HUKUM ACARA PTUN
EKSEKUSI PUTUSAN PTUN
Dosen : Dr. Fatkhurrohman.,SH.,MH
Disusun oleh :
Satrio Adi I
FAKULTAS
HUKUM
UNIVERSITAS
WIDYAGAMA MALANG
TAHUN
AKADEMIK 2014/2016
EKSEKUSI PUTUSAN PTUN
Sebagai negara
yang demokratis, Indonesia memiliki sistem ketatanegaraan dengan memiliki
lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Untuk mengontrol kekuasaan
eksekutif diperlukan lembaga yudikatif atau kehakiman. Salah satu bentuk
kontrol yudisial atas tindakan administrasi pemerintah adalah melalui lembaga
peradilan. Dalam konteks inilah maka Peradilan Tata Usaha Negara dibentuk
dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1986, yang kemudian dengan adanya tuntutan
reformasi di bidang hukum, telah disahkan Undang-Undang No. 9 Tahun 2004
tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 dan Undang-Undang No. 51
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986.
Lahirnya Peradilan
Tata Usaha Negara dapat disimpulkan merupakan tuntutan masyarakat Indonesia
yang merasa haknya sebagai warga negara dilanggar oleh pemerintah, selain itu
untuk mencegah terjadinya mal-administrasi, serta segala bentuk penyalahgunaan
wewenang oleh pemerintah. Namun dalam perkembangan dibentuknya Peradilan Tata
Usaha Negara di Indonesia, lemahnya kekuatan hukum Putusan PTUN membuat
masyarakat cemas akan kekuatan hukum dari putusan PTUN yang membawa angin
kedamaian bagi masyarakat yang dilanggar haknya oleh pemerintah. Masyarakat
menjadi ragu akan kekuatan hukum yang dimiliki oleh lembaga peradilan ini dalam
menegakkan keadilan.[1]
1.
Putusan
dan Pelaksanaannya
Putusan adalah hakikat peradilan, inti dan
tujuan dari segala kegiatan atau proses peradilan, memuat penyelesaian perkara
yang sejak proses bermula telah membebani pihak-pihak. Dari rangkaian proses
peradilan tidak satupun di luar putusan peradilan yang dapat menentukan hak
suatu pihak dan beban kewajiban pada pihak lain, sah tidaknya suatu tindakan
menurut hukum dan meletakkan kewajiban untuk dilaksanakan oleh pihak dalam
perkara. Di antara proses peradilan hanya putusan yang menimbulkan konsekuensi
krusial kepada para pihak. Pada
pokoknya pelaksanaan putusan (executie) adalah cara dan syarat-syarat yang dipakai oleh alat-alat kekuasaan
negara guna membantu pihak yang berkepentingan
untuk menjalankan putusan hakim apabila pihak yang kalah tidak bersedia
mematuhi substansi putusan dalam waktu yang ditentukan.
Ketentuan Pasal 115 Undang-undang Nomor 5
Tahun 1986 membatasi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang
relevan dengan pelaksanaan, yaitu putusan yang telah diterima oleh para pihak
atau tidak diajukan lagi upaya hukum banding atau kasasi. Namun ada kalangan
yang berpendapat bahwa ketentuan ini terlalu sempit karena penetapan penundaan
pelaksanaan keputusan pemerintah ada kalanya juga perlu dilaksanakan, apabila
penetapan tersebut diabaikan oleh pihak yang dituju.[2]
Putusan hakim menurut Sudikno Mertodikusumo adalah suatu pernyataan yang oleh
hakim, sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di
persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau
sengketa antara para pihak.[3]
Memperhatikan batasan putusan peradilan,
dihubungkan dengan batasan sengketa administrasi dalam Undang-undang Nomor 51
Tahun 2009, yaitu sengketa administrasi atau Tata Usaha Negara (TUN)
berdasarkan Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 adalah sengketa
yang timbul dalam sengketa Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum
perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di
daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk
sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dapat disimpulkan bahwa putusan badan
peradilan administrasi adalah pernyataan oleh hakim peradilan yang berwenang
memutus dan menyelesaikan sengketa administrasi antara orang atau badan hukum
perdata dengan pemerintah, diucapkan pada sidang terbuka untuk umum.
2.
Eksekusi
: Pengertian dan Macam-Macamnya
Eksekusi adalah aturan tentang cara dan
syarat-syarat yang dipakai oleh perlengkapan negara guna membantu pihak yang
berkepentingan untuk menjalankan putusan hakim apabila pihak yang kalah tidak
bersedia mematuhi isi putusan dalam waktu yang ditentukan. Eksekusi dapat
diartikan suatu tindakan lanjut dalam hal melaksanakan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht).[4]
Eksekusi putusan pengadilan adalah
pelaksanaan putusan pengadilan oleh atau dengan bantuan pihak luar dari para
pihak. Hal-hal yang berkaitan dengan eksekusi adalah pembatalan Surat, keputusan
yang diikuti dengan rehabilitasi, sanksi administratif dan eksekusi putusan
untuk membayar sejumlah uang (dwangsom). Untuk eksekusi sendiri terdapat
berbagai macam-macam yakni :
a.
Eksekusi
Otomatis
Eksekusi
otomatis terdapat dalam Pasal 116 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun
1986 dan tidak diubah oleh Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 dan oleh
Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009. Berdasarkan perintah Ketua Pengadilan yang
mengadilinya dalam tingkat pertama salinan putusan pegadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat
tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat selambat-lambatnya dalam waktu 14
(empat belas) hari setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Dalam Undang-undang
Nomor 51 Tahun 2009 ayat (1) ketentuan waktu 14 (empat belas) hari diubah
menjadi 14 (empat belas) hari kerja.[5]
Putusan
yang mewajibkan kepada pejabat atau badan pemerintah untuk mencabut Keputusan
Tata Usaha Negara (KTUN) pada dasarnya memerlukan pelaksanaan. Namun Pasal 116
ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004
memberikan penyelesaian secara otomatis, yaitu apabila dalam waktu 4 (empat)
bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap dikirimkan kepada pihak tergugat
dan tergugat tidak melaksanakan pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN)
yang telah dinyatakan batal tersebut, maka KTUN tersebut tidak mempunyai kekuatan
hukum tetap lagi.[6]
Penyelesaian
otomatis ini dipertahankan oleh Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009. Akan tetapi
ketentuan waktu 4 (empat) bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap
dikirimkan dan tergugat tidak melaksanakan pencabutan obyek sengketa, maka KTUN
tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum lagi oleh Undang-undang Nomor 51 Tahun
2009 diubah menjadi “setelah 60 (enam puluh) hari kerja diterima”, tergugat
tidak melaksanakan pencabutan KTUN yang bersangkutan maka obyek yang
disengketakan tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
Menurut
Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN),
Ketua Pengadilan perlu membuat surat yang menyatakan KTUN yang dinyatakan batal
atau tidak sah oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tidak
lagi mempunyai kekuatan hukum. Surat tersebut dikirimkan kepada para pihak oleh
Panitera dengan surat tercatat yang pelaksanaannya dilakukan oleh juru sita.[7]
Sesuai sifat dari KTUN masih perlu mempublikasikan pernyataan tersebut agar
masyarakat mengetahui bahwa KTUN yang bersangkutan sudah tidak berkekuatan
hukum lagi.
b.
Eksekusi
Hierarkis
Eksekusi
hierarkis diatur oleh Pasal 116 ayat (3), (4) dan (5) Undang-undang Nomor 5
Tahun 1986 dan tidak lagi diterapkan setelah disahkannya Undang-undang Nomor 9
Tahun 2004. Ditentukan bahwa dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan
kewajibannya melaksanakan pencabutan KTUN dan menerbitkan KTUN yang baru atau
menerbitkan KTUN dalam hal obyek gugatan fiktif negatif dan kemudian setelah 3
(tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat
mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan, agar memerintahkan tergugat
melaksanakan putusan pengadilan tersebut.[8]
Jika
tergugat masih tidak mau melaksanakannya (berdasarkan Pasal 116 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986), Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada
instansi atasannya menurut jenjang jabatan. Instansi atasan dalam waktu 2 (dua)
bulan setelah menerima pemberitahuan dari Ketua Pengadilan harus sudah
memerintahkan pejabat tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut (lihat
Pasal 116 ayat (5) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986). Dalam hal instansi atasan
dimaksud tidak mengindahkannya maka Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada
Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan
pejabat yang bersangkutan melaksanakan putusan Pengadilan (lihat Pasal 116 ayat
(6) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986). Unsur eksekusi hierarkis kembali muncul
dalam Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009, pada Pasal 116 ayat (6).[9]
Ketua
Pengadilan diharuskan untuk mengajukan hal ketidaktaatan pejabat tergugat atau
termohon eksekusi kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah
tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan.
Di samping itu juga mengajukannya kepada lembaga perwakilan rakyat untuk
menjalankan fungsi pengawasan.
c.
Eksekusi
Upaya Paksa
Selama
berlakunya mekanisme eksekusi hierarkis tingkat keberhasilan pelaksanaan
putusan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara relatif rendah, yaitu 30
sampai 40 persen. Dengan lahirnya mekanisme “upaya paksa” ini, banyak pihak
yang menaruh harapan bahwa instrumen ini akan dapat memberikan sumbangan yang
signifikan bagi efektivitas pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara di masa
mendatang. Pembaharuan Pasal 116 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dengan ayat
(3) sampai dengan ayat (6) Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 mengubah mekanisme
pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dari “eksekusi hierarkis”
menjadi “upaya paksa”.
Perubahan
ini adalah sebagai koreksi terhadap lemahnya kekuasaan (power) badan
peradilan yang memberikan peraturan perundang-undangan dan dinilai tidak mampu
memberikan tekanan kepada pihak pejabat atau badan pemerintah untuk
melaksanakan putusan. Ditentukan pada ayat (3) pasal 116 Undang-undang Nomor 9
Tahun 2004 bahwa dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya
mencabut Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dan menerbitkan KTUN yang baru atau
menerbitkan KTUN dalam hal obyek gugatan fiktif negatif dan kemudian setelah 3
(tiga) bulan sejak putusan disampaikan kepada pihak tergugat (menurut
Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009, 90 (Sembilan puluh) hari kerja sejak
diterima) dan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, penggugat mengajukan
permohonan kepada Ketua Pengadilan yang mengadili pada tingkat pertama agar
memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut. Perubahan
Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 pada dasarnya tidak mengubah cara upaya paksa
ini.[10]
Setelah
Ketua Pengadilan memerintahkan untuk melaksanakan putusan (Pasal 116 ayat (4)
dan (5) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009)
ternyata tergugat tidak bersedia melaksanakannya, maka terhadap pejabat yang
bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa “pembayaran sejumlah uang paksa” dan/
atau “sanksi administratif” dan pejabat yang tidak melaksanakan putusan
pengadilan sebagaimana dimaksud “diumumkan pada media massa cetak setempat oleh
Panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan tersebut”.
3.
Eksekusi
Putusan dalam Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara
Terkait dengan
pelaksanaan putusan peradilan administrasi, dalam UU PTUN mekanisme pelaksanaan
putusan juga telah diubah selama tiga kali. Pengaturannya sendiri diatur dalam
pasal 116. Berikut adalah perbandingan antara pasal 116 mengenai pelaksanaan
putusan pengadilan.
A.
Dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
Adapun
mekanisme Eksekusi Putusan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana
diatur dalam Pasal 116 adalah[11]
:
(1) Salinan
putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan
kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat atas
perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama
selambat-lambatnya dalam waktu empat
belas hari;
(2) Dalam
hal empat bulan setelah putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dikirimkan tergugat
tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9)
huruf a, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan itu tidak mempunyai
kekuatan hukum lagi.
(3) Dalam
hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan c, dan kemudian setelah tiga bulan ternyata kewajibannya tersebut
tidak dilaksanakannya, maka penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua
Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), agar Pengadilan memerintahkan
tergugat melaksanakan putusan tersebut;
(4) Jika tergugat masih tidak mau melaksanakannya, ketua
Pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang
jabatan;
(5) Instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4),
dalam waktu dua bulan setelah pemberitahuan dari Ketua pengadilan harus sudah
memerintahkan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) melaksanakan putusan
Pengadilan tersebut;
(6) Dalam hal instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (4), tidak mengindahkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5),
maka Ketua Pengadilan mengajukan hal in kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan
pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan
pengadilan tersebut.
Pelaksanaan
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam UU ini dikenal ada 2
(dua) jenis eksekusi putusan, yaitu: eksekusi putusan
yang berisi kewajiban sebagaimana yang
dimaksud dalam ketentuan Pasal 97 ayat (9) Sub
a, yakni (a) Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan, dan eksekusi putusan yang berisi kewajiban
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 97 ayat
(9) Sub b dan c Undang-undang Nomor 5 Tahun
1986, yakni (b) pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara
yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru, atau
(c) penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pada
Pasal 3.[12]
a) Mekanisme
Eksekusi melalui Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang Bersangkutan
(Disengketakan).
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang berisi kewajiban
Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara kepada Tergugat, maka diterapkanlah
eksekusi putusan menurut ketentuan Pasal 116 ayat (2) Undang-undang Nomor 5
Tahun 1986 yaitu 4 (empat) bulan setelah putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1)
dikirimkan, tergugat tidak melaksanakan kewajibannya, maka Keputusan Tata Usaha
Negara yang disengketakan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
Philipus M. Hadjon menyebut mekanisme eksekusi ini sebagai
eksekusi otomatis. Dikatakan otomatis oleh karena apabila dikaitkan dengan
prinsip keabsahan (rechtmatigheid) tindakan Pemerintah, dalam hal ini
Keputusan Tata Usaha Negara di mana prinsip tersebut terkait dengan batas
kepatuhan kepada hukum, maka keputusan hukum yang tidak sah, dengan sendirinya
tidak mempunyai kekuatan mengikat dan dengan demikian tidak ada kewajiban untuk
memenuhi keputusan yang tidak sah dan dengan demikian pula tidak perlu adanya
eksekusi putusan, kecuali yang menyangkut kewajiban tertentu yang harus
dilaksanakan sehubungan dengan dinyatakan tidak sahnya Keputusan Tata Usaha
Negara.
b) Mekanisme Eksekusi
Melalui Instansi Atasan
Mekanisme eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara melalui
Instansi Atasan diterapkan apabila adanya putusan yang berisi kewajiban
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 97 ayat (9) sub b dan c, yakni (b)
pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan
Keputusan Tata Usaha Negara yang baru; atau (c) penerbitan Keputusan Tata Usaha
Negara dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3, Pasal 97 ayat (10), yakni
Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dapat disertai pembebanan ganti
rugi, dan Pasal 97 ayat (11), dalam hal putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (8) menyangkut kepegawaian, maka disamping kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam ayat (9) dan ayat (10), dapat disertai pemberian rehabilitasi,
maka diterapkanlah ketentuan eksekusi putusan menurut ketentuan Pasal 116 ayat
(3) sampai ayat (6) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, yaitu dalam hal Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara ditetapkan harus melaksanakan kewajiban
sebagaimana tersebut dalam amar putusan untuk menerbitkan Keputusan Tata Usaha
Negara, tetapi ternyata setelah 3 (tiga) bulan lewat, dan kewajiban itu tidak
dipenuhi, maka penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan yang
berwenang agar pengadilan memerintahkan tergugat untuk melaksanakan putusan
pengadilan tersebut.
Jika tergugat masih tidak mau melaksanakannya, Ketua Pengadilan
mengajukan hal itu kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan. Instansi
atasan ini dalam waktu 2 (dua) bulan setelah
menerima pemberitahuan dari Ketua Pengadilan harus sudahmemerintahkan
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berkewajiban menerbitkan Keputusan
Tata Usaha Negara untuk melaksanakan Putusan Pengadilan. Apabila ternyata
instansi atasan tersebut tidak mengindahkan pemberitahuannya, maka Ketua Pengadilan
mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah
tertinggi untuk memerintahkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut
melaksanakan Putusan Pengadilan yang bersangkutan. Cara eksekusi seperti ini
merupakan mekanisme “eksekusi hierarkis”.
Campur tangan Presiden dalam eksekusi putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara memang diperlukan mengingat eksekusi pada Pengadilan tersebut
tidaklah semudah dalam eksekusi putusan badan Peradilan Umum (perdata maupun
pidana). Presiden sebagai kepala pemerintahan bertanggung jawab terhadap
pembinaan Pegawai Negeri atau Aparatur Pemerintahan, tentunya juga bertanggung jawab
agar setiap aparatur pemerintahan dapat menaati semua peraturan
perundang-undangan yang berlaku termasuk mentaati putusan pengadilan sesuai
dengan prinsip negara hukum yang kita
B.
Dalam
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004
Adapun
mekanisme Eksekusi Putusan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 sebagaimana
diatur dalam Pasal 116 adalah[13]
:
(1) Salinan
putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan
kepada para pihak dengan surat oleh panitera pengadilan setempat atas perintah
Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya
dalam waktu 14 (empat belas) hari;
(2) Dalam
hal 4 (empat) bulan setelah
Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikirimkan, tergugat
tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9)
huruf a, Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai
kekuatan hukum lagi;
(3) Dalam
hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 97 ayat (9) ayat (9) huruf b dan c, dan kemudian setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban
tersebut tidak dilaksanakannya, penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua
Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pengadilan memerintahkan tergugat
melaksanakan putusan pengadilan tersebut;
(4) Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan
Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat
bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan
atau sanksi adminsitratif;
(5) Pejabat
yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dimumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Dalam
ketentuan Pasal 116 ayat (4) disebutkan sanksi pembayaran
uang paksa dan sanksi administratif. Berkaitan dengan
pengertian sanksi tersebut, P. de Haan
mengemukakan sanksi merupakan penerapan alat kekuasaan
(machtsmiddelen) sebagai reaksi atas pelanggaran norma hukum administrasi. Ciri khas penegakan hukum adalah
paksaan (dwang). Sedangkan penerapan
sanksi merupakan langkah represif untuk melaksanakan
kepatuhan. Penegakan hukum administrasi seringkali diartikan sebagai penerapan sanksi administrasi.
Sanksi-sanksi merupakan bagian penutup yang penting di dalam hukum, juga dalam
hukum administrasi.
Pada
umumnya tidak ada gunanya memasukkan kewajiban-kewajiban atau larangan-larangan
bagi para warga di dalam peraturan perundang-undangan Tata Usaha Negara,
manakala aturan-aturan tingkah laku itu tidak dapat dipaksakan oleh Tata Usaha
Negara (dalam hal dimaksud diperlukan). Peran penting pada pemberian sanksi di
dalam hukum administrasi memenuhi hukum pidana. Bagi pembuat peraturan penting
untuk tidak hanya melarang tindakantindakan yang tanpa disertai izin, tetapi
juga terhadap tindakan-tindakan yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang dapat dikaitkan pada suatu izin, termasuk sanksi-sanksi
hukum administrasi yang khas, antara lain :
(1) Paksaan pemerintah (Bestuursdwang);
Paksaan nyata dirumuskan sebagai tindakan nyata untuk memindahkan,
mengosongkan, menghalang-halangi, memperbaiki pada keadaan semula apa yang
sedang dilakukan atau telah dilakukan yang bertentangan dengan
kewajiban-kewajiban yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan (Pasal
6.2.1 AWB : Algemene Wet Bestuursrecht).
(2) Uang paksa (dwangsom);
Uang paksa dikenakan sebagai alternatif untuk paksaan nyata.
(3) Denda administrasi;
Denda administrasi lebih
bersifat “condemnatoir” daripada sifat “reparatoir”. Untuk
mengenakan denda administrasi dibutuhkan ketentuan peraturan perundang-undangan
tentang wewenang untuk itu. Juga ketentuan tentang maksimum denda yang dapat
diterapkan.
(4) Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang menguntungkan (izin,
pembayaran, subsidi).
Pencabutan sebagai sanksi administrasi merupakan wewenang yang
melekat pada wewenang menetapkan Keputusan Tata Usaha Negara. Sifat pencabutan
sebagai sanksi, bisa reparatoir, bisa juga condemnatoir.
(5) Uang jaminan
Uang jaminan berkenaan dengan suatu keputusan yang menguntungkan,
misalnya izin. Uang jaminan dapat merupakan syarat bagi suatu izin dan uang
jaminan itu dinyatakan hilang apabila syarat yang diwajibkan dalam pemberian
izin ternyata tidak dipenuhi. Dikaitkan dengan suatu keputusan yang
menguntungkan (pemberian izin misalnya). Uang jaminan bersifat preventif
sedangkan dikaitkan dengan kompensasi kerugian, sifatnya “reparatoir”
dan dikaitkan dengan paksaan sifatnya “condemnatoir”.
(6) Bentuk-bentuk lain atau khusus
Bentuk lain atau khusus sanksi administrasi misalnya peringatan,
atau mengumumkan nama pelanggar.
Menyimak
hakikat dari keenam jenis sanksi administrasi di atas, dengan mengacu pada
konsep penegakan hukum administrasi, maka dapatlah dikemukakan bahwa sanksi
administrasi merupakan nstrument penegakan hukum administrasi yang dilakukan
oleh organ atau pejabat pemerintahan dalam menjalankan fungsi pemerintahan
(eksekutif) sebagai pelaksana perundang-undangan bidang hukum administrasi
tanpa harus melalui proses peradilan (parate executie). Kewenangan
Pengadilan Tata Usaha Negara hanya melaksanakan fungsi yudisiil, karenanya
teknis eksekusi putusan berupa penerapan sanksi administrasi dalam praktek
dilakukan oleh organ atau pejabat pemerintahan yang mempunyai wewenang untuk
menerapkan sanksi administrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan (atau
peraturan dasarnya).
C.
Dalam
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
Adapun
mekanisme Eksekusi Putusan dalam Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 sebagaimana
diatur dalam Pasal 116 adalah :[14]
(1) Salinan
putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan
kepada para pihak dengan surat oleh panitera pengadilan setempat atas perintah
Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya
dalam waktu 14 (empat belas) hari
kerja;
(2) Apabila
setelah 60 (enam puluh ) hari kerja putusan
yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima tergugat tidak melaksanakan
kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat dalam pasal 97 ayat (9) huruf a
keputusan tata usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan
hukum lagi.
(3) Dalam
hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 97 ayat (9) ayat (9) huruf b dan c, dan kemudian setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja ternyata
kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat mengajukan permohonan
kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) agar Pengadilan
memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut;
(4) Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan
putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat
bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan
atau sanksi adminsitratif;
(5) Pejabat
yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimumkan pada media massa cetak
setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3).
(6) Disamping diumumkan pada media massa cetak setempat
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ketua pengadilan harus mengajukan hal ini
kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi untuk memerintahkan
pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan
rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan
(7) Ketentuan mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi
administratif, dan tata cara pelaksanaan pembayaran uang paksa dan/ atau sanksi
administrative diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Penyempurnaan
pengaturan dalam pasal diatas dilakukan agar pelaksanaan putusan dapat efektif
dilaksanakan oleh pemerintah (sebagai tergugat dalam Sengketa Tata Usaha
Negara). Mengingat kendala yang dialami di Indonesia bahwa putusan pengadilan
seringkali tidak dipatuhi oleh pemerintah. Meskipun putusan pengadilan belum
memperoleh kekuatan hukum tetap, para pihak yang berperkara dapat memperoleh
salinan putusan yang dibubuhi catatan panitera bahwa putusan tersebut belum
memperoleh kekuatan hukum tetap. Tenggang waktu 14 (empat belas) di hari
atas, dihitung sejak saat putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Apabila putusan Pengadilan berupa pengabulan gugatan (Pasal 97 ayat 7 huruf b
UU Peradilan TUN), maka kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara meliputi:
1.
Pencabutan Keputusan Tata
Usaha Negara yang bersangkutan (Pasal 97 ayat 8 huruf
2.
Pencabutan Keputussn Tata
Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan yang baru (Pasal 97
ayat 9 huruf b)
3.
Penerbitan Keputusan Tata
Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pada pasal 3 (Pasal 97 ayat 9 huruf
b)
4.
Membayar ganti rugi
(Pasal 97 ayat 910 jo Pasal 120)
5.
Melakukan rehabilitasi
(Pasal 97 ayat 11 jo Pasal 121)
Jika
dalam tenggang waktu 4 (empat) bulan setelah putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan tetap dikirimkan tergugat tidak melaksanakan kewajiban
untuk melakukan pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan, maka
Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan
hukum lagi. Manakala tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajbannya yang
berupa:
1. Pencabutan
Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan keputusan yang
baru
2. Penerbitan
Keputusan Tata Usaha Negara yang sebelumnya tidak ada (gugatan atas dasar Pasal
3)
Setelah
tenggang waktu 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak
dilaksanakannya, maka tindakan yang dapat dilakukan oleh penggugat ialah
mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (tingkat
pertama), agar Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan
Pengadilan tersebut. Berdasarkan UU No. 5 tahun 1986 (sebelum revisi) jika
tergugat masih tetap tidak mau melaksanakan kewajiban tersebut, Ketua
Pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang
jabatan. Instansi atasan yang bersangkutan dalam 2 (dua) bulan setelah menerima
pemberitahuan dan Ketua Pengadilan harus sudah memerintahkan pejabat (tergugat)
tersebut melaksanakan putusan Pengadilan tersebut. Dalam hal instansi atasan
tersebut tidak mengindahkan ketentuan tersebut di atas, maka Ketua Pengadilan
mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah
tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan Pengadilan
itu.
Setelah
dilakukan revisi melalui UU No. 9 Tahun 2004 terjadi perubahan pelaksanaan
putusan pengadilan. Pasal 116 ayat (4) UU No. 9 tahun 2004 menyatakan jika
tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa
berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif. Di samping
itu, selain yang diatur dalam Pasal 116 ayat (4), pada ayat (5) revisi
dinyatakan bahwa terhadap pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan
diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Panitera sejak tidak
terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Eksekusi
sebelum revisi lebih dipengaruhi self respect, karena kewenangan
melaksanakan putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap
sepenuhnya diserahkan badan atau pejabat yang berwenang tanpa ada kewenangan
menjatuhkan sanksi oleh pengadilan. Setelah dilakukan revisi, proses pelaksanaan
putusan pengadilan lebih memperlihatkan dipergunakannya system fixed
execution, yaitu eksekusi yang pelaksanaannya dapat dipaksakan oleh
pengadilan melalui instrument pemaksa yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 116 tersebut diatas, maka menurut Paulus Effendie Lotulung,
sesungguhnya ada dua jenis eksekusi yang kita kenal di peradilan tata usaha
Negara:[15]
1. Eksekusi
terhadap putusan pengadilan yang berisi kewajiban sebagaiman dimaksud dalam
Pasal 97 ayat (9) huruf a, yaitu kewajiban berupa pencabutan KTUN yang
bersangkutan.
2. Eksekusi
terhadap putusan pengadilan yang berisi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 97 (9) huruf b dan huruf c, yaitu :
huruf b
: pencabutan KTUN yang bersangkutan dan menerbitkan KTUN yang baru; atau huruf
c : penerbitan KTUN dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3.
Selanjutnya
Lotulung menjelaskan bahwa apabila terdapat adanya eksekusi jenis pertama, maka
diterapkanlah ketentuan Pasal 116 ayat (2), yaitu 4 bulan setelah putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dikirimkan, tergugat tidak melaksanakan kewajibannya, maka KTUN yang
disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Dengan demikian tidak
perlu lagi ada tindakan-tindakan ataupun upaya-upaya lain dari pengadilan,
misalnya surat peringatan dan sebagainya. Sebab KTUN itu dengan sendirinya akan
hilang kekuatan hukumnya. Cara eksekusi seperti ini disebut dengan eksekusi
otomatis.
Sebaliknya
apabila terdapat adanya eksekusi jenis kedua, maka diterapkanlah ketentuan
Pasal 116 ayat (3) sampai dengan ayat (6), yaitu dengan cara adanya surat
perintah dari ketua pengadilan yang ditujukan kepada pejabat TUN yang
bersngkutan untuk melaksanakan eksekusi putusan pengadilan tersebut, dan
apabila tidak ditaati, maka ketua pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi
atasan pejabat TUN tersebut menurut jenjang jabatan, yang dapat diteruskan
sampai ke Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi untuk
memerintahkna pejabat TUN tersebut melaksanakan putusan pengadilan itu. Cara
eksekusi seperti ini disebut dengan eksekusi hierarkis.
Dari mekanisme eksekusi
yang diatur dalam Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tersebut Lotulung,
berpendapat: Upaya paksa (dwangsom) dan sanksi administratif masih tidak
dapat berlaku secara efektif. Pasal 116 ada beberapa perubahan tetapi tidak
membawa implikasi apapun, ketentuan eksekusi dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun
1986 muncul lagi tetapi tidak berjenjang melainkan langsung ke Presiden.
Mengenai pengajuan kepada Presiden, saat ini ada arogansi terhadap pusat
sebagai konsekuensi dari otonomi daerah, misalnya dalam pemberhentian perangkat
desa tidak ada hubungan langsung antara mereka dengan Presiden. Dalam
pengaturan lebih lanjut dibuat dalam peraturan perundang-undangan, kemungkinan
ada dua: 1) peraturan perundang-undangan akan dibuat oleh eksekutif; 2) atau
sampai Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 ini diubah kembali tidak ada tindak
lanjutnya (pasal blanko).[16]
Dengan adanya ketentuan
ayat (7) Pasal 116 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009, Hakim Pengadilan Tata
Usaha Negara menjadi terikat di mana sebelumnya hakim dalam ptaktek dapat
menerapkan sendiri pembebanan uang paksa kepada Tergugat (Hakim Pengadilan Tata
Usaha Negara Semarang). Campur tangan Presiden dan Lembaga Perwakilan Rakyat
dalam eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara memang diperlukan mengingat
eksekusi pada Peradilan Tata Usaha Negara tidaklah semudah dalam eksekusi
putusan badan Peradilan Umum (perdata maupun pidana). Presiden sebagai kepala
pemerintahan bertanggungjawab terhadap pembinaan Pegawai Negeri atau Aparatur
Pemerintahan, tentunya juga bertanggung jawab agar setiap aparatur pemerintahan
dapat menaati semua peraturan perundang-undangan yang berlaku termasuk menaati
putusan pengadilan sesuai dengan prinsip negara hukum yang kita anut.
Lembaga Perwakilan
Rakyat adalah lembaga yang menerima laporan pertanggungjawaban tugas Pejabat
yang bukan Pegawai Negeri Sipil atau dengan kata lain Pejabat Politik seperti
Bupati, Walikota, Gubernur dan Presiden. Dengan dicantumkannya ketentuan
pelaporan kepada Lembaga Perwakilan. Rakyat dalam menjalankan fungsi
pengawasan, maka terhadap Pejabat Tata Usaha Negara yang bukan PNS atau Pejabat
politik apabila tidak melaksanakan putusan Peradilan Tata Usaha Negara dapat
dikenakan sanksi administratif.
Selanjutnya terhadap
perubahan Undang-undang PERATUN ini, Agus Budi Susilo, berpendapat sebagai
berikut: Meskipun ada eksekusi hirarkhis (diajukan langsung kepada Presiden
selaku Kepala Pemerintahan atau eksekutif) dan eksekusi politis (melalui DPR),
hal inipun masih dirasa belum efektif karena belum adanya batasan waktu kapan
seorang Presiden harus segera melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
tersebut, kalau diajukan ke DPR dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan, apa
saja yang menjadi kriterianya. Jadi untuk efektifitas Putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara dimasa yang akan datang, harus ada sanksi pidana seperti di Negara
Turki dan Mesir serta sanksi administrasi pencopotan jabatan yang diatur dalam
peraturan perundangundangan (Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang).[17]
Perubahan kedua terhadap
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang
diatur dalam Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009, dalam hal ini ketentuan Pasal
116 telah terjadi perubahan yang cukup berarti di bidang penegakan hukum
administrasi, terutama dengan tercantumnya pelaporan kepada Presiden sebagai
pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi dan lembaga perwakilan rakyat dalam melakukan
fungsi pengawasan terhadap pejabat politik. Perubahan tersebut secara yuridis
formal telah memberi kekuatan atau upaya pemaksa bagi Pengadilan untuk
merealisasikan putusannya.
Akan tetapi ketentuan
tersebut, baru merupakan landasan atau prinsip-prinsip pokok, karena mekanisme
pengaturannya masih belum jelas atau masih harus menunggu pengaturan lebih
lanjut dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai mekanisme dan tata
cara pelaksanaannya.[18] Hal ini tergantung dari
kemauan pihak pemerintah atau eksekutif untuk segera menerbitkan ketentuan
mengenai mekanisme dan tata cara pembayaran uang paksa dan/ atau sanksi
administratif tersebut, jangan sampai hanya merupakan ketentuan kosong yang
tidak dapat dilaksanakan, karena tidak atau belum juga diterbitkannya peraturan
perundang-undangan itu.
Adanya pengaturan lebih
lanjut yang tertuang dalam ayat (7) Pasal 116 Undang-undang Nomor 51 Tahun
2009, mengakibatkan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara menjadi terikat dan
tidak bebas lagi untuk menemukan dan menciptakan hukum atau mengambil
langkah-langkah inovatif melalui pertimbangan putusannya sesuai dengan
perkembangan hukum dan rasa keadilan. Di samping itu dalam Undang-undang Nomor
5 Tahun 1986, Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 51 Tahun
2009 tidak tercantum ketentuan mengenai kewajiban penggugat untuk melaporkan
kepada Pengadilan Tata Usaha Negara bilamana putusan menurut ketentuan Pasal
116 ayat (2) tidak direalisir atau tidak dilaksanakan oleh Tergugat.
Begitu juga sebaliknya
tidak ada ketentuan dalam Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara yang
mewajibkan Tergugat untuk melaporkan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara
tentang sudah direalisirnya putusan menurut ketentuan Pasal 116 ayat (2). Tidak
tercantumnya ketentuan tersebut dalam Undang-undang tentang Peradilan Tata
Usaha Negara dapat mempersulit Pengadilan Tata Usaha Negara untuk mengetahui
dan mengawasi putusan yang berisi kewajiban pencabutan Keputusan Tata Usaha
Negara yang bersangkutan sebagaimana dirumuskan pada Pasal 97 ayat (9) sub a.
Beberapa permasalahan
dalam implementasi Pasal 16 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tersebut dapat
timbul dan harus dipecahkan jalan keluarnya, meskipun adanya revisi Pasal 116
dapat dikatakan merupakan kemajuan dalam pengembangan kepastian hukum bagi
pelaksanaan (eksekusi) suatu Putusan Peradilan Tata Usaha Negara. Menurut
Husban, pemecahannya bisa dimulai dengan memberdayakan fungsi dan tugas Juru
Sita untuk menyampaikan surat pemberitahuan putusan yang telah berkekuatan
hukum tetap secara langsung kepada Tergugat guna kepastian hukum kapan
diterimanya pemberitahuan tersebut dan pemerintah harus segera menerbitkan
peraturan perundang-undangan mengenai tata cara dan pelaksanaan pembayaran uang
paksa atau sanksi administrasi (Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang).
D. Hambatan
Dalam Eksekusi Putusan PTUN
Sebetulnya apa
sajakah yang menjadi kendala sehingga suatu Putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara menjadi sulit untuk dieksekusi? Beberapa kendalanya adalah:
1.
Tidak adanya lembaga eksekutorial khusus atau lembaga sanksi
yang berfungsi untuk melaksanakan putusan.
Peradilan Umum memiliki lembaga paksa, yakni eksekusi riil
oleh Kepaniteraan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan untuk perkara perdata
(Pasal 195 s/d Pasal 208 HIR dan Pasal 1033 Rv). Dalam putusan perkara pidana,
Pasal 270 KUHAP menyebutkan “Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa,yang untuk itu panitera
mengirimkan salinan surat putusan kepadanya”.[19]
Di peradilan Militer adalah Oditur Militer yang berkewajiban untuk mengeksekusi
putusan Hakim Militer. Peradilan Agama, menurut ketentuan pasal 95, 98 dan 103
UU No. 7 Tahun 1989 juga sudah dapat melaksanakan secara paksa (Eksekusi) atas
penetapan dan putusannya termasuk melaksanakan segala macam bentuk sita (beslag).[20]
2.
Hambatan
Eksekusi Putusan Disebabkan Amar Putusan.
Amar
atau diktum adalah upaya dalam musyawarah hakim yang diputuskan secara final
oleh Pengadilan. Diktum merupakan putusan Pengadilan yang sebenarnya dianggap
sebagai titik akhir terpenting bagi para pihak yang bersengketa. Pada diktum
inilah letak kulminasi dari seluruh proses persidangan yang telah berjalan.
Amar atau diktum putusan merupakan jawaban terhadap petitum dari gugatan
Penggugat. Isi atau amar putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, pada intinya
adalah:
a.
Gugatan
dinyatakan ditolak,
b.
Gugatan
dikabulkan,
c.
Gugatan
tidak diterima,
d.
Gugatan
gugur.
Hal
gugatan dikabulkan, hakim dapat membebankan suatu kewajiban kepada Tergugat.
Kewajiban yang dibebankan dan akan direalisasikan atau dilaksanakan oleh
Tergugat atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah:
a.
Pencabutan
Keputusan Tata Usaha Negara (Pasal 97 ayat (9) huruf a),
b.
Pencabutan
Keputusan Tata Usaha Negara dan Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara baru
(Pasal 97 ayat (9) huruf b),
c.
Penerbitan
Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan Pasal 3 (Pasal 97 ayat
(9) huruf c),
d.
Dapat
disertai pembebanan ganti rugi dan dalam sengketa kepegawaian disertai
kewajiban rehabilitasi dan kompensasi.
Berdasarkan
pada uraian tersebut, maka amar putusan pada Pengadilan Tata Usaha Negara yang
mengabulkan gugatan hanya dibatasi sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 97
ayat (8) sampai dengan ayat (10) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dan dapat
dirumuskan sebagai berikut:
a.
Mengabulkan
gugatan penggugat sebagian atau seluruhnya;
b.
Menyatakan
batal Keputusan Tata Usaha Negara (menyebutkan Keputusan Tata Usaha Negara)
yang dikeluarkan Tergugat;
c.
Mewajibkan
Tergugat (menyebutkan kewajiban yang dibebankan kepada Tergugat);
d.
Menghukum
Tergugat membayar biaya perkara.
Menurut
Husban, kesalahan dalam amar putusan dilakukan oleh hakim dalam menetapkan amar
putusan yang mengabulkan gugatan keluar dari apa yang telah ditentukan dalam
Pasal 97 ayat (8) sampai dengan ayat (10) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
tersebut, sehingga sulit untuk dilakukannya pelaksanaan eksekusi (Hakim
Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang).
3.
Rendahnya tingkat kesadaran pejabat Tata Usaha Negara dalam
menaati putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
Pejabat Tata Usaha Negara seringkali tidak menaati hukum,
karena biasanya seseorang mematuhi hukum dikarenakan ia takut sanksi yang akan
dikenakan apabila ia melanggar hukum atau karena ia merasa
kepentingan-kepentingannya akan terjamin apabila ia menaati hukum, atau karena
ia merasa hukum yang berlaku sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam
dirinya. Dalam hal ini, pihak yang kalah dalam sengketa tentunya akan merasa
bahwa kepentingannya tidak terjamin bila ia menaati putusan pengadilan TUN,
sehingga ia lebih memilih untuk tidak mematuhi putusan pengadilan tersebut.
Tidak adanya sanksi juga membuat pejabat TUN tidak merasa
takut apabila ia tidak menjalankan putusan pengadilan itu. Adanya kepentingan/interest
pribadi pejabat eksistensi keputusan TUN yang diterbitkannya dan lemahnya
tingkat kesadaran hukum Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah sangat
besar pengaruhnya terhadap dipatuhi atau tidaknya putusan Hakim Peradilan Tata
Usaha Negara, karena secara normatif eksekusi putusan Hakim Peratun lebih
menyandarkan pada kerelaan Pejabat yang bersangkutan untuk melaksanakannya (floating
execution). Dengan hanya menyandarkan pada kerelaan, tentu banyak pejabat
yang tidak rela bila harus memenuhi putusan, sehingga memilih untuk tidak
mematuhi putusan.[21]
4.
Tidak adanya pengaturan yang lebih tegas mengenai pelaksanaan
putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
Ketentuan mengenai eksekusi putusan PTUN telah dimuat dalam
pasal 116 UU Nomor 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 jo UU No. 51 Tahun 2009,
yang menyebutkan bahwa pengadilan dapat meminta atasan pejabat TUN yang
bersangkutan atau bahkan presiden untuk ‘memaksa’ tergugat melaksanakan putusan
pengadilan. Hal ini tentu saja tidak dibolehkan terjadi sering – sering karena
apabila presiden terlalu sering campur tangan dalam urusan pemaksaan pelaksanaan
putusan PTUN maka dikhawatirkan presiden akan kehilangan wibawa sebagai kepala
Pemerintahan.
Eksekusi Putusan Pengadilan Tata Usaha pada intinya hanya
ditekankan pada rasa self respect dan kesadaran hukum dari pejabat Tata
Usaha Negara untuk melaksanakan putusan hakim dengan sukarela tanpa adanya
upaya pemaksaan oleh aparat penegak hukum, sebagai eksekutor putusan Pengadilan
Tata Usaha Negara.
5.
Hambatan
Eksekusi Putusan Disebabkan Pejabat Tata Usaha Negara adalah Kepala Daerah yang
Kedudukannya Sebagai Pejabat Politik.
Kepala
Daerah bukanlah jabatan karier, oleh karena itu terhadap kepala daerah tidak
berlaku ketentuan hukum disiplin yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Hubungan hirarkis efektif apabila berkaitan dengan pengenaan sanksi dalam
hubungan hirarkis. Sebagai pejabat politik, seharusnya pelaksanaan eksekusi
putusan Pengadilan Tata Usaha Negara melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) sebagai lembaga kontrol untuk dikenakan sanksi.
Dalam
Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, ketentuan pelaporan kepada
Lembaga Perwakilan Rakyat dalam rangka fungsi pengawasan telah dicantumkan,
akan tetapi permasalahannya tidak selesai sampai di situ, bagaimana bila
pejabat politik tersebut masih tidak melaksanakan putusan. Oleh karena itu agar
lebih efektif putusan Peradilan Tata Usaha Negara terhadap pejabat politik ini
dilaksanakan, teknis pelaksanaan dan tata cara sanksi administrasi apa saja
yang diberikan harus segera diterbitkan dalam peraturan perundang-undangan.
6.
Hambatan
Eksekusi Putusan Disebabkan Pejabat Tata Usaha Negara yang Digugat Adalah
Pejabat yang Menerima Kewenangan Delegasi Semu.
Pasal
1 ayat (12) Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 yang menentukan bahwa: Tergugat
adalah badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan
berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang
digugat oleh orang atau badan hukum perdata. Sejak diterapkannya otonomi
daerah, seorang Kepala Dinas dalam menandatangani suatu Keputusan Tata Usaha
Negara, tidak lagi atas nama Kepala Daerah tetapi langsung Kepala Dinas yang
bersangkutan.[22]
Dengan
demikian apabila terjadi sengketa Tata Usaha Negara, yang menjadi tergugat adalah
Kepala Dinas yang bersangkutan. Andaikata gugatan dikabulkan, mungkinkah Kepala
Dinas yang bersangkutan melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tanpa
persetujuan Kepala Daerah. Hal inilah yang dimaksud dengan delegasi semu dalam
hubungan antara Kepala Daerah dan Kepala Dinas. Delegasi semu itu pun merupakan
salah satu hambatan selama ini dalam pelaksanaan eksekusi putusan Pengadilan
Tata Usaha Negara terhadap Pejabat Tata Usaha Negara Daerah, khususnya Kepala
Dinas.
Setelah
disahkannya Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Presiden
sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi yang menerima laporan
ketidaktaatan Tergugat melaksanakan putusan dapat memerintahkan Pejabat Tata
Usaha Negara untuk melaksanakan putusan Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga
diharapkan kendala yang menjadi penghambat pelaksanaan putusan Peradilan Tata
Usaha Negara dapat diatasi.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Buku
a. Sudikno Mertokusumo.
1988. Hukum Acara Perdata. Indonesia.
Yogyakarta : Liberty.
b. R. Supomo. 1984. Hukum
Acara Perdata Pengadilan Negeri. Jakarta: Pradnya Paramita.
c. Sjachran Basah. 1985. Eksistensi
dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia. Bandung : Alumni.
d. Paulus Effendie Lotulung.
2003. Mengkaji Kembali Pokok-Pokok
Pikiran Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara
Indonesia.
Jakarta : Lembaga Penelitian dan Pengembangan Hukum Administrasi Negara
e. Roihan A. Rasyid. 2001. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
2.
Jurnal/Artikel Ilmiah
a. Prildy Nataniel Boneka.
2014. Tinjauan Hukum Putusan Ptun Dalam Rangka Eksekusi Putusan Yang Telah
Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap. Manado : Jurnal Lex.Administratum Vol.II
b. Damar Bayu Kesumo. 2010.
Kajian Normatif Eksekusi Atas Putusan
PTUN. Surakarta : Penulisan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Negeri
Sebelas Maret Surakarta
c. Umar Dani. Konsep Sanksi dalam RUU-AP (Suatu Upaya
Penguatan Pelaksanaan Putusan PTUN).
Lihat artikel ilmiah pada website Pengadilan Tata Usaha Negara Palembang.
3. Website
peradilan-tata-usaha-negara-yang-mengakibatkan-hilangnya-wibawa-ptun/ diakses pada tanggal 25
Desember 2014
[1] Prildy Nataniel
Boneka. 2014. Tinjauan Hukum Putusan Ptun Dalam Rangka Eksekusi Putusan Yang Telah
Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap. Manado : Jurnal Lex.Administratum Vol.II
[2] Damar
Bayu Kesumo. 2010. Kajian Normatif
Eksekusi Atas Putusan PTUN.
Surakarta : Penulisan Hukum Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta
[3] Sudikno
Mertokusumo. 1988. Hukum Acara Perdata.
Indonesia. Yogyakarta : Liberty.
[4] R.
Supomo. 1984. Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri. Jakarta: Pradnya Paramita.
[5] Lihat
Undang-Undang PTUN
[6] Lihat
Undang-Undang PTUN
[7]
Sjachran Basah. 1985. Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi
di Indonesia. Bandung : Alumni.
[8] Ibid. Prildy Nataniel Boneka.
[9] Lihat
Undang-Undang PTUN
[11] Lihat
Pasal 116 Undang-Undang PTUN lama yakni UU PTUN Nomor 5 Tahun 1986
[12] Umar
Dani. Konsep Sanksi dalam RUU-AP (Suatu
Upaya Penguatan Pelaksanaan Putusan PTUN).
Lihat artikel ilmiah pada website Pengadilan Tata Usaha Negara Palembang
[13] Lihat
Pasal 116 Undang-Undang PTUN Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang PTUN Nomor 9 Tahun 2004
[14] Lihat
Pasal 116 Undang-Undang PTUN Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang PTUN Nomor 9 Tahun 2004 sebagaimana diubah kembali dengan
Undang-Undang PTUN Nomor 51 Tahun 2009
[15] Paulus
Effendie Lotulung. 2003. Mengkaji Kembali
Pokok-Pokok Pikiran Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia.
Jakarta : Lembaga Penelitian dan Pengembangan Hukum Administrasi Negara
[16] Ibid. Paulus Effendie Lotulung
[17] Damar
Bayukesumo. 2011. Kajian Normatif
Eksekusi Atas Putusan Peradilan Tata Usaha Negara. Penulisan Hukum. Surakarta : FH Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
[18] Lihat
ayat (7) Pasal 116 Undang-Undang PTUN Nomor 51 Tahun 2009
[19] Lihat
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP)
[20] Roihan
A. Rasyid. 2001. Hukum Acara Peradilan
Agama. Jakarta : Raja Grafindo
Persada. hlm. 207
[21] http://farahfitriani.wordpress.com/2011/10/30/hambatan-pelaksanaan-putusan-peradilan-tata-usaha-negara-yang-mengakibatkan-hilangnya-wibawa-ptun/ diakses
pada tanggal 25 Desember 2014
[22] Lihat
Undang-Undang PTUN Nomor 51 Tahun 2009
No comments:
Post a Comment