(berdasarkan atas obyek penelitiannya) interdisiplin ilmu dikelompokkan ke
dalam:
·
Ilmu-ilmu
pengetahuan alam, yang berusaha menyelidiki seluruh lingkungan alam manusia
(seperti : Biologi, Kimia, Fisika, dsb);
·
Ilmu-ilmu
pengetahuan alam, yang berusaha menyelidiki seluruh aspek rasional manusia yang
hidup dalam kelompok atau masyarakat (seperti ; Sejarah, Ilmu Hukum, Ilmu
Ekonomi, Ilmu Politik, Sosiologi, Antropologi, dsb);
·
Ilmu-ilmu
kerohanian, yang berusaha menyelidiki aspek-aspek tertentu kebudayaan
masyarakat yang erat kaitannya dengan sistem nilai-nilai etik dan estetik.
BAB VI
ILMU HUKUM SEBAGAI ILMU
PENGERTIAN
Pengantar
Ilmu pengertian yang
dimaksud dalam konteks pembahasan di sini adalah ilmu pengertian hukum yaitu
ilmu tentang pengertian-pengertian pokok dalam hukum, antara lain masyarakat
hukum, subyek hukum (termasuk hubungan hukum), peranan hukum, peristiwa hukum
(termasuk perbuatan hukum), obyek hukum, akibat hukum.
1. Masyarakat
Hukum
Apabila ditelaah
suku bangsa di Indonesia ,
maka akan nampak suatu masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok yang
berhubungan satu dengan yang lain, termasuk pula dengan alam yang tidak nampak,
terhadap dunia luar dan terhadap alam kebendaan, kelompok-kelompok ini
dapat disebut sebagai masyarakat hukum.
Dalam pergaulan
hukum mereka yang merasa menjadi anggota dari ikatan-ikatan itu bersikap dan
bertindak sebagai suatu kesatuan. Di mana terjadinya masyarakat itu merupakan takdir
alam sebagai suatu kenyataan dari kekuatan gaib, sehingga tiada seorangpun yang
berpikiran atau berangan-angan, akan kemungkinan membubarkan kelompok-kelompok
itu, paling-paling dalam keadaan tertentu -yang dianggapnya tidak dapat
dielakkan sehingga seseorang- menggagalkan kelompok itu.
Atau dapat
dikatakan bahwa terjadinya kelompok itu adalah karena kodrat alam (manusia
makhluk sosial), yang karena kodratnya itu manusia ingin selalu hidup
berkelompok. Dalam berkelompok mereka menentukan sendiri tentang
peraturan-peraturan yang menjadi pedoman tingkah laku baik yang dibuat secara
sadar dan dikehendaki maupun karena kebiasaan beberapa orang bertingkah laku
demikian secara berulang-ulang dan anggota yang lain mengikutinya karena mereka
yakin bahwa memang seharusnya demikian. Antara kelompok yang satu dengan yang
lain dalam menentukan peraturan maupun perilaku yang dianggap seharusnya
dilakukan, tidak selalu sama dikarenakan terdapat perbedaan aturan diantara
sesama kelompok atau masyarakat sesuai dengan tingkat kebudayaan dari
masing-masing kelompok.
Dalam masyarakat
yang sudah maju kebutuhan hidup anggotanya akan lebih kompleks dibanding dengan
masyarakat primitif, sehingga persoalan yang timbul dalam pergaulan untuk
memenuhi kebutuhan masing-masing semakin kompleks dan akibatnya peraturan yang
berfungsi mengatur pergaulan hidup merekapun kompleks dan lebih baik dibanding
sebelumnya.
Di Indonesia
yang wilayahnya demikian luas juga terdapat berbagai kelompok atau masyarakat
baik yang masih primitif maupun yang sudah maju, sehinga peraturan hidup
masing-masing kelompok itupun saling berbeda. Menurut V. Volen Hoven
kelompok-kelompok tersebut merupakan masyarakat hukum adat Indonesia .
Dari uraian
tersebut, dapat dipahami bahwa Masyarakat Hukum adalah sekelompok orang yang
berdiam di wilayah tertentu, di mana di dalam kelompok tersebut berlaku
serangkaian peraturan yang menjadi pedoman tingkah laku bagi setiap anggota
kelompok dalam pergaulan hidup mereka.
2. Subjek
Hukum
Apa yang
dikatakan sebagai subyek menurut hukum
adalah apa yang dapat memiliki hak dan kewajiban. Jadi subyek hukum adalah
pendukung hak dan kewajiban. Jadi subyek hukum adalah pendukung hak dan
kewajiban, maka ia memiliki kewenangan untuk bertindak (menurut hukum).
Sedangkan yang
dapat menjadi subyek hukum adalah :
- manusia/orang
(natuurjlke persoon); dan
- badan
hukum (rechts persoon).
Semua orang
tidak dibedakan apakah ia warga negara atau orang asing, apakah ia laki-laki
atau perempuan dapat menjadi subyek hukum. Orang sebagai hukum pada dasarnya dimulai
sejak ia lahir dan berakhir setelah hukum pada dasarnya dimulai sejak ia lahir
dan berakhir setelah orang itu meninggal dunia.
Orang sebagai
subyek hukum mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dan
menerima hak-haknya. Dengan kata lain ia berwenang untuk melakukan
tindakan-tindakan hukum misalnya mengadakan perjanjian, melakukan perkawinan,
membuat surat
wasiat dan lain-lain. Orang sebagai subyek hukum kewenangan untuk bertindaknya
dibatasai oleh faktor-faktor atau keadaan tertentu. Seseorang dinyatakan wenang
untuk melakukan tindakan hukum apabila:
- Orang
itu telah dewasa.
- Orang
itu sehat rohani/jiwanya, tidak ditaruh di bawah pengampuan.
Dengan demikian
maka seseorang yang wenang hukum belum tentu cakap hukum karena orang
dewasa wenang melakukan tindakan hukum tetapi dalam keadaan tertentu ia tidak
cakap melakukan tindakan hukum. Seseorang dianggap cakap melakukan tindakan
hukum apabila ia cakap untuk mempertanggungjawabkan sendiri segala
tindakan-tindakannya. Jadi seseorang itu dianggap cakap hukum harus memenuhi
dua syarat tersebut yaitu dewasa, sehat rohani/jiwanya, tidak di bawah
pengampuan. Seseorang yang masih di bawah umur atau di bawah pengampuan untuk
melakukan tindakan hukum harus diwakili oleh orang tua atau walinya.
Badan hukum
sebagai subyek hukum ialah suatu badan atau wadah yang memenuhi persyaratan
tertentu sehingga badan itu disebut badan hukum. Suatu badan dikatakan sebagai
badan hukum karena ketentuan badan itu sendiri misalnya koperasi, gereja,
masjid. Tetapi di samping itu ada badan lain yang untuk dapat disebut sebagai
badan hukum harus memenuhi syarat tertentu ialah bahwa akte pendirian badan itu
harus disahkan oleh Mahkamah Agung dan diumumkan melalui Berita Negara. Contoh
: Perseroan Terbatas (PT).
Badan hukum sebagai subjek hukum juga wenang melakukan
tindakan hukum misalnya mengadakan perjanjian dengan pihak lain, mengadakan
jual beli, dan hal itu dilakukan oleh pengurusnya. Menurut hukum yang
mengaturnya badan hukum dibedakan menjadi 2 (dua):
- Badan
hukum publik yaitu badan hukum yang didirikan dan diatur menurut hukum
publik. Contoh: desa,
kota
madya, propinsi, negara.
- Badan
hukum perdata yaitu badan hukum yang didirikan dan diatur menurut hukum perdata. Contoh: perseroan
terbatas, koperasi yayasan, gereja (badan hukum perdata Eropa), gereja
Indonesia ,
masjid, wakaf, koperasi di Indonesia
(Badan Hukum Perdata Indonesia ).
Dalam masyarakat
hukum antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain, dalam
kondisi tertentu kadang melakukan persetujuan atau melakukan hubungan, di mana
hubungan itu diatur tata laksananya oleh hukum (disebut hubungan hukum) yang di
dalamnya berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Hubungan hukum
tersebut dapat dibedakan antara hubungan hukum sepihak dan hubungan hukum
timbal balik.
3. Peranan
Hukum
Hukum mempunyai
peranan sangat besar dalam pergaulan hidup di tengah-tengah masyarakat,
khususnya dalam penentuan hak dan kewajiban serta perlindungan kepentingan
sosial dan para individunya.
Dalam
konteks pergaulan hidup para individu, hukum berperan sedemikian rupa sehingga
sesuatu yang berkaitan dengan hubungan antara individu yang satu dengan yang
lain dapat berjalan dengan tertib dan terattur, karena hukum secara tegas
menentukan hak dan kewajiban mereka masing-masing. Sampai dalam kaitannya
dengan pemerintahpun, hukum menentukan tugas, kewajiban dan wewenang yang jelas
sehingga hubungan antara individu dengan pemerintah berjalan dengan lancar
karena masing-masing mengetahui apa yang menjadi hak dan kewajibannya dalam melaksanakan
perannya di tengah kehidupan bersama, hukum mempunyai fungsi yang sangat
penting (pendapat JF Glastra Van Loon); yaitu:
a.Penertiban (penataan) masyarakat dan
pengaturan pergaulan hidup;
b.
Penyelesaian
pertikaian;
c.Memelihara dan mempertahankan tata tertib
dan aturan-aturan jika perlu dengan kekerasan;
d.
Pengaturan
atau memelihara dan mempertahakankan hal tersebut;
e.Pengubahan tata tertib dan
aturan-aturan dalam rangka penyesuaian pada kebutuhan-kebutuhan dari msyarakat;
f.
Pengaturan
tentang pengubahan tersebut.
Jadi
hukum mewujudkan fungsi-fungsi tersebut agar ia dapat memenuhi tuntutan “keadilan” (rechtsvaardigheid/justice), “hasil
guna” (doelmatigheid/aspek materi
yang ditujukan pada tujuan kegunaan hukum bagi kepentingan sosial), dan
“kepastian hukum” (rechtszekerheid/legal
security yaitu kepastian yang sifatnya universal).
4. Peristiwa
Hukum
Peristiwa hukum adalah semua peristiwa atau
kejadian yang dapat menimbulkan akibat hukum, antara pihak-pihak yang mempunyai
hubungan hukum.
Dari batasan tersebut dapat diketahui bahwa
dalam peristiwa hukum akan diketahui adanya peristiwa yang merupakan perbuatan
subyek hukum (misal : peristiwa pembuatan surat
wasiat, peristiwa menghibahkan barang, dsb) dan yang bukan perbuatan subyek
hukum (misal : kelahiran bayi, kematian seseorang, kadaluwarsa baik kadaluwarsa
yang menimbulkan hak/kadaluwarsa aquisitief, maupun kadaluwarsa yang
melenyapkan kewajiban/kadaluwarsa extincief).
Sedangkan perbuatan subyek hukum dapat
dibedakan menjadi:
a.
Perbuatan subyek hukum yang
merupakan perbuatan hukum yaitu perbuatan-perbuatan yang akibat hukumnya
dikehendaki oleh pelaku;
b.
Perbuatan subyek hukum yang
bukan merupakan perbuatan hukum yaitu perbuatan-perbuatan yang akibat hukumnya
tidak dikehendaki oleh pelaku.
c.
Peristiwa hukum tersebut
dapat mengenai berbagai segi hukum baik hukum publik maupun hukum privat.
5. Obyek
Hukum
Obyek hukum
adalah segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum (orang atau badan hukum)
dan yang dapat menjadi pokok suatu hubungan hukum, karena sesuatu itu dapat
dikuasai oleh subyek hukum.
Dalam hal ini
tentunya sesuatu itu mempunyai harga dan nilai, sehingga memerlukan penentuan
siapa yang berhak atasnya dan penguasanya diatur oleh kaedah hukum
6. Akibat
Hukum
Akibat hukum
adalah suatu akibat yang ditimbulkan oleh adanya suatu peristiwa dan atau
hubungan hukum.
Hal tersebut
dikarenakan suatu hubungan hukum melahirkan hak dan kewajiban yang telah
ditentukan oleh undang-undang, sehingga apabila hak tidak diterima dan atau
kewajiban tidak dilaksanakan maka akan menimbulkan akibat (hukum), bahwa yang
tidak dilaksanakannya dapat dituntut di muka Pengadilan.
BAB Vll
TERJADINYA
HUKUM DAN FUNGSINYA DALAM MASYARAKAT
a. Terjadinya Hukum
Tentang terjadinya hukum atau tumbuh dan
berkembangnya hukum menurut JP Glastra van Loon secara umum terdapat dua
pandangan ekstrim, yaitu:
- Pandangan Legisme
Menurut
pandangan ini hukum terbentuk hanya oleh perundang-undangan (wetgeving). Di mana hakim
secara tegas terikat pada undang-undang dan peradilan sebagai lembaga yang
secara mekanis menerapkan ketentuan undang-undang pada kejadian kejadian
kongkret (kasus-kasus). Sedangkan
kebiasaan hanya akan memperoleh kekuatan hukum apabila diakui oleh
undang-undang .
Seperti
yang dikemukakan oleh Jeremi Betham
“bahwa hukum di buat oleh pembentuk undang-undang”.
- Pandangan
Freirechtlehre.
Menurut pandangan
ini hukum terbentuk hanya oleh
peradilan (rechtspraak); undang-undang dan kebiasaan dan sebagainya, hanyalah
sarana pembantu bagi hukum dalam menemukan hukun pada kasus-kasus konkret.
Kegunaan ini hanya menitik beratkan pada aspek kegunaan sosial (socialedoelmatgheid). Sebagaimana
dikemukakan oleh Von Savigny yang
menyatakan bahwa ”hukum terjadi dalam
pergaulan”.
Pandangan-pandangan tersebut secara tegas membedakan
tentang terjadinya hukum berasal dari perundang-undangan dan yang berasal dari
peradilan, serta masing-masing hanya
mengakui dominasinya. Namun dalam perkembangan dewasa ini dipahami bahwasannya
pandangan-pandangan tersebut sangat exstrim dan bertentangan serta terlalu
mendikotomiskan tentang terjadinya hukum. Dan berdasarkan ilmu hukum ternyata
pandangan-pandangan tersebut tidak dapat di pertahankan lagi, sehingga
muncullah pandangan yang ketiga yaitu pandangan hukum yang modern, yang
berkembang hingga saat sekarang (dewasa ini).
3.
Pandangan
Hukum modern
Dalam
pandangan yang berkembang tentang terjadinya hukum dewasa ini telah berkembang suatu
ajaran yang dapat lebih menjelaskan tentang terjadinya hukum yang
merupakan kompromi dari kedua pandangan tersebut, sebagai berikut:
“Bahwa
hukum terbentuk melalui beberapa cara; pertama-tama karena pembentuk
undang-undang (wetgever) membuat
aturan-aturan umum, sehingga hakim harus menerapkan undang-undang. Namun
penerapan undang-undang tidak dapat berlangsung secara ‘mekanis’ melainkan
menuntut interprestasi (penafsiran) dan karena itu dalam penerapannya
memerlukan kreatifitas, mengingat
perundang-undangan dibentuk tidak lengkap sempurna, kadang-kadang harus
digunakan istilah-istilah yang kabur maknanya dan harus dijelaskan lebih jauh oleh
hakim, kadang-kadang terdapat kekosongan (leemtes)
dalam undang-undang yang harus diisi oleh proses peradilan.
Di
samping oleh perundang-undangan dan peradilan ternyata hukum terbentuk karena
kebiasaan yang terhadapnya para pelaku pergaulan sosial itu menganggap saling
terikat, sekalipun kebiasaan itu tidak ditetapkan secara eksplisit. Dan dalam
rangka memelihara kesatuan hukum dalam proses pembentukan hukum maka disamping
diselenggarakan peradilan biasa (Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi) difungsikan
juga adanya Peradilan Kasasi.
Sebagaimana
dikemukakan oleh Eugen Erlich, yang
menjelaskan “bahwa dengan melihat kenyataan pada masyarakat modern hukum dapat
terjadi melalui perundang-undangan, karena proses di dalam pengadilan dan bisa
karena kebiasaan, traktat dan sebagainya.
Kesimpulan
: bahwa hukum terbentuk karena perundang-undangan,
kebiasaan dan dalam proses peradilan.
b.
Pembentukan
Hukum (Dalam Yurisprudensi Indonesia )
Di
dalam hukum positif (undang-undang, traktat, kebiasaan) kaedah-kaedah hukumnya
bersifat umum, dimana di dalam kaedah itu ditetapkan ketentuan-ketentuan
tentang tingkah laku orang pada umumnya; setiap orang yang dimaksudkan kaedah
hukum itu haruslah menginsyafinya dan sadar bahwa apa yang diatur dalam
ketentuan tersebut berlaku terhadapnya.
Proses
pembentukan dari hukum positif tersebut berlangsung dalam dua (2) bentuk hukum
yaitu:
1.
Hukum
Obyektif
Kaedah hukumnya dibentuk dan
biasanya dirumuskan secara teoritis peristiwa-peristiwa yang mungkin terjadi
dalam pergaulan masyarakat, serta ditetapkan pula akibat-akibat dari suatu
peristiwa dan atau perbuatan hukum yang
mungkin tejadi. Atau secara singkat kaedah hukum ini di rumuskan sebagai
berikut : ”Inilah yang terjadi, maka itulah akibatnya”.
2.
Hukum
Subyektif
Kaedah
hukumnya dibentuk melalui proses perhubungan yang muncul diantara dua orang
oknum (atau lebih) -termasuk didalamnya badan yang bertindak sebagai oknum- di
mana mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang dinyatakan secara teoritis
termasuk di dalam kaedah hukum (hukum objektif), sehingga terhadap mereka harus
memikul akibat hukumnya, hanya saja karena melibatkan oknum maka akibat hukum
yang terdapat dalam hukum obyektif dipertalikan dengan orang/ oknum yang
melakukan perbuatan itu. Terhadap
pembentukan hukum tersebut (di negara-negara modern) telah ada alat-alat yang
menyelidiki tentang perbuatan yang terjadi itu telah sesuai dengan kaedah hukum
yang disusun secara teoritis ataukah tidak, alat itu adalah hakim (pengadilan).
Berikut
ini beberapa hal mengenai bagaimana hakim harus melaksanakan tugasnya yang
diatur dalam Algemene Bapelingen Van
Wetgaving (A.B) atau ketentuan umum tentang perundang-undangan (K.U.T.P), -yang pada akhirnya merumuskan perkembangan
yurisprudensi di Indonesia -,
sebagai berikut:
1. Dalam
Pasal 20 A.B, hakim diwajibkan mengadili menurut undang-undang, dan dilarang
mempertimbangkan ”nilai rohani atau keadilan undang-undang”. Maksudnya apabila
di dalam undang-undang telah ditetapkan
suatu kaedah hukum maka hakim diwajibkan mempergunakan kaedah itu, ia tidak boleh
menyimpang dari hukum yang dinyatakan secara positif.
2. Pasal
21 A.B menyatakan : “ Tidak ada seorang hakim diperkenankan memberikan
keputusan yang bersifat peraturan umum, disposisi (penetapan/reglement), Jikalau hakim
memberikan keputusan didalam suatu percideraan yang diajukan kepadanya.
3. Pasal
22 A.B berbunyi : “Seorang hakim yang menolak memutuskan perkara, berdalih
bahwa undang-undang tidak terang atau kurang lengkap, dan lain-lain; dapat
dituntut karena mengingkari hukum”. Maksudnya pembuat undang-undang menyuruh
dengan tegas kepada hakim supaya hakim memberikan keputusan di dalam setiap
sengketa yang dimajukan kepadanya termasuk juga apabila undang-undang kurang
jelas (hakim wajib menafsirkan undang-undang itu), atau apabila undang-undang
itu kurang lengkap (hakim wajib menambahkan pendapatnya/konstruksi hukum kepada
undang-undang itu). Dengan kata lain, dari sengketa satu ke sengketa lain,
hakim dapat melanjutkan tugas pembuat undang-undang.
Sekalipun pasal 21 A.B itu dengan tegas mengandung larangan
tersebut, kepada hakim tidaklah dilarang memperhatikan keputusan-keputusan
hakim yang lain, yaitu keputusan di dalam sengketa-sengketa atau
perkara-perkara yang sama. Ada kemungkinan bahwa
seorang hakim, berdasarkan pasal 22 A.B memberikan penafsiran terhadap suatu
kaidah hukum tertentu, yang tepat sekali; ataupun hakim memberikan penjelasan
yang menambah wilayah berlakunya kaedah hukum itu, yang ternyata merupakan
suatu yang melengkapi undang-undang yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
Apabila penafsiran tersebut juga disetujui oleh para hakim yang lain, maka
dengan sendirinya mereka (hakim lain) dapat mempergunakan corak berfikir yang
telah dirumuskan hakim yang mula-mula
memberikan penafsiran itu.
Artinya, berdasarkan nurani para hakim itu, ada kemungkinan
bahwa perumusan hukum oleh seorang hakim tertentu , dapat juga di pergunakan
oleh hakim-hakim yang lain. Inilah yang kemudian disebut sebagai Yurisprudensi.
c.
Fungsi
Hukum
Mengingat
pentingnya peranan hukum dalam pergaulan masyarakat, hukum dalam aksinya
tersebut ternyata mempunyai fungsi seperti pengaturan, penertiban, penyelesaian
pertikaian, dan sebagainya sedemikian rupa sehingga dapat mengiringi masyarakat
yang senantiasa berkenbang.
Sacara garis besar fungsi hukum dapat di
kelompokkan dalam tahap-tahap sebagai berikut :
1.
Fungsi hukum sebagai alat
ketertiban dan keteraturan masyarakat.
Fungsi
hukum ini dimungkinkan karena sifat watak hukum yang memberi pedoman dan petunjuk tentang bagaimana berperilaku
yang baik dan tercela, yang boleh dan dilarang, di dalam pergaulan masyarakat .
oleh karena masing-masing anggota masyarakat telah jelas apa yang boleh
diperbuat atau yang tidak boleh diperbuat, sehingga segala sesuatunya di
dalam masyarakat dapat tertib dan
teratur.
2.
Fungsi hukum sebagai sarana
untuk mewujudkan keadilan sosial lahir batin.
Hukum
bersifat dan sekaligus berwatak yang memiliki daya mengikat baik secara fisik maupun psikologis. Daya mengikat
(dalam keadaan tertentu ”memaksa”) ini adalah watak yang dimiliki oleh hukum,
sehingga hukum itu dapat menangani kasus-kasus nyata dan memberikan
(mewujudkan) keadilan, menghukum yang bersalah, membebaskan/melepas yang benar,
memutuskan agar yang berhutang membayar
dan sebagainya.
3.
Fungsi hukum sebagai sarana
penggerak pembangunan.
Salah
satu daya mengikat dan memaksanya dari hukum, juga dapat dimanfaatkan untuk
mengerakkan pembangunan. Dimana hukum dijadikan sebagai alat bagi otoritas
untuk membawa masyarakat kearah yang lebih maju.
4. Fungsi
kritis dari hukum.
Sebagai
tindak lanjut dari fungi hukum sebagai
sarana penggerak pembangunan, yang seolah-olah hanya semata-mata melaksanakan
pengawasan perilaku kepada masyarakat belaka sedangkan aparat otoritas agak
lepas dari kontrol hukum. Oleh karena itu muncullah fungsi ini, dimana hukum
mempunyai fungsi kritis, yaitu daya kerja hukum tidak semata-mata melakukan
pengawasan kepada aparatur pengawas, pada aparatur pemerintah (petugas) dan
aparatur penegak hukumpun termasuk didalamnya.
Dari
uraian tersebut dapat diketahui bahwa dalam suatu kehidupan bermasyarakat hukum
diharapkan mempunyai fungsi untuk mewujudkan ketertiban, keteraturan, keadilan
dan perkembangan, sedemikian rupa sehingga dapat dijumpai masyarakat yang
senantiasa berkembang.
Agar
hukum dapat melaksanakan fungsinya tersebut, maka bagi pelaksana dan atau
penegak hukum (khususnya hakim) dituntut kemampuannya untuk melaksanakan atau
menerapkan hukum, dengan seni yang dimiliki oleh masing-masing, antara lain
dengan melakukan penemuan hukum/penafsiran hukum yaitu dengan melakukan
penafsiran hukum, baik dalam bentuk menafsirkan hukum sesuai dengan situasi,
kondisi dan keadaan yang dihadapi (penafsiran hukum secara murni) ataupun
dengan melakukan kontruksi hukum, dalam bentuk menafsirkan hukum dengan
membentuk hukum sesuai dengan makna yang dikehendaki.
d.
Penafsiran
Hukum
Hukum
yang sudah dikodifikasikan sifatnya statis, sulit diubah dan kaku. Keadaan
demikian berakibat bahwa hukum selalu ketinggalan jaman karena dalam kenyataannya perkembangan masyarakat
lebih cepat daripada perkembangan perundang-undangan, sehingga tidak mustahil
suatu ketika ada peristiwa konkrit yang belum terjangkau oleh peraturan.
Hakim
sebagai pelaksana hukum dan sekaligus penegak hukum harus mampu menerapkan
peraturan perundang-undangan sesuai dengan peristiwa hukumnya yang konkrit
terjadi. Dengan menggunakan logika yang tepat dalam mengadili suatu perkara dan
ia tunduk kepada undang-undang, kecuali itu hakim juga didasari perasaan
keadilan menurut keyakinan pribadinya maupun menurut pandangan masyarakat setempat. Dalam
hal ini hakim dikatakan akan melakukan penafsiran undang-undang guna menemukan
hukumnya.
Terdapat
2 (dua) metoda penemuan/penafsiran hukum, yaitu:
a.
Metoda Penafsiran Hukum
(Murni) yang terdiri atas:
1. Penafsiran
Gramatikal;
2. Penafsiran
Historis;
3. Penafsiran
Sistematis;
4. Penafsiran
Teleologis
5. Penafsiran
Otentik.
b.
Metoda Konstruksi Hukum, yang
terdiri atas :
1. Penafsiran
Analogis;
2. Penafsiran
A Contrario;
3. Penghalusan
Hukum.
ad. a. Metoda Penafsiran Hukum
1. Penafsiran Gramatikal
yaitu penafsiran berdasarkan pada bunyi undang-undang dengan pedoman pada arti kata-kata dalam
hubungannya satu sama lain dalam kalimat yang dipakai dalam undang-undang.
Penafsiran Gramatikal semata-mata hanya berdasarkan arti kata-kata menurut tata
bahasa atau kebiasaan dalam penggunaan sehari-hari.
2. Penafsiran Historis yaitu
penafsiran berdasarkan pada sejarah baik sejarah terbentuknya
undang-undang (proses pembentukkan undang-undang) maupun sejarah hukum
(termasuk penyelidikkan terhadap maksud pembentuk undang-undang pada waktu
membentuk undang-undang tersebut) dengan menyelidiki asal-usul suatu peraturan
dikaitkan dengan suatu sistem hukum yang pernah berlaku atau dengan sistem
hukum asing tertentu.
3. Penafsiran
Sistematis yaitu penafsiran
yang memperhatikan susunan
kata-kata yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam
undang-undang itu sendiri maupun undang-undang lain.
4. Penafsiran
Teleologis (Sosiologis) yaitu
penafsiran yang memperhatikan
tentang tujuan undang-undang itu, mengingat kebutuhan masyarakat berubah
menurut masa atau waktu, sedang bunyi undang-undang tetap. Maksudnya walaupun suatu undang-undang tidak
sesuai lagi dengan kebutuhan akan tetapi kalau undang-undang itu masih berlaku,
maka tetap diterapkan terhadap
kejadian atau peristiwa masa
kini. Namun pengertiannya disesuaikan dengan situasi pada saat ketentuan itu
diterapkan. Jadi penerapan undang-undangnya yang disesuaikan dengan situasinya.
5. Penafsiran Otentik yaitu penafsiran
berdasarkan pada penjelasan dari
kata-kata, istilah dan pengertian di dalam peraturan undang-undang yang
ditetapkan oleh pembuat undang-undang itu sendiri dalam peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan.
ad. b. Metoda Kontruksi Hukum
1.
Penafsiran Analogis yaitu
penafsiran dengan memberi
ibarat (kias) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya,
sehingga suatu peristiwa yang tidak cocok dengan peraturannya, dianggap sesuai
dengan bunyi peraturan itu.
2. Penafsiran
A Contrario yaitu penafsiran dengan cara melawankan pengertaian antara hal
yang dihadapi dengan masalah yang diatur dalam suatu pasal undang-undang.
3. Penghalusan
Hukum yaitu merupakan penafsiran
dengan cara menyempitkan berlakunya ketentuan undang-undang karena jika
tidak dilakukan akan terjadi kerugian yang lebih besar.
Di
samping penafsiran-penafsiran tersebut diatas, masih terdapat penafsiran lain,
yaitu:
1. Penafsiran Ekstensif yaitu
penafsiran dengan memperluas arti
kata-kata dalam peraturan undang-undang sehingga suatu peristiwa termasuk
didalamnya.
2. Penafsiran Restriktif yaitu penafsiran
dengan membatasi arti kata-kata dalam peraturan undang-undang.
3. Penafsiran Komparatif yaitu
penafsiran dengan cara membandingkan dengan
penjelasan-penjelasan berdasarkan perbandingan hukum, agar ditemukan suatu
ketentuan undang-undang.
4. Penafsiran
Futuristik yaitu penafsiran
pada undang-undang dengan
berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum. Atau dengan kata lain lewat penafsiran ini
dimungkinkan memberlakukan ketentuan yang dalam undang-undang belum ada/tidak
ada dengan ketentuan yang tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU).
BAB
VIII
SUMBER-SUMBER
HUKUM
1. Arti
Sumber Hukum
Sumber hukum
dapat diartikan sebagai segala sesuatu
yang menimbulkan aturan-aturan yang mengikat dan memaksa, sehingga apabila
aturan-aturan itu dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata pada
pelangarnya. Istilah ‘segala sesuatu’ maksudnya yaittu faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
timbulnya hukum, faktor-faktor yang merupakan sumber kekuatan berlakunya hukum
secara formal, dari mana hukum itu dapat ditemukan, dari mana asal mula hukum
dan lain sebagainya.
Oleh karena itu
istilah sumber hukum sendiri sering digunakan dalam beberapa arti seperti
berikut ini:
- Sebagai
asas hukum, yaitu sesuatu yang merupakan permulaan hukum, misalnya
kehendak Tuhan, akal manusia, jiwa bangsa dan sebagainya.
- Menunjukkan
sumber hukum terdahulu yang memberikan bahan-bahan kepada hukum yang
sekarang berlaku.
- Sebagai
sumber berlakunyaa, yang memberi kekuatan berlaku secara formal kepada
peraturan hukum, misalnya penguasa, masyarakat.
- Sebagai
sumber dari mana hukum itu dapat diketahui, misalnya dokumen-dokumen,
undang-undang, batu bertulis dan sebagainya.
- Sebagai
sumber terbentuknya hukum atau sumber yang menimbulkan hukum.
Sumber hukum
pada hakekatnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sumber hukum materiil dan
sumber hukum formal.
2. Sumber
Hukum Materiil
Sumber hukum
materiil adalah faktor-faktoor yang turut serta menentukan isi hukum. Mempelajari
sumber-sumber hukum sangat kompleks masalahnya, oleh karena itu demi
keberhasilan dan mempelajari sumber-sumber hukum harus ditinjau dari beberapa
sudut cabang ilmu hukum maupun disiplin ilmu lainnya, misal : sosiologi hukum,
sejarah, agama, psikologi dan sebagainya.
Faktor-faktor yang turut serta menentukan isi hukum. Faktor Idiil
adalah patokan-patokan yang tetap mengenai keadilan yang harus ditaati oleh
para pembentuk undang-undang ataupun para pembentuk hukum yang lain dalam
melaksanakan tugasnya. Faktor
kemasyarakatan adalah hal-hal yang
benar-benar hidup dalam masyarakat dan tunduk pada aturan-aturan yang berlaku
sebagai petunjuk hidup masyarakat yang bersangkutan.
Termasuk dalam kategori faktor kemasyarakatan adalah:
- Struktur
ekonomi dan kebutuhan masyarakat.
- Kebiasaan
atau adat istiadat yang telah melekat pada masyarakat dan berkembang
menjadi aturan tingkah laku yang tetap.
- Hukum
yang berlaku, yaitu hukum yan tumbuh berkembang dalam masyarakat dan
mengalami perubahan-perubahan menurut kebutuhan masyarakat yang
bersangkutan.
- Tata
hukum negara-negara lain.
- Keyakinan tentang agama dan kesusilaan.
- Aneka gejala dalam msyarakat baik yang sudah
meenjadi peristiwa maupun yang belum menjadi peristiwa.
3. Sumber
Hukum Formal
Sumber hukum
formal adalah sumber dengan bentuk
tertentu yang merupakan dasar berlakunya hukum secara formal. Jadi sumber
hukum formal merupakan dasar kekuatan mengikatnya peraturan-peraturan agar
ditaati oleh masyarakat maupun oleh penegak hukum. Dengan kata lain sumber
hukum formal tersebut merupakan causa
efficient dari hukum.
Termasuk dalam
sumber hukum formal ialah:
- Undang-undang.
- Kebiasaan.
- Yurisprudensi.
- Traktat
(perjanjian antar negara).
- Perjanjian.
- Doktrin.
ad.
1. Undang-undang
Undang-undang
merupakan peraturan negara yang dibentuk oleh alat perlengkapan negara yang
berwenang dan mengikat masyarakat.
Undang-undang dapat dibedakan menjadi 2 (dua):
a.
Undang-undang dalam arti materiil, yaitu setiaap peraturan perundang-undangan yang
isinya mengikat langsung masyarakat secara umum.
b.
Undang-undang dalam arti formal, yaitu setiap peraturan perundangan yang dibentuk
oleh alat perlengkapan negara yang berwenang melalui tata cara dan prosedur
yang berlaku.
c.
Undang-undang dalam arti formal pada hakikatnya adalah
keputusan alat perlengkapan negara yang karena cara pembentukannya disebut
undang-undang. Di
Indonesia undang-undang dalam arti formal dibentuk oleh Presiden dengan
persetujuan DPR (Pasal 5 ayat (1) UUD 1945).
Perbedaan
dari kedua macam undang-undang tersebut terletak pada sudut peninjauannya.
Undang-undang dalam arti materiil ditinjau dari sudut isinya yang mengikat
umum, sedangkan undang-undang dalam arti formal ditinjau dari segi pembuatan
dan bentuknya. Namun demikian banyak undang-undang yang dapat disebut
undang-undang dalam arti materiil dan undang-undang dalam arti formal, misalnya
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP).
Tidak semua
undang-undang dapat disebut dengan dua macam pengertian seperti tersebut di
atas, karena undang-undang yang hanya berlaku untuk segolongan orang tertentu
hanya dapat disebut sebagai undang-undang dalam arti materiil saja.
Undang-undang
berlaku dan mengikat apabila telah memenuhi persyaratan tertentu yang tidak
dapat disampaikan, yaitu bahwa setiap
undang-undang harus diundangkan oleh Mensekneg dan dimuat dalam Lembaran
Negara.
Lembaran Negara
adalah tempat pengundangan suatu undang-undang agar mempunyai daya mengikat.
Sedangkan
mengenai saat undang-undang mulai berlaku dan mengikat senantiasa disebutkan
dalam undang-undang itu sendiri – biasanya – sesuai dengan tanggal
pengundangannya. Apabila tidak ditentukan tanggal berlakunya maka terdapat
ketentuan umum yang menyatakan bahwa
untuk daerah Jawa dan Madura adalah hari ke 30 (tiga puluh) sejak diundangkan,
sedangkan untuk daerah lain hari ke 100 (seratus) sejak diundangkan.
Setelah
persyaratan itu dipenuhi maka setiap orang dianggap telah mengetahuinya dan
terikat oleh undang-undang itu. Sehingga setiap orang tidak dapat membela diri
dengan alasan karena belum mengetahui undang-undang dimaksud. (terhadapnya
berlaku fiksi hukum, biasanya untuk
segi efektifitas diberikan jeda waktu selama 5 (lima ) tahun -terutama bagi undang-undang yang
dalam arti formal).
Terdapat
perbedaan prinsip mengenai kekuatan mengikatnya undang-undang kekuatan
berlakunya/efekifitasnya undang-undang. Undang-undang mengikat sejak
diundangkan, berarti sejak itu orang wajib mengakui eksistensi undang-undang,
sedang kekuatan berlakunya undang-undang berarti sudah menyangkut berlakunya
undang-undang secara operasional.
Agar
undang-undang mempunyai kekuatan berlaku harus memenuhi persyaratan tertentu,
yaitu:
-
Mempunyai kekuatan berlaku yuridis, apabila
persyaratan formal terbentuknya undang-undang itu telah terpenuhi.
-
Mempunyai kekuatan berlaku sosilogis, apabila undang-undang itu efektif berlaku di
dalam masyarakat. Maksudnya bahwa undang-undang itu telah diterima dan ditaati
oleh masyarakat tanpa memperhatikan bagaimana terbentuknya undang-undang itu.
-
Mempunyai kekuatan berlaku filosofis, apabila
undang-undang tersebut memang telah sesuai dengan cita-cita hukum sebagai
niilai positif yang tertingi.
Berikut ini beberapa asas yang berlaku
terhadap eksistensi/keberadaan undang-undang, yaitu:
a.
Undang-undang
tidak berlaku surut (retro aktif);
b.
Undang-undang
yang berlaku kemudian membatalkan undang-undang terdahulu, sejauh undang-undang
itu mengatur obyek yang sama (lex
posteior derogat legi priori).
c.
Undang-undang
yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai derajat yan lebih tinggi
pula, sehingga apabila ada dua macam undang-undang yang tidak sederajat
mengatur obyek yang sama dan saling bertentangan, maka hakim harus
menerapkan undang-undang yang tinggi dan
menyatakan bahwa undang-undang yang lebih rendah tidak mengikat (lex superior derogat legi inferior).
d.
Undang-undang
yang khusus mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum, maka jika ada dua
macam ketentuan dari peraturan perundangan yang setingkat dan berlaku pada
waktu bersamaan serta saling bertentangan, hakim harus menerapkan yang khusus
dan mengesampingkan yang umum (lex
specialis derogat legi generali).
e.
Undang-undang
tidak dapat diganggu gugat, dan undang-undang tidak berlaku lagi, apabila:
1.
Jangka
waktu berlakunya undang-undang iu telah habis;
2.
Hal-hal
atau obyek yang diatur oleh undang-undang itu sudah tidak ada;
3.
Undang-undang
itu dicabut oleh pembentuknya atau oleh instansi yang lebih tinggi;
4.
Telah
dikeluarkan undang-undang baru yang isinya bertentangan dengan isi
undang-undang terdahulu.
Sehubungan dengan masalah perundangan yang berlaku di
Indonesia, telah ditetapkan TAP MPR RI
No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan (mencabut TAP MPRS No. XX/MPRS/1996).
Pasal 2 TAP MPR RI No. III/MPR/2000 menyebutkan bahwa
Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan merupakan pedoman dalam pembuatan
aturan hukum di bawahnya.
Tata urutan Peraturan Perundang-undangan Republik
Indonesia adalah:
a.
Undang-Undang Dasar 1945;
b. Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ;
c.
Undang-Undang;
d.
Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU);
e.
Peraturan Pemerintah;
f.
Keputusan Presiden;
g. Peraturan
Daerah.
Selanjutnya
pada Pasal 4 ayat (1) menyebutkan bahwa sesuai dengan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan, maka setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.
Ketentuan
tersebut diperkuat lagi dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004.
ad. 2. Kebiasaan
Perbuatan
manusia mengenai hal tertentu yang dilakukan secara berulang-ulang dan
terhadapnya dipertalikan adanya ide hukum, sehingga perbuatan tersebut diterima
oleh suatu masyarakat, selalu dilakukan oleh orang lain atau dengan kata lain
masyarakat beranggapan bahwa memang harus berlaku demikian, jika tidak berbuat
demikian merasa berlawanan dengan kebiasaan dan merasa melakukan pelangaran
perilaku -hukum-. Masyarakat yakin bahwa kebiasaan yang mereka lakukan itu
mengandung ide hukum, maka jika terdapat
anggota masyarakat yang tidak mentaatinya, dia dianggap telah melakukan
pelanggaran hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat (perlu diingat dengan
adanya kelaziman). Atau secara
praktis dapat dikatakan bahwa untuk timbulnya hukum kebiasan diperlukan
persyaratan tertentu, yaitu:
a.
Adanya perbuatan tertentu
yang dilakukan berulang-ulang di dalam masyarakat tertentu; dan
b.
Adanya
keyakinan/ide hukum dari masyarakat tersebut.
ad. 3.
Yurisprudensi
Dalam Algemene
Bapelingen Van Wetgeving (A.B) atau Ketentuan umum tentang Perundang-undangan
(KUTP), -yang pada akhirnya
merumuskan perkembangan Jurisprudensi di Indonesia-, sebagai berikut :
1.
Dalam
pasal 20 A.B, hakim diwajibkan mengadili menurut undang-undang, dan dilarang
mempertimbangkan “nilai rokhani atau keadilan undang-undang”. Maksudnya apabila
di dalam undang-undang telah ditetapkan suatu kaedah hukum maka hakim
diwajibkan mempergunakan kaedah hukum itu, ia tidak boleh menyimpang dari hukum
yang dinyatakan secara positif.
2.
Pasal 21
A.B menyatakan: “Tidak ada seorang hakim diperkenankan memberikan keputusan
yang bersifat peraturan umum, disposisi (penetapan/reglemen). Jikalau hakim
memberikan keputusan di dalam suatu percideraan yang diajukan kepadanya.
3.
Pasal 22
A.B berbunyi: “Seorang hakim yang menolak memutuskan perkara, berdalih bahwa
undang-undang tidak terang atau kurang lengkap, dan lain-lain; dapat dituntut
karena mengingkari hukum”. Maksudnya pembuat undang-undang menyuruh dengan
tegas kepada hakim supaya hakim memberikan keputusan di dalam setiap sengketa
yang dimajukan kepadanya termasuk juga apabila undang-undang kurang jelas
(hakim wajib menafsirkan undang-undang itu), atau apabila undang-undang itu
kurang lengkap (hakim wajib menambahkan pendapatnya/konstruksi hukum kepada
undang-undang itu).
Dengan kata lain, dari sengketa yang satu ke sengketa
yang lain hakim dapat melanjutkan tugas pembuat undang-undang.
Sekalipun Pasal 21 A.B itu dengan tegas mengandung
larangan tersebut, kepada hakim tidaklah dilarang memperhatikan
keputusan-keputusan hakim yang lain, yaitu keputusan di dalam sengketa-sengketa
atau perkara-perkara yang sama. Ada kemungkinan bahwa seorang hakim,
berdasarkan Pasal 22 A.B memberikan penafsiran terhadap suatu kaedah hukum
tertentu, yang tepat sekali; ataupun memberikan penjelasan yang menambah
wilayah berlakunya kaedah hukum itu, yang ternyata merupakan suatu yang
melengkapi undang-undang dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Apabila
penafsiran tersebut juga disetujui oleh para hakim yang lain, maka dengan
sendirinya mereka (hakim lain) dapat mempergunakan corak berfikir yang telah
dirumuskan oleh hakim yang mula-mula memberikan penafsiran itu.
Artinya, berdasarkan nurani para hakim itu, ada
kemungkinan bahwa perumusan hukum oleh seorang hakim tertentu, dapat juga
dipergunakan oleh hakim-hakim yang lain. Inilah yang kemudian disebut sebagai Yurisprudensi.
Atau dengan kata lain Yurisprudensi merupakan “keputusan Pengadilan atau
keputusan hakim yang terdahulu, yang diangap tepat sehinga diikuti oleh
Pengadilan atau hakim lain”.
Terdapat 2 (dua) macam Yurisprudensi, yaitu :
a.
Yurisprudensi
Tetap, ialah keputusan hakim terjadi karena rangkaian keputusan serupa dan
dijadikan dasar/patokan untuk memutuskan suatu perkara (standar arresten).
b.
Yurisprudensi
Tak Tetap, ialah keputusan hakim terdahulu yang bukan standar arresten.
ad. 4.
Traktat (Perjanjian Antar Negara)
Traktat sebagai sumber hukum formal harus memenuhi syarat
formal tertentu. Di Indonesia ditentukan dalam Pasal 11 UUD 1945, yaitu
“Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan
membuat perjanjian dengan negara lain”.
Perjanjian antar negara yang telah disahkan berlaku
mengikat negara peserta, termasuk warga negaranya. Sehingga dapat dipahami
bahwa setiap traktat sebelum disahkan oleh Presiden terlebih dahulu harus
disetujui oleh DPR.
Tetapi dalam pelaksanaannya ternyata tidak semua bentuk
perjanjian antar negara harus dapat mendapat persetujuan DPR, sebab jika
demikian pemerintah menjadi kurang leluasa untuk menjalankan hubungan
internasional, yang terpenting terdapat spesifiksi yang bersifat
limitatif/paling tidak terhadap beberapa hal yang mutlak harus mendapat
persetujuan DPR tidak diabaikan, beberapa hal yang harus mendapat persetujuan
DPR sehubungan dengan adanya suatu perjanjian antar negara, yaiu terhadap
perjanjian antar negara yang mengandung materi-materi penting (lazimnya disebut
Traktat/Treaty), sebagai berikut:
a.
Soal-soal
politik atau soal-soal yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri;
misal: perjanjian persekutuan, perjanjian batas wilayah, perubahan wilayah,
dsb.
b.
Ikatan-ikatan
yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri; seperti perjanjian
kerjasama ekonomi, pinjaman.
c.
Soal-soal
yang menurut UUD dan sistem perundangan kita yang harus diatur dengan bentuk
undang-undang; misalnya: tentang kewarganegaraan, kehakiman,dsb.
Sedang terhadap perjanjian yang tidak memerlukan
(pengecualian) persetujuan DPR, sifatnya hanya merupakan persetujuan bersama (Agreement) antar negara peserta,
sehingga Presiden dapat meratifikasinya dalam bentuk Keputusan Presiden dan
kemudian DPR cukup diberitahu.
Ada beberapa bentuk Perjanjian Antar negara (Pan)/Traktat,
yaitu:
1.
PAn/Traktat
Bilateral, yaitu Pan/Traktat yang hanya diikuti oleh dua negara.
2.
PAn/Traktat
Multilateral, yaitu Pan/Traktat yang pesertanya lebih dari dua negara.
3.
Pan/Traktat
Kolektif, yaitu Pan/Traktat Multilateral yang masih memungkinkan masuknya
negara lain menjadi peserta asal negara itu menyetujui isi perjanjian yang ada.
ad. 5.
Perjanjian
Perjanjian (Overeenkomst)
merupakan “suatu peristuiwa hukum di mana dua orang/pihak atau lebih berjanji
untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu”.
Perjanjian akan menimbulkan hubungan hukum yang saling
mengikat diantara para pihak atau menimbulkan perikatan (Verbintenis),
sehinga apabila salah satu pihak ada yang ingkar janji (wan prestasi) akan mendapatkan resiko untuk digugat oleh pihak
yang dirugikan.
Jika kedua belah pihak telah sepakat berarti mereka
membuat atau menentukan peraturan/kaedah atau hak dan kewajiban. Para pihak
sendiri yang menciptakan hukum, sehingga mereka berkewajiban untuk mentaatinya,
dan hanya merekalah yang terikat kata sepakat yang mereka tentukan. Perjanjian
yang mereka buat berfungsi sebagai sarana untuk menyelesaikan perselisihan bila
salah satu pihak ingkar janji. Karena itu dapat dipahami bahwasannya Perjanjian
juga merupakan sumber hukum formal. Dengan catatan bahwa perjanjian itu
merupakan perjanjian yang sah dan memenuhi beberapa unsur sutau perjanjian.
Perjanjian adalah sah bila memenuhi syarat-syarat
tertentu (Pasal 1320 KUHPerdata), yaitu:
a.
Orang
yang mengadakan Perjanjian harus cakap;
b.
Ada kata
sepakat atau persesuaianan kehendak antar pihak;
c.
Mengenai obyek tertentu;
d. Dasar
atau kuasa yang halal;
Perjanjian mengandung beberapa unsur,
yaitu:
a.
Unsur essentialia yaitu yang merupakan syarat sahnya perjanjian;
b. Unsur
naturalia, yaitu unsur yang melekat
pada perjanjian;
c.
Unsur accidentalia, yaitu unsur yang melekat pada perjanjian dimuat dalam
perjanjian (identitas, domisili, dsb).
ad. 6. Doktrin
Doktrin
adalah pendapat para sarjana hukum terkemuka yang besar pengaruhnya terhadap
perkembangan hukum pada umumnya dan secara khusus terhadap hakim dalam
mengambil keputusannya.
Kadangkala
hakim dalam memutuskan perkara yang diperiksanya guna menguatkan keyakinan dan
atau terdapat ketidakjelasan dan atau kekosongan hukum (melakukan penemuan
hukum) maka hakim menyebut pendapat para sarjana sebagai dasar pertimbangannya.
Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa hakim menemukan hukumnya dalam
doktrin itu. Sehingga dapat dipahami bahwa doktrin merupakan sumber hukum
formal.
BAB IX
ASAS-ASAS
HUKUM DAN SISTEM HUKUM
a. Pengertian
Asas Hukum
Tentang batasan pengertian asas hukum terdapat
berbagai pendapat yang dikemukakan oleh beberapa ahli, antara lain:
1. Bellefroid
Asas
hukum umum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh
ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Asas
hukum umum merupakan pengendapan dari hukum positif.
2. Paul Scholten
Asas
hukum adalah kecenderungan yang diisyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita
pada hukum dan merupakan sifat-sifat umum dengan keterbatasannya sebagai
pembawaan yang umum itu, tetapi harus ada.
3. Eikema Hommes
Asas
hukum bukanlah norma hukum konkrit, tetapi ia adalah sebagai dasar-dasar
pikiran umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. Asas hukum
merupakan dasar-dasar atau petunjuk arah dalam pembentukkan hukum positif.
4. Satjipto Rahardjo
Asas hukum
adalah unsur yang penting dan pokok dari peraturan hukum. Asas hukum merupakan
jantungnya peraturan hukum karena ia merupakan landasan yang paling luas bagi
lahirnya peraturan hukum atau ia adalah sebagai ratio legisnya peraturan
hukum. Yang pada akhirnya peraturan-peraturan hukum itu harus dapat
dikembalikan pada asas-asas tersebut.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut di
atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya apa yang disebut dengan asas apa
yang disebut dengan asas hukum adalah dasar-dasar umum yang terkandung dalam
peraturan hukum dan dasar-dasar umum tersebut merupakan sesuatu yang mengandung
nilai-nilai etis.
Peraturan hukum sebagai ketentuan konkrit
tentang cara berperilaku di dalam masyarakat. Ia merupakan konkritisasi dari
asas hukum.
Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa asas
hukum bukanlah norma hukum konkrit karena asas hukum merupakan jiwanya norma
hukum itu. Dikatakan asas hukum sebagai jiwanya norma hukum atau peraturan
hukum karena ia merupakan dasar lahirnya peraturan hukum (Ia adalah Ratio Legis-nya peraturan hukum).
Berikut beberapa contoh bahwasannya semua
peraturan harus dapat dikembalikan pada asas hukumnya, sebagai berikut :
· Asas
hukumnya “bahwa seseorang yang melakukan cidra janji/dursila/wanprestasi yang
merugikan orang lain maka harus mengganti kerugian yang ditimbulkannya”, maka
norma hukumnya menjadi “setiap perbuatan yang melawan hukum dan menimbulkan
kerugian bagi pihak lain, wajib membayar ganti rugi (lihat Pasal 1365
KUHPerdata/BW).
· Asas
hukumnya “Undang-undang tidak dapat berlaku surut”, maka norma hukumnya menjadi
“tiada suatu perbuatanpun dapat dihukum, kecuali atas kekauatan undang-undang
yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan” atau terkenal dengan asas “nullum delictum nulla poena zine pravia lege
punale” (lihat Pasal 1 ayat (1) KUHPidana).
Serta beberapa contoh lain, seperti:
·
Asas Presumtion of innocence (praduga tak bersalah);
·
Asas in dubio pro reo (dalam keraguan berlaku yang menguntungkan
terdakwa);
·
Asas Similia similibus (perkara yang sama harus diputus sama);
·
Asas ne bis in idem (perkara yang sudah diputus tidak dapat diperiksa
lagi);
·
Asas Pacta sunt servanda (perjanjian berlaku
sebagai undang-undang bagi para pihak);
·
Asas Geen straft zonder schuld (tiada hukuman
tanpa kesalahan);
·
Dan sebagainya.
Dari berbagai contoh dan uraian tersebut,
dapat ditegaskan bahwa asas hukum bukanlah norma hukum yang konkrit tetapi
merupakan latar belakang dari peraturan konkrit, karena ia merupakan dasar
pemikiran yang umum dan abstrak serta mendasari lahirnya setiap peraturan.
Dengan kata lain asas hukum merupakan petunjuk arah bagi pembentukkan hukum dan
pengambil keputusan.
b.
Perbedaan
Asas dan Norma
Asas hukum
adalah dasar-dasar umum yang terkandung dalam peraturan hukum, dan
dasar-dasar umum tersebut merupakan sesuatu yang mengandung nilai-nilai etis.
Peraturan hukum sebagai ketentuan konkrit
tentang cara berperilaku di dalam masyarakat. Ia merupakan konkritisasi dari
asas hukum. Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa asas hukum bukanlah norma
hukum konkrit karena asas hukum merupakan jiwanya norma hukum itu. Dikatakan
asas hukum sebagai jiwanya norma hukum atau peraturan hukum karena ia merupakan
dasar lahirnya peraturan hukum (Ia adalah Ratio
Legis-nya peraturan hukum). Atau dapat ditegaskan bahwa asas hukum bukanlah
norma hukum yang konkrit tetapi merupakan latar belakang dari peraturan
konkrit, karena ia merupakan dasar pemikiran yang umum dan abstrak serta
mendasari lahirnya setiap peraturan. Dengan demikian orang sebagai anggota
masyarakat akan bertingkah laku etis sebagaimana diharapkan oleh peraturan itu.
Sehingga dapat diketahui adanya perbedaan antara asas dan norma sebagai
berikut:
1.
Asas merupakan dasar
pemikiran yang umum dan abstrak, sedangkan norma merupakan aturan riil/konkrit.
2.
Asas adalah suatu ide atau
konsep sedangkan norma merupakan penjabaran dari ide/konsep tersebut.
3.
Asas
hukum tidak mempunyai sanksi, sedangkan norma mempunyai sanksi dan kadang
tegas/keras dan bahkan sangat tegas/keras.
c.
Pengertian
Sistem Hukum
Sistem hukum merupakan kesatuan utuh dari
tatanan-tatanan yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur yang satu sama lain
saling berhubungan dan kait mengkait secara erat (pendapat Soedikno Mertokusumo).
Untuk mencapai tujuan kesatuan itu diperlukan
kerja sama antar unsur-unsur tersebut (keterpaduan). Jadi tegasnya sistem hukum
bukan hanya sekedar kumpulan peraturan hukum tetapi masing-masing peraturan itu
satu sama lain saling berkaitan dan tidak bolehterjadi konflik atau kontradiksi
didalamnya, jika terjadi kontradiksi akan diselesaikan oleh sistem itu sendiri
sehingga tidak akan dibiarkan berlarut-larut.
Hukum yang merupakan suatu sistem tersusun
atas sejumlah bagian yang masing-masing juga merupakan sistem yang dinamakan
subsistem, tetapi akan bersama-sama mewujudkan suatu kesatuan yang utuh.
Sistem hukum merupakan sistem abstrak dan
terbuka artinya sistem hukum itu terdiri dari unsur-unsur yang tidak konkrit,
tidak menunjukkan kesatuan yang dapat dilihat, dan unsur-unsur itu mempunyai
hubungan timbal balik dengan lingkungannya, serta unsur-unsur lain yang tidak
konkrit, tidak menunjukkan kesatuan yang dapat dilihat, dan unsur-unsur itu
mempunyai hubungan timbal balik dengan lingkungannya, serta unsur-unsur lain
yang tidak termasuk dalam sistem, mempunyai pengaruh terhadap unsur-unsur di
dalam sistem. Paul Scholten mengatakan “bahwa tata hukum itu sendiri tidak
lengkap, oleh karenanya sistem hukum merupakan sistem terbuka yang selalu membutuhkan
masukkan untuk penyempurnaan.
Hukum sebagai suatu sistem menurut Fuller dapat diukur dengan 8 (delapan)
asas yang dikenal sebagai Principles of
Legality, sebagai berikut:
1.
Suatu sistem hukum harus
mengandung peraturan-peraturan (bukan hanya keputusan ad hoc);
2.
Peraturan yang sudah dibuat
harus diumumkan;
3.
Peraturan tidak boleh ada
yang berlaku surut;
4.
Peraturan-peraturan
harus dirumuskan dengan susunan kata-kata yang dapat dimengerti;
5.
Suatu
sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama
lain;
6.
Peraturan-peraturan
tidak boleh mengandung ketentuan yang melebihi apa yang dapat dilakukan;
7.
Tidak
boleh sering merubah peraturan sehingga menyebabkan orang kehilangan orientasi;
8.
Harus
ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya.
BAB X
ANEKA PEMBEDAAN HUKUM
Terdapat aneka cara pembedaan
hukum, diantaranya yang
dibedakan adalah antara pasangan-pasangan hukum sebagai berikut :
A. Ius Constitutum
dan Ius Constituendum
·
Ius
Constitutum
adalah hukum positif suatu negara, yaitu hukum yang berlaku dalam suatu negara pada
suatu saat tertentu misalnya hukum Indonesia yang berlaku dewasa ini dinamakan Ius Constitutum, atau bersifat positif,
juga dinamakan tata hukum Indonesia, demikian tata hukum Amerika, Rusia,
Jerman, Inggris , Jepang, Grenland,
Malaysia, dsb.
·
Ius Constituendum adalah
hukum yang dicita-citakan
oleh pergaulan hidup dan
negara, tetapi belum merupakan kaedah dalam bentuk undang-undang atau berbagai
ketentuan lain.
Perbedaan
keduanya didasarkan pada perkembangan sejarah tata hukum tertentu, bahwa hukum menerbitkan
pergaulan hidup
manusia pada suatu tempat tertentu dan dalam
jangka waktu tertentu.
Hal tersebut merupakan hasil perkembangan sejarah yang terbentuk, tumbuh dan akan hilang. Jadi
dapat dikatakan bahwa -Ius Constitutum sekarang adalah Ius Constituendum
pada masa lampau-.
Lebih jauh dapat ditegaskan bahwa perbedaan keduanya
merupakan suatu abstraksi dari fakta
bahwa sesungguhnya segala sesuatu merupakan
suatu proses perkembangan. Termasuk hukum yang merupakan suatu lembaga masyarakat yang
senantiasa mengalami perkembangan,
sedemikian rupa sehingga apa yang dicita-citakan pada saatnya akan terwujud menjadi kenyataan,
sebaliknya yang sedang berlaku
menjadi pudar ditelan waktu karena telah tidak cocok lagi (mengalami dekrapansi/kesenjangan
antara kaedah dan kenyataan sosial).
B.
Hukum Alam dan Hukum Positif
·
Hukum Alam adalah ekspresi dari
kegiatan manusia yang
mencari keadilan sejati yang mutlak (yang ideal).
Upaya
mencari hukum yang ideal ini berkembang seiring dengan perkembangan jaman. Ajaran-ajaran hukum
alam telah banyak
dipergunakan oleh berbagai bagian masyarakat dan
generasi untuk mengungkapkan
aspirasi-aspirasinya. Dalam sejarah tercermin bahwa ajaran hukum alam
dapat digunakan sebagai
senjata dalam perkembangan politik dan hukum.
·
Hukum Positif atau Stellingrecht
merupakan suatu kaedah yang berlaku,
yang sebenarnya di dalamnya merupakan perumusan suatu hubungan yang pantas antara fakta
dengan akibat hukum yang merupakan
abstraksi dari keputusan-keputusan.
Keputusan yang konkrit sebagai fakta sosial yang
mengatur hubungan-hubungan, senantiasa terjadi dalam suatu
tertib pergaulan hidup.
Suatu gambaran tentang hukum positif tertentu, selalu merupakan
lukisan tentang tertib hukum tertentu, yang berarti suatu tertib hukum
yang terikat oleh tempat dan
waktu tertentu pula. Hal ini karena ia merupakan suatu abstraksi dari kehidupan.
Artinya hal itu merupakan suatu
pengetahuan tentang kenyataan tertentu, yang terjadi di suatu tempat dan masa tertentu. Maka
menurut Logemann hukum positif
adalah kenyataan hukum yang dikenal. Hal itu sebagai lawan dari hukum keagamaan atau hukum
alam, yang merupakan kaedah
yang secara kritis berhadapan dengan kenyataan yang dapat disimpulkan bahwa pembedaan
antara hukum alam dengan hukum positif terutama terletak pada ruang lingkup
dari hukum.
Pada ajaran-ajaran hukum alam terdapat prinsip-prinsip
yang diberlakukan secara
universal. Artinya ingin diberlakukan di
manapun dan pada apapun juga. Sedangkan
orientasi hukum positif
adalah pada tempat dan waktu tertentu. Seterusnya apabila dihubungkan ajaran hukum alam
dan orientasi hukum positif, maka
terungkap tiga wawasan:
1. Hukum alam sebagai sarana koreksi bagi hukum positif.
2.
Hukum
alam menjadi inti hukum positif seperti
hukum internasional.
3.
Hukum alam sebagai pembenaran hak asasi manusia.
Dalam
pendalaman pengertian tentang pengantar ilmu hukum maka penjelasan yang
lebih luas dan mendalam tentang hukum positif,
dalam kaitannya dengan hukum alam dan pengertian keadilan. Hal ini dipandang perlu bagi studi
hukum yang diarahkan bagi penggalian bahan-bahan penting untuk mewujudkan
hukum nasional, yang diperankan dalam
pembangunan nasional.
C.
Hukum
Imperatif dan Hukum Fakultatif.
Dari sudut sifatnya hukum dapat dibedakan dalam
dua jenis yaitu yang disebut
hukum imperatif dan hukum fakultatif.
Pembedaan
keduanya ini mendapat banyak penjelasan
dari beberapa ahli hukum
yang intinya berkisar pada penekanan bahwa
hukum imperatif adalah paksaan dan fakulatif adalah pelengkap, hukum imperatif harus ditaati
secara mutlak sedangkan
imperatif masih bisa ada pilihan dan
sebagainya, yang sebenarnya
dapat dirasakan mana yang imperatif dan
yang fakultatif.
Hukum Imperatif adalah
kaedah-kaedah hukum yang secara apriori harus ditaati.
Sedangkan Hukum Fakultatif
tidaklah secara apriori harus ditaati atau tidak apriori wajib
untuk dipatuhi.
Hal-hal yang perlu mendapat perhatian.
1. Pada hukum
fakultatif, pembentuk undang-undang juga memberi perintah seperti halnya pada
hukum imperatif. Hanya sifat
perintahnya yang berbeda, yang disadarinya oleh
pembentuk undang-undang bahwa
perintah tertntu itu mungkin tidak
sesuai dengan keadaan, sehingga dimungkinkan terjadinya
penyimpangan yang berupa pengecualian. Maka
perintah tersebut lebih
banyak diartikan sebagai petunjuk, sehingga perintah ini langsung ditujukan
kepada penegak hukum, berbeda
dengan hukum imperatif yang juga secara langsung tertuju kepada pribadi-pribadi.
2. Dalam
hubungan dengan hukum publik dan hukum perdata.
Dari pembedaan sifat antara hukum yang imperatif dan
yang fakultatif secara garis
besar dan pada umumnya, hukum
publik relatif bersifat imperatif, sedangkan hukum perdata bersifat fakultatif, sekalipun dalam hukum
perdata ada yang bersifat
imperatif, yang antara lain disebabkan oleh beberapa
hal seperti:
a. Pembentuk
undang-undang menganggap perlu melindungi pribadi-pribadi, yang oleh karena
kurang mampu atau tidak
dapat mempertanggungjawabkan tindakannya akan dapat merugikan diri sendiri.
b. Pembentuk
undang-undang menganggap perlu
untuk melindungi
fihak-fihak yang secara ekonomis lemah.
c. Dalam
kasus-kasus yang bertautan aspek publik
dan perdata.
d.
Ke-tiga alasan di atas merupakan sebab kumulatif.
e. Ada syarat-syarat yang
mengangkat kemampuan-kemampuan di bidang
hukum, sebagai kriteria perikelakuan yang sah dan mempunyai akibat hukum.
Namun
demikian bobot sifat hukum publik tetap
lebih imperatif karena
umumnya kaedah-kaedah hukum publik
bersifat hubungan antara penguasa-penguasa dengan pribadi-pribadi, dalam
hubungannya dengan kepantingan umum yang
berorientasi pada kesejahteraan bersama warga masyarakat.
3. Kaedah-kaedah
yang ada sebagai bagian cerminan hukum tidak secara nyata terumus dalam kalimat yang
menunjukkan sifat imperatifnya,
sekalipun dapat dirasakan di dalam makna kaedah itu. Persoalan pembedaan antara hukum
imperatif dan fakultatif ini tercermin bahwa hukum secara luas dan mendalam berusaha mewujudkan keadilan sejati,
ia memaksa secara apriori, bila
diperlukan bagi kepentingan umum, namun untuk hal-hal
tertentu apabila tidak sejalan dengan
keadaan nyata menjadi fakultatif.
D.
Hukum Substantif dan Hukum Ajektif
·
Hukum Substantif
adalah serangkaian kaedah yang merumuskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari subyek
hukum yang terkait dalam hubungan hukum;
·
Hukum Ajektif adalah
serangkaian kaedah yang memberikan petunjuk dengan jelas tentang bagaimana
kaedah-kaedah materiil dri hukum
substantif ditegakkan.
Inti dari
pembedaan tersebut ada pada hak-hak dan kewajiban-kewajiban subjek hukum,
di mana dalam hukum substantif hal tersebut dirumuskan sedangkan dalam
hukum ajektif memberikan petunjuk bagaimana penegakkannya atau mempertahankannya
di dalam praktek, termasuk bagaimana mengatasi pelanggaran terhadap hak-hak dan kewajiban-kewajiban
tersebut.
Maka keduanya merupakan
komplementer yang saling mengisi. hal
ini berarti bahwa hukum substantif adalah hukum
materiil, sedangkan hukum ajektif
adalah hukum formil.
E. Hukum Tidak Tertulis dan Hukum Tertulis
·
Hukum Tidak Tertulis, juga
termasuk hukum kebiasaan. Salah satu contoh hukum tidak tertulis
yaitu hukum adat Indonesia .
Adat di sini berarti kebiasaan, yang merupakan perbuatan yang diulang-ulang, dengan
cara dan tindak tanduk, perilaku
yang sama, yang didalamnya terdapat aktualisasi adanya kesadaran hukum.
Di dalam ajaran-ajaran kesadaran hukum
yang lahir sebagai
kaedah-kaedah hukum tidak tertulis, yang merupakan gejala umum yang terdapat pada setiap individu dengan
derajat yang merata. Perlu diperhatikan
bahwa mengenai kesadaran hukum ada yang bersifat pribadi dan
yang umum. Pada kesadaran pribadi masing masing individu memiliki kesadaran
spontan mengenai apa yang dianggap
selaras dengan hukum atau berupa sifat melanggar hukum, sedangkan pada kesadaran
hukum umum, antara lain
terwujud apabila masyarakat mempunyai sikap tertentu terhadap hukum yang ada.
·
Hukum
Tertulis adalah hukum yang mencakup perundang-undangan dalam berbagai bentuk yang dibuat oleh
pembentuk undang-undang dan traktat yang
dihasilkan dari hubungan internasional.
Sehubungan dengan jenis Hukum Tertulis di
Indonesia telah ditetapkan TAP MPR RI No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan
Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan (mencabut TAP MPRS No. XX/MPRS/1996).
Pasal
2 TAP MPR RI No. III/MPR/2000 menyebutkan bahwa Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya.
Tata urutan Peraturan Perundang-undangan Republik
Indonesia adalah:
1. Undang-Undang
Dasar 1945;
2. Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ;
3. Undang-Undang;
4.
Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU);
5. Peraturan
Pemerintah;
6. Keputusan
Presiden;
7. Peraturan
Daerah.
Ketentuan tersebut diperkuat
lagi dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2004.
Sedangkan mengenai Traktat Di Indonesia
ditentukan dalam Pasal 11 UUD 1945,
yaitu "Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan
membuat perjanjian dengan
negara lain".
Di mana perjanjian antar negara yang telah disahkan
berlaku mengikat negara peserta,
termasuk warga negaranya. Sehingga
dapat dipahami bahwa setiap traktat sebelum disahkan
oleh Presiden terlebih dahulu
harus disetujui oleh DPR.
Tetapi dalam pelaksanaannya ternyata tidak
semua bentuk
perjanjian antarnegara harus mendapat persetujuan DPR, sebab jika demikian pemerintah menjadi kurang
leluasa untuk
menjalankan hubungan internasional, yang terpenting terdapat spesifikasi yang bersifat
limitatif/paling tidak terhadap
beberapa hal yang mutlak harus mendapat persetujuan DPR tidak diabaikan, beberapa hal yang harus mendapat
persetujuan DPR sehubungan
dengan adanya suatu perjanjian antar negara, yaitu terhadap perjanjian antar negara yang
mengandung materi-materi penting
(lazimnya disebut Traktat/ Treaty ), sebagai berikut:
a.
Soal-soal politik atau
soal-soal yang dapat mempengaruhi
haluan politik luar negeri; misal: perjanjian persekutuan, perjanjian batas wilayah, perubahan wilayah,
dsb.
b. Ikatan-ikatan yang
dapat mempengaruhi haluan
politik luar negeri;
seperti perjanjian kerjasama ekonomi, pinjaman.
c.
Soal-soal yang menurut
UUD dan sistem perundangan kita,
yang harus diatur dengan bentuk undang-undang; misalnya: tentang kewarganegaraan, kehakiman, dsb.
Sedang
terhadap perjanjian yang tidak
memerlukan
(pengecualian) persetujuan DPR, sifatnya hanya merupakan persetujuan bersama (Agreement) antar negara peserta, sehingga Presiden dapat
meratifikasinya dalam bentuk Keputusan Presiden
dan kemudian DPR cukup diberitahu.
“You
will can if you think, you will can do it”
![]() |
No comments:
Post a Comment