A. Batasan
Pengertian Ilmu Hukum
Ilmu hukum merupakan ilmu pengetahuan yang obyeknya
hukum, sehingga ilmu hukum akan
mempelajari semua seluk beluk mengenai
hukum dengan menelaah hukum sebagai
suatu gejala atau fenomena dalam kehidupan manusia dimanapun
dan kapanpun, atau dengan kata lain
hukum dilihat sebagai fenomena yang sifatnya universal.
Dalam
mempelajari itu hukum dapat digunakan beberapa
metode, sebagai berikut :
1.
Metode Idealis, adalah metode yang bertitik tolak
dari suatu pandangan bahwa
hukum sebagai perwujudan dari
nilai-nilai tertentu
(Keadilan, Kepastian dan
Kemanfaatan). Metode ini selalu
menguji apakah yang
dilakukan oleh hukum
untuk mewujudkan nilai-nilai tertentu. Nilai-nilai tertentu yang
dimaksud oleh hukum adalah keadilan.
2.
Metode Normatif
Analitis, yaitu metode yang melihat
hukum sebagai suatu sistem aturan
yang abstrak. Metode ini melihat hukum
sebagai lembaga yang
benar-benar otonom dan dapat dibicarakan
sebagai subyek tersendiri terlepas
dari hal-hal lain yang berkaitan
dengan peraturan-peraturan.
3.
Metode
Sosiologis, yaitu metode yang berangkat dari
pandangan yang melihat hukum sebagai alat untuk mengatur
masyarakat. Perhatian metode ini tertumpu pada faktor
kemasyarakatan yang mempengaruhi
pembentukan wujud dari perkembangan hukum, serta efektifitas hukum itu sendiri
dalam kehidupan masyarakat.
4.
Metode Historis, yaitu metode yang mempelajari hukum
dengan melihat sejarah hukum itu
sendiri, sehingga akan mengetahui bagaimana lahir,
berkembang dan lenyapnya
hukum serta perkembangan
lembaga-lembaga hukum.
5.
Metode
Sistematis, yaitu metode yang mempelajari hukum
dengan melihat hukum sebagai suatu sistem yang terdiri atas berbagai subsistem (seperti
hukum perdata, hukum pidana,
hukum tata negara, hukum
administrasi negara dan sebagainya).
6.
Metode
Komparatif, yaitu metode yang mempelajari hukum dengan membandingkan antara tata hukum yang berlaku di suatu negara tertentu dengan tata hukum yang berlaku di negara
lain, baik di masa lampau maupun pada saat berlaku
(sekarang). Sehingga akan diketahui
adanya persamaan-persamaan dan perbedaannya.
B.
Batasan Pengertian Pengantar Ilmu Hukum
Pengantar Ilmu
Hukum atau "Encyclopaedia
Hukum" merupakan mata kuliah dasar bagi setiap orang yang akan mempelajari
ilmu hukum dengan segenap
ruang lingkupnya yang sangat luas,
dan menanamkan tentang pengertian-pengertian dasar
dari berbagai istilah dalam
ilmu hukum, gambaran dasar tentang
sendi-sendi utama serta ajaran-ajaran penting dalam ilmu hukum.
Dengan kata
lain Pengantar Ilmu Hukum
adalah mata kuliah dasar
yang bertujuan untuk memperkenalkan ilmu
hukum secara keseluruhan dalam
garis besarnya. Secara sederhana dapat diragakan dalam bagan sebagai berikut:
Pengantar Ilmu Hukum Filsafat
Hukum
Encyclopaedia Hukum Sosiologi Hukum
Hukum-Hukum
Publik
|
Keterangan : Untuk
mempelajari Filsafat Hukum,
Sosiologi Hukum, Hukum-Hukum Publik dan Hukum-hukum privat
harus didasari oleh Pengantar Ilmu Hukum.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa hakekat
Pengantar Ilmu Hukum adalah sebagai
dasar dari pengetahuan hukum yang mengandung pengertian-pengertian dasar yang
menjadi akar dari ilmu hukum itu sendiri
atau bahwa Pengantar Ilmu Hukum
merupakan dasar untuk pelajaran lebih lanjut dalam studi ilmu
hukum. Akibatnya apabila ilmu pengantar
ini tidak dipahami secara
seksama dan tuntas, tidaklah mungkin
dapat diperoleh pengertian yang
baik tentang berbagai cabang ilmu
hukum baik yang publik maupun yang privat.
C.
Kedudukan dan Fungsi Pengantar Ilmu Hukum
Kedudukan
Pengantar Ilmu Hukum dalam kesatuan kurikulum
yang diajarkan pada Fakultas Hukum di Indonesia adalah sebagai
mata kuliah dasar keahlian,
oleh karena itu Pengantar
Ilmu Hukum berfungsi untuk
memberikan
pengertian-pengertian baik secara garis
besar maupun secara mendalam mengenai segala sesuatu yang berkaitan
dengan hukum, bagi Mahasiswa Fakultas Hukum yang mengawali belajar tentang
hukum. Selain itu juga mempunyai fungsi "pedagogis" yakni menumbuhkan
minat untuk dengan penuh kesungguhan
mempelajari ilmu hukum, sehingga
tepat bahwa Pengantar Ilmu Hukum merupakan dasar untuk pelajaran lebih lanjut
dalam studi ilmu hukum. Akibatnya apabila ilmu
pengantar ini tidak dipahami
secara seksama dan tuntas, tidaklah mungkin
dapat diperoleh pengertian yang baik tentang berbagai cabang ilmu hukum
baik yang publik maupun yang privat.
Oleh karena
itu siapapun yang ingin
mempelajari atau melakukan studi
hukum tetapi tidak menguasai Pengantar Ilmu Hukum akan mengalami kesulitan, kalau tidak
dikatakan akan mengalami kegagalan.
BAB
II
ANEKA ARTI HUKUM
Di depan telah diuraikan mengenai arti hukum secara
simpel, tetapi arti hukum tersebut dirumuskan bukan untuk membatasi atau
memberi definisi hukum. Karena memberi definisi hukum merupakan hal yang sangat
sukar sekali. Seperti yang dikemukakan
oleh Van Apeldorn yang menyebut
pendapat Imanuel Kant, bahwa batasan tentang hukum masih senantiasa dicari dan
belum didapatkan. Kesukaran ini karena hukum mencakup aneka macam segi dan
aspek, serta karena luasnya ruang lingkup hukum di samping itu sumbernyapun di
berbagai bidang.
Di samping pemberian arti umum untuk perluasan
pemahaman, berikut ini akan dikemukakan aneka arti hukum, sebagai berikut :
a.
Hukum Dalam Arti Ketentuan Penguasa
Di sini hukum adalah
perangkat-perangkat peraturan tertulis yang dibuat oleh pemerintah, melalui
badan-badan yang berwenang membentuk berbagai peraturan tertulis (UUD, UU,
Keppres, PP, Kep. Men dan Perda). Termasuk juga adalah keputusan-keputusan
Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum atau yurisprudensi.
|
|
||||
?
Keterangan : Hukum dalam
arti ketentuan penguasa berupa hasil pembuatan peraturan
perundang-undangan dan keputusan Pengadilan.
Arti ini mudah
dipahami oleh orang awam yang bukan ahli hukum, namun telah mendapatkan
pendidikan yang cukup, seperti para sarjana di luar pendidikan hukum, dan
setidaknya yang di SMU.
b. Hukum Dalam Arti Para Petugas
Sebagian warga
masyarakat, menunjuk hukum pada para petugas yang berusaha mengamankan dan
menegakkan hukum. Hukum dibayangkan dalam wujud petugas yang berseragam dan
bisa bertindak terhadap orang-orang yang melakukan tindakan-tindakan yang
membahayakan warga masyarakat.
Orang-orang pada kelompok
lapisan tertentu melihat hukum dalam wujud sebagai para petugas (penegak
hukum), seperti Polisi yang sedang patroli, Jaksa dengan seragamnya dan Hakim
dengan toganya yang hitam berdasi putih. Di sini hukum dilihatnya dalam arti
sebagai wujud fisik yang ditampilkan dalam gambaran orang-orang yang bertugas
menegakkan hukum.
c. Hukum Dalam Arti Sikap Tindak
Yaitu hukum sebagai perilaku
yang ajeg atau sikap tindak teratur, di mana bekerjanya tidak nampak seperti
dalam arti petugas, melainkan menghidup bersama dengan perilaku individu
terhadap yang lain secara terbiasa, dan senantiasa terasa wajar serta rasional.
Di sini hukum bekerja “mengatur”
sikap tindak warga masyarakat, sedemikian rupa, sehingga hukum terlihat sebagai
sikap tindak yang nampak di dalam pergaulan sehari-hari, ia merupakan suatu
kebiasaan.
d. Hukum Dalam Arti Sistem Kaedah
Sistem
adalah merupakan suatu pemikiran bulat yang di dalamnya terdiri dari
bagian-bagian yang saling berhubungan dengan serasi dan saling mengisi serta
tidak saling bertentangan satu dengan lain. Kebulatan pemikiran ini merupakan
cara untuk mencapai tujuan tertentu.
Kaedah
atau norma adalah ketentuan-ketentuan tentang baik buruk perilaku manusia di
tengah pergaulan hidupnya, dengan menentukan perangkat-perangkat peraturan yang
bersifat perintah dan anjuran larangan-larangan.
Menurut Hans Kelsen “tata kaedah
hukum suatu negara merupakan suatu sistem kaedah-kaedah hukum yang heirarkhis
yang dalam bentuknya yang sangat sederhana”.
Atau hukum sebagai sistem kaedah
adalah:
1.
Suatu
tata kaedah hukum yang merupakan sistem kaedah-kaedah hukum secara heirarkhis.
2.
Susunan
kaedah-kaedah hukum yang sangat disederhanakan dari tingkat bawah ke atas
meliputi:
i.
Kaedah-kaedah
individual dari badan-badan pelaksana hukum terutama Pengadilan.
ii.
Kaedah-kaedah
umum di dalam UU atau hukum kebiasaan.
iii.
Kaedah-kaedah
konstitusi.
Ketiganya
dinamakan kaedah positif.
3. Sahnya
kaedah-kaedah hukum dari golongan tingkat yang lebih rendah tergantung atau
ditentukan oleh kaedah-kaedah yang termasuk golongan tingkat yang lebih tinggi.
Di samping
kaedah hukum, dalam masyarakat dikenal dan bekerja kaedah-kaedah lain, yaitu:
- Kaedah-kaedah kesopanan;
- Kaedah kesusilaan;
- Kaedah agama dan kepercayaan.
e. Hukum Dalam Arti Jalinan Nilai
Hukum dalam arti jalinan nilai
bertujuan menserasikan nilai-nilai obyektif yang universal tentang baik dan
buruk, tentang patut dan tidak patut, sedemikian rupa untuk mencerminkan
rumusan perlindungan kepentingan antar individu, pemenuhan kebutuhan dan
perlindungan hak dengan ketentuan yang merupakan kepastian hukum.
Dalam hal tertentu hukum secara
khusus menentukan nilai-nilai subyektif yang secara tertentu memberi keputusan
bagi keadilan sesuai keadaan pada suatu tempat, waktu dan budaya masyarakat.
Tujuan hukum dalam kaitannya
dengan jalinan nilai adalah mewujudkan keserasian dan keseimbangan antara
faktor obyektif dan subyektif dari hukum demi terwujudnya nilai-nilai keadilan
dalam hubungan antara individu di tengah pergaulan hidupnya.
f. Hukum Dalam Arti Tata Hukum
Tata hukum atau kerap kali
disebut hukum positif adalah hukum yang berlaku disuatu tempat, pada saat
tertentu (sekarang).
Dalam arti ini tentunya tata
hukum pada suatu negara yang berlaku dewasa ini, misalnya tata hukum Amerika
adalah hukum yang berlaku di USA baik federal maupun di berbagai negara bagian.
Demikian pula di Inggris, di India, di RRC, di Jerman dsb.
Tata hukum di Indonesia adalah
hukum yang sedang berlaku dewasa ini di Indonesia, yang meliputi baik hukum
publik maupun hukum privat:
-
Hukum publik yang terdiri antara lain HTN , Hk. Pidana, HAN, Hk. Internasional.
-
Hukum
privat yang terdiri antara lain Hk. Perdata, Hk. Dagang.
g.
Hukum Dalam Arti Ilmu Hukum
Hukum dalam arti ilmu hukum, hukum di lihat sebagai
ilmu pengetahuan yang merupakan karya manusia yang berusaha mencari kebenaran
tentang sesuatu yang memiliki ciri-ciri sistematis, logis, empiris, metodis,
umum dan akumulatif.
Dalam arti ilmu hukum meliputi:
1.
Ilmu Kaedah (normwissenchaft
atau sollenwissenschaft) yaitu
ilmu yang menelaah hukum sebagai kaedah-kaedah dengan domatig hukum dan
sistematik hukum.
2.
Ilmu Pengertian (begriftenwissenschaft)
yaitu ilmu tentang pengertian-pengertian pokok dalam hukum, misalnya subyek
hukum, masyarakat hukum, peranan hukum, peristiwa hukum, objek hukum, akibat
hukum.
3.
Ilmu Kenyataan (Tatsachenwissenschaft)
yaitu menyoroti hukum sebagai perilaku atau sikap tindak, yang antara lain
dipelajari dalam Sosiologi Hukum, Antropologi Hukum, Psikologi Hukum, Sejarah
Hukum, Perbandingan Hukum.
h. Hukum Dalam Arti Disiplin Hukum
Dalam telaah tentang apa yang
ada di dalam batasan disiplin, maka dapat dibedakan antara disiplin analitis (merupakan sistem ajaran yang menganalisa
memahami dan menjelaskan gejala-gejala yang dihadapi) dan disiplin perspektif (merupakan sistem ajaran yang menentukan di
dalam menghadapi kenyataan tertentu).
Dari batasan
tentang disiplin tersebut maka dapat dipahami bahwasannya disiplin hukum
(sebagai sistem ajaran mengenai kenyataan atau gejala-gejala hukum yang ada dan
hidup di tengah pergaulan) merupakan
disiplin perspektif, yang berusaha menentukan apa yang seyogyanya, seharusnya
dan patut dilakukan dalam menghadapi kenyataan.
Dalam kerangka disiplin hukum
sebagai suatu sistem disiplin perspektif, di dalamnya membahas tiga yaitu Ilmu Hukum, Filsafat Hukum dan Politik
Hukum.
Ilmu Hukum, intinya merupakan ilmu pengetahuan yang berusaha membahas dan
menelaah hukum (lihat penjelasan sebelumnya).
Filsafat Hukum adalah ilmu pegetahuan yang mempelajari
pernyataan-pernyataan mendasar dari hukum. Atau merupakan ilmu pengetahuan
tentang hakekat hukum, sehingga dalam ilmu ini akan dikemukakan tentang
dasar-dasar kekuatan mengikat dari hukum.
Politik Hukum adalah disiplin hukum yang mengkhususkan dirinya pada usaha
memerankan hukum dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan oleh masyarakat
tertentu. Sebab bila disimak tentang kondisi suatu masyarakat yang teratur maka
senantiasa memiliki tujuan untuk mensejahterakan warganya, sedangkan politik
hakekatnya merupakan sarana untuk mencapai tujuan sehingga politik juga
merupakan aktifitas memilih tujuan tertentu. Dalam kaitannya dengan
permasalahan hukum, juga dijumpai keadaan yang sama. Untuk itu hukum yang
berusaha memilih tujuan dan cara pencapainya tersebut merupakan perpaduan dari
sisi politik dan sisi hukum atau merupakan politik hukum.
BAB III
DISIPLIN HUKUM
Pengantar
Dalam telaah tentang apa yang
ada di dalam batasan disiplin, maka dapat dibedakan antara disiplin analitis (merupakan sistem ajaran yang menganalisa
memahami dan menjelaskan gejala-gejala yang dihadapi) dan disiplin perspektif (merupakan sistem ajaran yang menentukan apakah
yang seyogyanya atau yang seharusnya dilakukan di dalam menghadapi kenyataan
tertentu).
Dari batasan tentang disiplin
tersebut maka dapat dipahami bahwasannya disiplin hukum (sebagai sistem ajaran
mengenai kenyataan atau gejala-gejala hukum yang ada dan hidup di tengah pergaulan) merupakan disiplin perspektif, yang
berusaha menentukan apa yang seyogyanya, seharusnya dan patut dilakukan dalam
menghadapi kenyataan.
Dalam kerangka disiplin hukum
sebagai suatu sistem disiplin perspektif, di dalamnya membahas tiga yaitu Ilmu Hukum, Filsafat Hukum dan Politik
Hukum.
1. Ilmu Hukum
Ruang lingkup yang dipelajari dalam ilmu hukum meliputi :
a.
Ilmu
Kaedah (normwissenchaft atau
sollenwissenschaft) yaitu ilmu yang menelaah hukum sebagai kaedah-kaedah
dengan domatig hukum dan sistematik hukum.
b.
Ilmu Pengertian (begriftenwissnschaft)
yaitu ilmu tentang pengertian-pengertian pokok dalam hukum, misalnya subyek
hukum, masyarakat hukum, peranan hukum, peristiwa hukum, obyek hukum, akibat
hukum.
c.
Ilmu Kenyataan (Tatsachenwissenschaft)
yaitu menyoroti hukum sebagai perilakuan atau sikap tindak, yang antara lain
dipelajari dalam Sosiologi Hukum, Antropologi Hukum, Psikologi Hukum, Sejarah
Hukum, Perbandingan Hukum.
2. Filsafat Hukum
Filsafat Hukum adalah ilmu pegetahuan yang mempelajari
pernyataan-pernyataan mendasar dari hukum. Atau merupakan ilmu pengetahuan
tentang hakekat hukum, sehingga dalam ilmu ini akan dikemukakan tentang
dasar-dasar kekuatan mengikat dari hukum.
3. Politik Hukum
Politik Hukum adalah disiplin hukum yang mengkhususkan dirinya pada usaha
memerankan hukum dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan oleh masyarakat
tertentu.
Sebab bila disimak tentang kondisi suatu masyarakat yang teratur maka
senantiasa memiliki tujuan untuk mensejahterakan warganya, sedangkan politik
hakekatnya merupakan sarana untuk mencapai tujuan sehingga politik juga
merupakan aktifitas memilih tujuan tertentu.
Secara sederhana
disiplin hukum dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut:
BAB IV
ILMU HUKUM SEBAGAI
ILMU KENYATAAN
Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya bahwa ilmu kenyataan (Tatsachenwissenschaft
atau Seinwissenschaft) menyoroti
hukum sebagai perikelakuan atau sikap tindak. Termasuk sebagai ilmu-ilmu
kenyataan hukum, adalah:
1. Sosiologi Hukum
Sosiologi hukum adalah cabang ilmu pengetahuan yang secara empiris dan
analitis mempelajari hubungan timbal bailk antara hukum sebagai gejala sosial
dengan gejala-gejala sosial lain. Studi yang demikian ini memiliki
karakteristik (sekaligus) merupakan “kunci” bagi orang yang berminat untuk
melakukan penyelidikan dalam bidang sosiologi hukum), yaitu sebagai berikut:
a.
Sosiologi hukum bermaksud memberi penjelasan terhadap
praktek-praktek hukum, seperti dalam pembuatan undang-undang, praktek peradilan
dsb. Sosiologi hukum berusaha menjelaskan mengapa praktek demikian itu terjadi,
faktor apa yang berpengaruh, latar belakangnya dsb. (oleh Max Weber disebut sebagai interpretative-understanding).
b.
Sosiologi
hukum tidak hanya menerima tingkah laku yang tampak dari luar saja, melainkan
ingin memperoleh pula penjelasan yang bersifat internal, yaitu yang meliputi
motif-motif tingkah laku seseorang.
c.
Sosiologi
hukum senantiasa menguji keabsahan empiris dengan usaha untuk mengetahui antara
kaedah dan di dalam kenyataannya, baik dengan data empiris.
d.
Sosiologi
hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum, tetapi mendekati hukum dari
segi obyektivitas semata dan bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap
fenomena hukum yang nyata.
2. Antropologi Hukum
Antropologi
hukum yaitu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari pola-pola sengketa dan
penyelesaiannya pada masyarakat-masyarakat sederhana, maupun masyarakat yang
sedang mengalami proses perkembangan dan pembangunan/modern.
Pendekatan
yang dipakai dalam ilmu ini adalah pendekatan
secara menyeluruh yang dilakukan terhadap manusia.
Maka
karakteristik Antropologi Hukum terletak pada sifat pengamatan, penyelidikan
secara menyeluruh terhadap kehidupan manusia. Hal inilah yang menempatkan
terapan antropologi, dalam Antropologi Hukum, hingga mendapatkan hasil studi
yang lebih mempunyai nilai universal baik dalam hubungannya dengan waktu maupun
tempat, atau paling tidak menuju kesasaran itu.
Baginya
“hukum” hendaknya diartikan lebih dari sekedar peraturan dan lembaga-lembaga
pelaksanaannya yang formal.
Seperti dapat diikuti pada perumusan fungsi-fungsi yang
diperankan oleh hukum, sebagai berikut:
a.
Merumuskan
hubungan-hubungan antar anggota suatu masyarakat untuk menentukan
perbuatan-perbuatan apa yang boleh dan yang tidak, dengan tujuan mempertahankan
-paling tidak- integrasi minimal dari kegiatan orang-orang dan
kelompok-kelompok dalam masyarakat.
b.
Keharusan
untuk menjinakkan kekuatan yang belum mapan dan mengarahkannya pada
pemeliharaan tatanan. Fungsi ini meliputi pengalokasian kekuasaan dan penegasan
tentang siapa boleh menggunakan paksaan fisik sebagai suatu hak istimewa yang
diakui secara sosial, bersama-sama dengan pemilihan bentuk-bentuk sanksi fisik
yang paling efektif guna mencapai tujuan-tujuan sosial dari hukum.
c.
Penyelesaian-penyelesaian
sengketa yang timbul.
d.
Melakukan
perumusan kembali hubungan-hubungan antara orang-orang atau kelompok-kelompok
manakala kondisi-kondisi kehidupan berubah, fungsi ini dijalankan untuk
mempertahankan kemampuan beradaptasi.
Dari itu semua Antropologi Hukum memperhatikan dan
menerima hukum sebagai bagian dari proses-proses yang lebih besar dalam
masyarakat, sehingga ia melihat hukum tidak secara statis melainkan dinamis,
yaitu dalam proses-proses terbentuknya dan menghilang secara berkesinambungan.
Atau
dengan kata lain Antropologi hukum bagi perkembangan ilmu hukum, memberikan
manfaat sebagai berikut:
·
Hasil penelitiannya dapat:
memberikan gambaran tentang hukum dalam konteks kebudayaan
suatu masyarakat;
memberikan data tentang penerapan hukum tertulis dalam
masyarakat yang majemuk;
mengetahui sebab-sebab atau latar belakang, mengapa warga
masyarakat enggan menyelesaikan masalah-masalah hukum pada Pengadilan;
mengidentifikasikan
tentang kebutuhan-kebutuhan hukum warga masyarakat, serta latar belakang sosial
budayanya;
·
dapat
ditelusuri sistem nilai-nilai yang menjadi dasar dari sistem hukum tertentu;
·
dengan
menelaah bahan-bahan Antropologi hukum dapat diketahui pola-pola proses hukum
manakah yang digunakan untuk menegakkan sistem nilai-nilai dalam masyarakat;
·
memberikan
pengetahuan tentang kemungkinan digunakannya proses peradilan tidak resmi yang
mungkin lebih efektif dari pada peradilan resmi.
3. Psikologi Hukum
Psikologi hukum yaitu cabang ilmu pengetahuan yang
mempelajari hukum sebagai suatu perwujudan dari perkembangan jiwa manusia.
Psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku manusia (human behaviour), maka dalam kaitannya dengan studi hukum ia akan
melihat hukum sebagai salah satu pencerminan perilaku manusia. Mengingat suatu
kenyataan bahwa salah satu yang menonjol pada hukum, terutama pada hukum
modern, adalah penggunaannya secara sadar sebagai alat mencapai tujuan-tujuan
yang dihendaki. Sehingga sadar atau tidak, hukum memasuki bidang yang menggarap
tingkah laku manusia (bidang psikologi). Leon Petrazycky beranggapan bahwa
fenomena-fenomena hukum itu terdiri dari proses-proses psikhis yang unik, yang
hanya dapat dilihat dengan menggunakan methoda introspeksi. Sedangkan hak-hak dan kewajiban sebagai hal yang ada
hanya dalam pikiran manusia, tetapi mempunyai arti sosial, oleh karenanya ia
menciptakan “pengalaman imperatif-atributif” yang mempengaruhi tingkah laku
mereka yang merasa terikat olehnya.
4. Sejarah Hukum
Sejarah hukum adalah salah satu bidang studi hukum yang
mempelajari perkembangan dan asal usul sistem hukum dalam suatu masyarakat
tertentu dan memperbandingkan antara hukum yang berbeda yang dibatasi oleh
perbedaan waktu.
Dalam studi ini, ditekankan mengenai sistem hukum suatu
bangsa merupakan suatu ekspresi jiwa yang bersangkutan dan oleh karenanya
senantiasa yang satu berbeda dengan yang lain.
Perbedaan ini terletak pada karakteristik pertumbuhan
yang dialami oleh masing-masing sistem hukum. Apabila dikatakan bahwa hukum itu
tumbuh, maka yang diartikan adalah hubungan yang terus menerus antara sistem
yang sekarang dengan sistem yang lalu. Apabila dapat diterima bahwa hukum yang
sekarang berasal dari yang sebelumnya atau hukum yang sekarang dibentuk
proses-proses yang berlangsung pada waktu yang lampau. Mengenai dan memahami
secara sistematis proses-proses terbentuknya hukum, faktor-faktor yang
menyebabkannya, dsb, memberikan tambahan pengetahuan yang berharga untuk
memahami fenomena hukum dalam masyarakat.
5. Perbandingan Hukum
Perbandingan hukum adalah (suatu methoda studi hukum)
yang mempelajari perbedaan sistem hukum antara negara yang satu dengan yang
lain. Atau membandingkan sistem hukum positif dari bangsa yang satu dengan
bangsa yang lain (dua sistem hukum atau lebih).
Yang perlu mendapat perhatian bahwa di sini terdapat ius comparadum (hukum pembanding) dan ius comparatum (hukum dibanding) serta
tertium comparatum (bahan/ukuran bandingan).
Maksudnya bahwa dalam membanding-bandingkan dua sistem
hukum atau lebih, sebelumnya telah ditentukan suatu ukuran ideal tentang sistem
hukum tertentu, sehingga arah dari perbandingan tersebut dapat ditentukan pula.
Bahan-bahan yang diperoleh dari proses perbandingan tersebut pada akhirnya
dapat dijadikan sarana guna memperdalam pemahaman terhadap sistem hukum tertentu.
Keterangan : Hukum
sebagai kenyataan ia menghidup dalam pergaulan hidup manusia
dan tercermin dalam sikap tidak warga masyarakat.
BAB V
ILMU
HUKUM SEBAGAI ILMU KAEDAH
1. PENGERTIAN
ILMU PENGETAHUAN
a.
Definisi Ilmu Pengetahuan
Sebenarnya
definisi itu sekedar merupakan suatu titik tolak bagi sesuatu penguraian dan
analisa lebih lanjut, sehingga pada akhirnya menjadi lebih jelas batas-batas
serta ruang lingkup penyediaan ilmu yang didefinisikan itu dan menjadi lebih
teranglah sifat-sifat ilmu itu dan tempatnya dalam kerangka umum ilmu-ilmu yang
lain.
Adapun salah
satu definisi tentang ilmu adalah : bahwa
ilmu merupakan akumulasi pengetahuan yang disistematisasikan. Definisi
tentang ilmu seperti dikemukakan di atas sebenarnya terlalu luas dan baru akan
menjadi lebih jelas, apabila dapat ditegaskan lebih lanjut arti yang lebih
terperinci mengenai pengetahuan, dan arti tentang sistematik dan organisasi
yang digunakan dalam definisi itu.
Ilmu dapat pula
dilihat sebagai suatu pendekatan atau suatu metode pendekatan terhadap seluruh
dunia empiris, yaitu dunia yang terikat oleh faktor ruang dan waktu, dunia yang
pada prinsipnya dapat diamati oleh panca indera manusia.
Dalam definisi
ini titik berat diletakkan kepada metode ilmu. Memang yang mengikat semua ilmu
adalah adanya metode ilmu yang digunakan untuk mensistematisasikan seluruh
pengetahuan yang sifatnya masih fragmentaris itu.
Demikian itu
apabila dipelajari definisi tentang ilmu tersebut, maka akan diketahui bahwa
ciri-ciri yang pokok yang terdapat pada pengertian ilmu itu adalah:
1. Bahwa ilmu
itu rasional.
2. Bahwa ilmu
itu bersifat empiris.
3. Bahwa ilmu
itu bersifat umum.
4. Bahwa ilmu
itu bersifat akumulatif.
Penjelasan:
Bahwa yang dimaksud
dengan rasional di sini adalah suatu
sifat kegiatan berpikir yang dituduhkan kepada logika formal dengan urutan
berpikir silogistik, di mana kemampuan untuk berpikir rasional pada manusia
dibawa oleh kemampuannya untuk dapat berpikir secara abstrak. Di samping itu
manusia adalah makhluk yang dapat berpikir secara kompleks dan konsepsional,
serta dia menyadari akan dimensi waktu masa lampau, sekarang dan masa yang akan
datang.
Berpikir
rasional sebenarnya dapat digunakan dan atau diterapkan kepada dunia empiris
dan non-empiris. Akan tetapi ilmu adalah hasil daripada berpikir rasional yang
ditunjukkan atau diterapkan kepada dunia empiris saja. Maka sampailah
kita kepada sifat yang kedua dari yaitu sifat-sifat empiris di samping
rasional.
Ilmu dikatakan bersifat empiris,
oleh karena konklusi-konklusinya yang diambil harus dapat ditundukkan kepada
pemeriksaan atau pada verifikasi panca indera manusia.
Dalam hubungan dengan sifat empiris dari ilmu itu para ilmiawan dan
terutama para filsuf dewasa ini kebanyakan sependapat, bahwa kita tidak dapat
mempelajari dunia dan mengembangkan ilmu tanpa bantuan panca indera kita. Hal
itu terbentuk dalam preposisi ilmiah yang antara lain adalah kaedah-kaedah
logika formal dan hukum-hukum kuasalitas, yang menjadi dasar-dasar ilmu yang
menghasilkan kebenaran-kebenaran yang bersifat relatif. Ilmu yang terdiri atas
2 (dua) unsur besar fakta dan teori, mendefinisikan, sedang teori mempunyai
fungsi menetapkan hubungan yang terdapat diantara fakta-fakta itu. Sehingga
tanpa adanya sistem atau tanpa adanya prinsip yang mengatur, singkatnya tanpa
teori, fakta tidak mempunyai sesuatu arti. Oleh karena itu kelirulah anggapan
kebanyakan orang yang mengatakan bahwa fakta lebih penting dari pada teori atau
sebaliknya. Fakta dan teori atau sebaliknya. Fakta dan teori sangat erat
hubungannya dan mempunyai hubungan yang fungsional.
Ilmu bersifat umum maksudnya,
bahwa kebenaran-kebenaran yang dihasilkan oleh ilmu itu dapat diverifikasikan
oleh peninjau-peninjau ilmiah yang mempunyai hak dan kemampuan untuk melakukan
itu.
Obyek maupun metode ilmu harus dapat dipelajari dan diikuti secara umum (open baar) dan dapat diajarkan dalam
kelas bersama-sama. Kebenaran-kebenaran yang dihasilkan oleh sesuatu ilmu tidak
bersifat rahasia dan tidak dirahasiakan, melainkan hasil-hasil kebenaran ilmu
justru memiliki ilmu sosial, serta kewibawaan ilmiah setelah hasil-hasil itu
diketahui, diselidiki dan dibenarkan validitasnya oleh sebanyak mungkin ahli
dalam bidang ilmu tersebut, jadi bersifat open baar (umum).
Sedangkan sifat lain dari ilmu yang harus dapat dikatakan akumulatif oleh karena ilmu yang kita
kenal merupakan kelanjutan dari ilmu yang telah dikembangkan sebelumnya.
Dalam proses perkembangan atau dalam proses kumulasinya konklusi-konklusi
dari ilmu biasanya bersifat tentatif. Di mana ilmu itu akan bersifat korektif
terhadap konklusi yang diperolehnya. Sehingga jika suatu konklusi itu kemudian
ternyata tidak/kurang benar, maka dalam perkembangan selanjutnya ilmu itu akan
mengkoreksi dirinya sendiri.
b.
Metode Ilmu Pengetahuan
Metode ilmu
adalah suatu prosedur berpikir teratur yang digunakan dalam penelitian untuk
memperoleh konklusi-konklusi ilmiah berdasarkan atas postulat-postulat dan
preposisi-preposisi ilmiah tertentu.
Prinsipnya
-sekurang-kurangnya- metode ilmu itu meliputi:
1.
Pernyataan
masalah penelitian;
2.
Pemecahan
masalah/soal yang dirumuskan (penentuan atau pengembangan hipotesa);
3.
Melakukan tes/uji coba dan verifikasi terhadap hipotesa.
c. Sikap
Ilmiah
Sikap ilmiah
adalah sikap-sikap yang seharusnya dimiliki oleh setiap ilmuan dalam melakukan
tugasnya untuk mempelajari, meneruskan, menolak atau menerima serta merubah
atau menambah ilmu.
Dengan kata lain
seorang ilmuan harus memiliki sikap bathin tertentu, sesuai dengan makna dan
maksud dari apa yang menjadi niat dan apa yang hendak dilakukan. Adapun sikap
ilmiah itu, antara lain :
1.
Obyektivitas;
2.
Beranggapan sesuatu itu serba relatif;
3.
Selalu
curiga atau tidak segera percaya (skeptif);
4.
Memiliki
kesabaran intelektual;
5.
Memiliki
kesederhanaan dalam berpikir, berpendapat dan menguji/ membuktikan;
6.
Tidak
memihak pada etik atau bebas nilai.
2. ILMU
PENGETAHUAN KAEDAH
Dalam ilmu
pengetahuan kaedah (norm-wissenschaft/sollen-wissenschaft/ilmu-ilmu
normatif) apa yang tertuang dalam perangkat ilmu pengetahuan sebagaimana telah
dijelaskan di depan diterapkan dalam mempelajari kaedah atau norma yang tumbuh,
hidup, berkembang, dan hilang, mati, tenggelam bersama-sama dengan tumbuh,
hidup, berkembang, dan hilang, mati, tenggelamnya pola hidup pergaulan di
masyarakat.
Di mana pola
hidup yang dimaksud adalah sesuatu struktur atau susunan dari kaedah-kaedah
untuk hidup. Sehingga dapat dikatakan bahwa kaedah merupakan patokan atau
ukuran atau pedoman untuk berkelakuan atau bersikap tindak dalam hidup.
Bila lebih
dicermati maka kaedah merupakan perumusan pandangan mengenai perilaku dan sikap
tindak yaitu sikap tindak dan perilaku yang baik dan buruk, yang patut dan
tidak patut, dalam ketentuan-ketentuan yang telah menghidup, membumi di dalam
pergaulan hidup dari waktu ke waktu, yang hanya akan berubah apabila kelompok
pergaulan tersebut menghendakinya.
Kaedah-kaedah
itu terwujud secara alamiah dan dianut baik yang tidak tertulis maupun yang
tertulis. Di dalamnya terdapat beberapa kaedah, di samping terdapat kaedah
hukum, juga banyak terdapat kaedah-kaedah lain yang bukan merupakan kaedah
hukum. Yang bersifat sebagai kaedah hukum proses pengkaedahannya berlangsung
secara tidak tertulis, namun pada masyarakat modern yang telah komplek seperti
sekarang ini, banyak pengkaedahan yang melalui proses pembuatan undang-undang
(tertulis).
Jadi dapat
dikatakan bahwa ilmu pengetahuan kaedah adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari dan menelaah proses terjadinya kaedah atau pengkaedahan.
3. ILMU
HUKUM SEBAGAI ILMU KAEDAH
a.
Ide hukum,
hukum positif dan paham hukum.
Ilmu hukum sebagai ilmu kaedah, merupakan ilmu yang menelaah ilmu sebagai
ilmu kaedah, atau sistem kaedah-kaedah dengan dogmatik hukum atau sistematik
hukum, sedemikian rupa sehingga dapat dipahami dengan jelas tentang hukum
sebagai ilmu kaedah.
Apabila kita memandang dan menyelidiki masyarakat, yakni sebagai suatu
kenyataan, maka dapat ditemui berupa-rupa gejala yang dapat diuraikan secara
sosiologis dan/atau psikologis (misalnya: hubungan diantara agama dengan
kejahatan; diantara pernikahan dan perceraian; dan sebagainya). Hasil uraian
itu semata-mata merupakan gubahan saja, yaitu tentang keadaan yang terdapat
dalam kenyataan sosial, tanpa memberikan penghargaan kepada gejala-gejala itu.
Dengan cara itu kita tidak mementingkan nilai gejala-gejala itu (kita tidak
mengatakan suatu apa-apa tentang betapa jahatkah kejahatan itu; betapa buruklah
perceraian pernikahan itu); kita hanya menggubahkan gejala-gejala itu,
sebagaimana gejala itu telah kita tangkap dengan panca indera kita dalam dunia
kenyataan.
Lain halnya apabila kita mepersoalkan harta benda kebudayaan (“Kulturguiter”); di sanalah gubahan
yang semata-mata gubahan saja, sekali-kali tidak memuaskan. Kepada arti harta
benda kebudayaan (misalnya; kesenian, hukum, juga menurut suatu arti yang tertentu;
agama), kita senantiasa mengaitkan juga suatu penilaian.
Kita akan mengakui bahwa manusia dikuasai oleh nilai-nilai yang mutlak, dan
oleh ide-ide, yang menjadi alasan sehingga manusia merasa terdorong berbuat
sesuatu. Manusia hendak hidup dengan penuh keinsafan, sebagaimana budi manusia
meluluskannya; dengan demikian manusialah yang menyesuaikan diri dengan ide-ide
itu. Yang dimaksudkan ialah misalnya: Ide kebenaran, ide keindahan, ide
kemuliaan dan ide keadilan. Justru itulah sebabnya bahwa kita selalu
mempertalikan pertimbangan tentang nilai kepada hal-hal dan perlakuan-perlakuan
yang terdapat di dalam dunia kenyataan itu. Apabila dinyatakan sesuatu tentang
“baik atau buruk”, atau sebagai “bagus atau jelek”, atau sebagai “indah atau
keji”, maka kita mengucapkan sesuatu penilaian, hanya berdasarkan ide-ide
mutlak itulah dapat kita yang menyatakan demikian.
Ide terletak di dalam dunia ide, gejala-gejala, yang di dalam dunia
kenyataan, hanya dapat dimengerti sebagai pengabdian kepada ide itu. Segala hasil
usaha manusia hanya dapat dimengerti dan difahamkan dari sudut idenya. Hanya
harus diperhatikan bahwa hasil itu berbeda menurut tempat dan waktu. Juga
terdapat kaedah-kaedah harus difahami idenya.
Bagaimana halnya dengan hukum ?
Apakah yang menjadi dasarnya yang mutlak ?
Menurut pandangan golongan ahli filsafat Neo Kantian, seperti tokohnya ahli
filsafat hukum Gustav Radbruch, maka ide hukum itu tidak lain adalah keadilan
saja (Rechtsphilosophie 1950), ide hukum itu terletak di dalam dunia
nilai-nilainya yang mutlak.
Mulai dari zaman purbakala, semenjak manusia hidup bersama-sama di dalam
ikatan-ikatan tertentu, kaedah-kaedah hukum menguasai masyarakat. Masyarakat
sendiri, yang disusun menurut kehendak hukum positif dinamakan tertib hukum,
kita berharap pula supaya hukum positif itu berorientasi atas keadilan sebagai
ide hukum.
Radbruch mengatakan hukum (positif) ialah kenyataan yang bermaksud
mengabdikan kepada nilai hukum, kepada ide hukum; dan bahwa hukum (positif)
merupakan kenyataan, yang mempunyai pengetian akan mengabdi keadilan. Jadi,
apabila dipelajari sumber-sumber hukum positif (yaitu; sumber di dalam arti
zahiri); maka kita jumpa bentuk-bentuk yang berupa hukum yang bermaksud
mengabdi kepada keadilan. Kita khayalkan saja bahwa hukum positif itu memenuhi
maksudnya yang mulia itu sesungguhnya dengan demikian kita dapat menyebutkan
berikut-berikut hukum positif itu sebagian lambang-lambang dari pada ide hukum
hal itu tidak berarti bahwa seluruh hukum positif benar-benar berorientasi
kepada ide hukum; perumusan itu mengandung kemungkinan bahwa akan terdapat
jenis-jenis hukum positif benar-benar berorientasi kepada ide hukum; perumusan
itu mengandung kemungkinan bahwa akan terdapat jenis-jenis hukum positif juga
yang tidak memenuhi maksud itu. Akan tetapi kaedah hukum positif itu yang tidak
berorientasi kepada ide hukum tidak dapat dipandang sebagai lambangnya.
Kaedah-kaedah hukum itu harus dinyatakan dalam bentuk-bentuk zahiri, sehingga
bentuk itu dapat ditangkap dengan panca indera; tanda-tanda itu tidaklah
identik dengan kaedah, malahan tanda itu hanyalah lambang kaedah itu.
Sehubungan dengan hal itu, kita menemui suatu sifat baru, yakni pendapat
kita mengenai hukum. Maksudnya bahwa inti pengertian yang menentukan bahwa
kaedah-kaedah yang ditentukan adalah kaedah hukum, dan bahwa kaedah-kaedah lain
bukanlah kaedah hukum. Pengertian itu dapat dinamakan "paham-paham" /
der rechtbegrif”.
Jadi syarat tersebut dapat dirumuskan bahwasannya lambang hukum yang dapat
ditangkap oleh panca indera harus pula dengan hukum itu.
Sebagai ilustrasi, seringkali berdasarkan kebiasaan dapat dibuktikan apakah
suatu perbuatan adalah penjelmaan hukum atau bukan. Yang merupakan penjelmaan
hukum termasuk dalam “hukum kebiasaan”, sedangkan yang bukan merupakan
penjelmaan hukum atau kebiasaan-kebiasaan yang tidak diakui oleh hukum termasuk
dalam “kelaziman”.
Perbedaan antara perilaku sebagai penjelmaan hukum, dengan perilaku yang
dinilai kelaziman, haruslah dihubungkan pada ada atau tidak adanya paham hukum.
Baik hukum kebiasaan maupun kelaziman membebankan kehendaknya kepada
anggota-anggota masyarakat; keduanya memberikan aturan tingkahlaku kepada
manusia supaya ia menyesuaikan kelakuannya pada petunjuk-petunjuk itu, di
samping itu, keduanya dapat mempergunakan paksaan, supaya mereka yang ingkar
dalam memperhatikan perintahnya akan menyesuaikan diri kepada perintah-perintah
itu.
Perbedaannya, bahwa terhadap hukum kebiasaan dipertalikan “kuasa” (die macht) sedangkan terhadap kelaziman
tidak.
(Renungan
pernyataan/postulat ini, dan kondisionalkan dengan eksistensinya di Indonesia ?).
b. Kebiasaan
dan Atau Hukum Kebiasaan
Kebiasaan dapat
dipandang sebagai penjelmaan atau perwujudan hukum, oleh sebab itu kiranya
tepat apabila terhadapnya juga diistilahkan sebagai Hukum Kebiasaan.
Syarat-syarat
yang dapat membuktikan perilaku itu telah menjadi hukum kebiasaan ialah :
1.
Hendaknya
diperhatikan oleh yang berkepentinggan pada umumnya dan seringkali dihubungkan
perhatian dalam kurun waktu yang lama;
2.
Yang
berkepentingan harus sadar bahwa kelakuan mereka itu (kebiasaan itu) sesuai
dengan kehendak hukum; dan harus insaf bahwa mereka terikat kepada kebiasaan
(karena merupakan hukum).
Mengingat sifat
mengikatnya hukum kebiasaan tersebut, maka dalam kondisi seperti saat ini, di
mana disadari bersama bahwa bersamaan dengan kebiasaan maka telah melembaga
adanya undang-undang (hukum tertulis) yang nota bene merupakan tolok ukur utama
dalam memahami suatu tatanan hukum, dengan kata lain dalam kondisi tertentu,
kebiasaan dapat disederajadkan dengan undang-undang, sehingga sering kali
pemahaman ini di samping akan bersifat melengkapi juga memungkinkan menimbulkan
kondisi pertikaian perwujudan hukum diantara kebiasaan disatu sisi dan
undang-undang di sisi lain. Terhadap kondisi ini. Dalam ilmu hukum dikenal adanya
:
1.
Consuetudo praeter legem (kebiasaan yang menambah
atau menjelaskan undang-undang); tetapi janganlah undang-undang dipandang
sebagai kebiasaan-kebiasaan yang dikitabkan, melainkan perlu dihayati bahwa
hasil pekerjaan pembuat undang-undang merupakan perwujudan dari hukum itu
sendiri (di samping kebiasaan terdapat bentuk-bentuk hukum lain);
2.
Consuetudo praeter legem (kebiasaan yang
bertentangan dengan undang-undang); kebiasaan yang bertentangan dengan
undang-undang dapat mengakibatkan undang-undang dihapuskan (Consuetudo aobrogatoria), ataupun bahwa undang-undang itu tidak
diperhatikan lagi.
4.
HUKUM dan INTERDISIPLIN ILMU
Di dalam batasan
disiplin, dibedakan antara disiplin
analitis (merupakan sistem ajaran yang menganalisa memahami dan menjelaskan
gejala-gejala yang dihadapi) dan disiplin
perspektif (merupakan sistem ajaran yang menentukan apakah yang seyogyanya
atau yang seharusnya dilakukan di dalam menghadapi kenyataan tertentu).
Dari batasan
tentang disiplin tersebut maka dapat dipahami bahwasannya disiplin hukum
(sebagai sistem ajaran mengenai kenyataan atau gejala-gejala hukum yang ada dan
hidup di tengah pergaulan) merupakan
disiplin perspektif, yang berusaha menentukan apa yang seyogyanya, seharusnya
dan patut dilakukan dalam menghadapi kenyataan.
Dengan melihat
kenyataan bekerjanya hukum di dalam masyarakat, maka ilmu hukum yang bersifat
perpektif tidak dapat “bekerja” sendiri, melainkan senantiasa interdisipliner
dengan berbagai ilmu lain, baik yang bersifat analitis maupun yang sama perspektif,
sebab untuk menjabarkan hukum dalam kehidupan masyarakat, serta kaedahnya yang
menetapkan apa yang seharusnya dengan sanksi yang mengikat, serta melindungi
hak dan kepentingan yang berhubungan benda-benda nyata yang bergerak maupun
benda-benda kondisional alamiah, maka hukum harus berdampingan dengan
interdisiplin ilmu.
Secara umum
(berdasarkan atas obyek penelitiannya) interdisiplin ilmu dikelompokkan ke
dalam:
·
Ilmu-ilmu
pengetahuan alam, yang berusaha menyelidiki seluruh lingkungan alam manusia
(seperti : Biologi, Kimia, Fisika, dsb);
·
Ilmu-ilmu
pengetahuan alam, yang berusaha menyelidiki seluruh aspek rasional manusia yang
hidup dalam kelompok atau masyarakat (seperti ; Sejarah, Ilmu Hukum, Ilmu
Ekonomi, Ilmu Politik, Sosiologi, Antropologi, dsb);
·
Ilmu-ilmu
kerohanian, yang berusaha menyelidiki aspek-aspek tertentu kebudayaan
masyarakat yang erat kaitannya dengan sistem nilai-nilai etik dan estetik.
No comments:
Post a Comment