Sunday 20 November 2016

Eksistensi Eksekusi Putusan PTUN

HUKUM ACARA PTUN
EKSEKUSI PUTUSAN PTUN

Dosen : Dr. Fatkhurrohman.,SH.,MH



Disusun oleh :
Satrio Adi I





FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS WIDYAGAMA MALANG
TAHUN AKADEMIK 2014/2016




EKSEKUSI PUTUSAN PTUN
Sebagai negara yang demokratis, Indonesia memiliki sistem ketatanegaraan dengan memiliki lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Untuk mengontrol kekuasaan eksekutif diperlukan lembaga yudikatif atau kehakiman. Salah satu bentuk kontrol yudisial atas tindakan administrasi pemerintah adalah melalui lembaga peradilan. Dalam konteks inilah maka Peradilan Tata Usaha Negara dibentuk dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1986, yang kemudian dengan adanya tuntutan reformasi di bidang hukum, telah disahkan Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 dan Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986.
Lahirnya Peradilan Tata Usaha Negara dapat disimpulkan merupakan tuntutan masyarakat Indonesia yang merasa haknya sebagai warga negara dilanggar oleh pemerintah, selain itu untuk mencegah terjadinya mal-administrasi, serta segala bentuk penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah. Namun dalam perkembangan dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, lemahnya kekuatan hukum Putusan PTUN membuat masyarakat cemas akan kekuatan hukum dari putusan PTUN yang membawa angin kedamaian bagi masyarakat yang dilanggar haknya oleh pemerintah. Masyarakat menjadi ragu akan kekuatan hukum yang dimiliki oleh lembaga peradilan ini dalam menegakkan keadilan.[1]
1.      Putusan dan Pelaksanaannya
Putusan adalah hakikat peradilan, inti dan tujuan dari segala kegiatan atau proses peradilan, memuat penyelesaian perkara yang sejak proses bermula telah membebani pihak-pihak. Dari rangkaian proses peradilan tidak satupun di luar putusan peradilan yang dapat menentukan hak suatu pihak dan beban kewajiban pada pihak lain, sah tidaknya suatu tindakan menurut hukum dan meletakkan kewajiban untuk dilaksanakan oleh pihak dalam perkara. Di antara proses peradilan hanya putusan yang menimbulkan konsekuensi krusial kepada para pihak. Pada pokoknya pelaksanaan putusan (executie) adalah cara dan syarat-syarat yang dipakai oleh alat-alat kekuasaan negara guna membantu pihak yang berkepentingan untuk menjalankan putusan hakim apabila pihak yang kalah tidak bersedia mematuhi substansi putusan dalam waktu yang ditentukan.
Ketentuan Pasal 115 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 membatasi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang relevan dengan pelaksanaan, yaitu putusan yang telah diterima oleh para pihak atau tidak diajukan lagi upaya hukum banding atau kasasi. Namun ada kalangan yang berpendapat bahwa ketentuan ini terlalu sempit karena penetapan penundaan pelaksanaan keputusan pemerintah ada kalanya juga perlu dilaksanakan, apabila penetapan tersebut diabaikan oleh pihak yang dituju.[2] Putusan hakim menurut Sudikno Mertodikusumo adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.[3]
Memperhatikan batasan putusan peradilan, dihubungkan dengan batasan sengketa administrasi dalam Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009, yaitu sengketa administrasi atau Tata Usaha Negara (TUN) berdasarkan Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 adalah sengketa yang timbul dalam sengketa Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dapat disimpulkan bahwa putusan badan peradilan administrasi adalah pernyataan oleh hakim peradilan yang berwenang memutus dan menyelesaikan sengketa administrasi antara orang atau badan hukum perdata dengan pemerintah, diucapkan pada sidang terbuka untuk umum.
2.      Eksekusi : Pengertian dan Macam-Macamnya
Eksekusi adalah aturan tentang cara dan syarat-syarat yang dipakai oleh perlengkapan negara guna membantu pihak yang berkepentingan untuk menjalankan putusan hakim apabila pihak yang kalah tidak bersedia mematuhi isi putusan dalam waktu yang ditentukan. Eksekusi dapat diartikan suatu tindakan lanjut dalam hal melaksanakan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht).[4]
Eksekusi putusan pengadilan adalah pelaksanaan putusan pengadilan oleh atau dengan bantuan pihak luar dari para pihak. Hal-hal yang berkaitan dengan eksekusi adalah pembatalan Surat, keputusan yang diikuti dengan rehabilitasi, sanksi administratif dan eksekusi putusan untuk membayar sejumlah uang (dwangsom). Untuk eksekusi sendiri terdapat berbagai macam-macam yakni :
a.      Eksekusi Otomatis
Eksekusi otomatis terdapat dalam Pasal 116 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dan tidak diubah oleh Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 dan oleh Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009. Berdasarkan perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama salinan putusan pegadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Dalam Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 ayat (1) ketentuan waktu 14 (empat belas) hari diubah menjadi 14 (empat belas) hari kerja.[5]
Putusan yang mewajibkan kepada pejabat atau badan pemerintah untuk mencabut Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) pada dasarnya memerlukan pelaksanaan. Namun Pasal 116 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 memberikan penyelesaian secara otomatis, yaitu apabila dalam waktu 4 (empat) bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap dikirimkan kepada pihak tergugat dan tergugat tidak melaksanakan pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang telah dinyatakan batal tersebut, maka KTUN tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum tetap lagi.[6]
Penyelesaian otomatis ini dipertahankan oleh Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009. Akan tetapi ketentuan waktu 4 (empat) bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap dikirimkan dan tergugat tidak melaksanakan pencabutan obyek sengketa, maka KTUN tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum lagi oleh Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 diubah menjadi “setelah 60 (enam puluh) hari kerja diterima”, tergugat tidak melaksanakan pencabutan KTUN yang bersangkutan maka obyek yang disengketakan tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
Menurut Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN), Ketua Pengadilan perlu membuat surat yang menyatakan KTUN yang dinyatakan batal atau tidak sah oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tidak lagi mempunyai kekuatan hukum. Surat tersebut dikirimkan kepada para pihak oleh Panitera dengan surat tercatat yang pelaksanaannya dilakukan oleh juru sita.[7] Sesuai sifat dari KTUN masih perlu mempublikasikan pernyataan tersebut agar masyarakat mengetahui bahwa KTUN yang bersangkutan sudah tidak berkekuatan hukum lagi.
b.      Eksekusi Hierarkis
Eksekusi hierarkis diatur oleh Pasal 116 ayat (3), (4) dan (5) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dan tidak lagi diterapkan setelah disahkannya Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004. Ditentukan bahwa dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya melaksanakan pencabutan KTUN dan menerbitkan KTUN yang baru atau menerbitkan KTUN dalam hal obyek gugatan fiktif negatif dan kemudian setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan, agar memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut.[8]
Jika tergugat masih tidak mau melaksanakannya (berdasarkan Pasal 116 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986), Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan. Instansi atasan dalam waktu 2 (dua) bulan setelah menerima pemberitahuan dari Ketua Pengadilan harus sudah memerintahkan pejabat tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut (lihat Pasal 116 ayat (5) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986). Dalam hal instansi atasan dimaksud tidak mengindahkannya maka Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat yang bersangkutan melaksanakan putusan Pengadilan (lihat Pasal 116 ayat (6) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986). Unsur eksekusi hierarkis kembali muncul dalam Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009, pada Pasal 116 ayat (6).[9]
Ketua Pengadilan diharuskan untuk mengajukan hal ketidaktaatan pejabat tergugat atau termohon eksekusi kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan. Di samping itu juga mengajukannya kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.
c.       Eksekusi Upaya Paksa
Selama berlakunya mekanisme eksekusi hierarkis tingkat keberhasilan pelaksanaan putusan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara relatif rendah, yaitu 30 sampai 40 persen. Dengan lahirnya mekanisme “upaya paksa” ini, banyak pihak yang menaruh harapan bahwa instrumen ini akan dapat memberikan sumbangan yang signifikan bagi efektivitas pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara di masa mendatang. Pembaharuan Pasal 116 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dengan ayat (3) sampai dengan ayat (6) Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 mengubah mekanisme pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dari “eksekusi hierarkis” menjadi “upaya paksa”.
Perubahan ini adalah sebagai koreksi terhadap lemahnya kekuasaan (power) badan peradilan yang memberikan peraturan perundang-undangan dan dinilai tidak mampu memberikan tekanan kepada pihak pejabat atau badan pemerintah untuk melaksanakan putusan. Ditentukan pada ayat (3) pasal 116 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 bahwa dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya mencabut Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dan menerbitkan KTUN yang baru atau menerbitkan KTUN dalam hal obyek gugatan fiktif negatif dan kemudian setelah 3 (tiga) bulan sejak putusan disampaikan kepada pihak tergugat (menurut Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009, 90 (Sembilan puluh) hari kerja sejak diterima) dan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan yang mengadili pada tingkat pertama agar memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut. Perubahan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 pada dasarnya tidak mengubah cara upaya paksa ini.[10]
Setelah Ketua Pengadilan memerintahkan untuk melaksanakan putusan (Pasal 116 ayat (4) dan (5) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009) ternyata tergugat tidak bersedia melaksanakannya, maka terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa “pembayaran sejumlah uang paksa” dan/ atau “sanksi administratif” dan pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud “diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan tersebut”.
3.      Eksekusi Putusan dalam Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara
Terkait dengan pelaksanaan putusan peradilan administrasi, dalam UU PTUN mekanisme pelaksanaan putusan juga telah diubah selama tiga kali. Pengaturannya sendiri diatur dalam pasal 116. Berikut adalah perbandingan antara pasal 116 mengenai pelaksanaan putusan pengadilan.
A.    Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
Adapun mekanisme Eksekusi Putusan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana diatur dalam Pasal 116 adalah[11] :
(1)   Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari;
(2)   Dalam hal empat bulan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
(3)   Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan c, dan kemudian setelah tiga bulan ternyata kewajibannya tersebut tidak dilaksanakannya, maka penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), agar Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan tersebut;
(4)   Jika tergugat masih tidak mau melaksanakannya, ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan;
(5)   Instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dalam waktu dua bulan setelah pemberitahuan dari Ketua pengadilan harus sudah memerintahkan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) melaksanakan putusan Pengadilan tersebut;
(6)   Dalam hal instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), tidak mengindahkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), maka Ketua Pengadilan mengajukan hal in kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan tersebut.
Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam UU ini dikenal ada 2 (dua) jenis eksekusi putusan, yaitu: eksekusi putusan yang berisi kewajiban sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 97 ayat (9) Sub a, yakni (a) Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan, dan eksekusi putusan yang berisi kewajiban sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) Sub b dan c Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, yakni (b) pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru, atau (c) penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3.[12]
a)      Mekanisme Eksekusi melalui Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang Bersangkutan (Disengketakan).
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang berisi kewajiban Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara kepada Tergugat, maka diterapkanlah eksekusi putusan menurut ketentuan Pasal 116 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 yaitu 4 (empat) bulan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) dikirimkan, tergugat tidak melaksanakan kewajibannya, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
Philipus M. Hadjon menyebut mekanisme eksekusi ini sebagai eksekusi otomatis. Dikatakan otomatis oleh karena apabila dikaitkan dengan prinsip keabsahan (rechtmatigheid) tindakan Pemerintah, dalam hal ini Keputusan Tata Usaha Negara di mana prinsip tersebut terkait dengan batas kepatuhan kepada hukum, maka keputusan hukum yang tidak sah, dengan sendirinya tidak mempunyai kekuatan mengikat dan dengan demikian tidak ada kewajiban untuk memenuhi keputusan yang tidak sah dan dengan demikian pula tidak perlu adanya eksekusi putusan, kecuali yang menyangkut kewajiban tertentu yang harus dilaksanakan sehubungan dengan dinyatakan tidak sahnya Keputusan Tata Usaha Negara.
b)     Mekanisme Eksekusi Melalui Instansi Atasan
Mekanisme eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara melalui Instansi Atasan diterapkan apabila adanya putusan yang berisi kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 97 ayat (9) sub b dan c, yakni (b) pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru; atau (c) penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3, Pasal 97 ayat (10), yakni Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dapat disertai pembebanan ganti rugi, dan Pasal 97 ayat (11), dalam hal putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) menyangkut kepegawaian, maka disamping kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dan ayat (10), dapat disertai pemberian rehabilitasi, maka diterapkanlah ketentuan eksekusi putusan menurut ketentuan Pasal 116 ayat (3) sampai ayat (6) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, yaitu dalam hal Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana tersebut dalam amar putusan untuk menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara, tetapi ternyata setelah 3 (tiga) bulan lewat, dan kewajiban itu tidak dipenuhi, maka penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan yang berwenang agar pengadilan memerintahkan tergugat untuk melaksanakan putusan pengadilan tersebut.
Jika tergugat masih tidak mau melaksanakannya, Ketua Pengadilan mengajukan hal itu kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan. Instansi atasan ini dalam waktu 2 (dua) bulan setelah  menerima pemberitahuan dari Ketua Pengadilan harus sudahmemerintahkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berkewajiban menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara untuk melaksanakan Putusan Pengadilan. Apabila ternyata instansi atasan tersebut tidak mengindahkan pemberitahuannya, maka Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut melaksanakan Putusan Pengadilan yang bersangkutan. Cara eksekusi seperti ini merupakan mekanisme “eksekusi hierarkis”.
Campur tangan Presiden dalam eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara memang diperlukan mengingat eksekusi pada Pengadilan tersebut tidaklah semudah dalam eksekusi putusan badan Peradilan Umum (perdata maupun pidana). Presiden sebagai kepala pemerintahan bertanggung jawab terhadap pembinaan Pegawai Negeri atau Aparatur Pemerintahan, tentunya juga bertanggung jawab agar setiap aparatur pemerintahan dapat menaati semua peraturan perundang-undangan yang berlaku termasuk mentaati putusan pengadilan sesuai dengan prinsip negara hukum yang kita
B.     Dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004
Adapun mekanisme Eksekusi Putusan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 sebagaimana diatur dalam Pasal 116 adalah[13] :
(1)   Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat oleh panitera pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari;
(2)   Dalam hal 4 (empat) bulan setelah Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikirimkan, tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi;
(3)   Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) ayat (9) huruf b dan c, dan kemudian setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya, penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut;
(4)   Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan atau sanksi adminsitratif;
(5)   Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Dalam ketentuan Pasal 116 ayat (4) disebutkan sanksi pembayaran uang paksa dan sanksi administratif. Berkaitan dengan pengertian sanksi tersebut, P. de Haan mengemukakan sanksi merupakan penerapan alat kekuasaan (machtsmiddelen) sebagai reaksi atas pelanggaran norma hukum administrasi. Ciri khas penegakan hukum adalah paksaan (dwang). Sedangkan penerapan sanksi merupakan langkah represif untuk melaksanakan kepatuhan. Penegakan hukum administrasi seringkali diartikan sebagai penerapan sanksi administrasi. Sanksi-sanksi merupakan bagian penutup yang penting di dalam hukum, juga dalam hukum administrasi.
Pada umumnya tidak ada gunanya memasukkan kewajiban-kewajiban atau larangan-larangan bagi para warga di dalam peraturan perundang-undangan Tata Usaha Negara, manakala aturan-aturan tingkah laku itu tidak dapat dipaksakan oleh Tata Usaha Negara (dalam hal dimaksud diperlukan). Peran penting pada pemberian sanksi di dalam hukum administrasi memenuhi hukum pidana. Bagi pembuat peraturan penting untuk tidak hanya melarang tindakantindakan yang tanpa disertai izin, tetapi juga terhadap tindakan-tindakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang dapat dikaitkan pada suatu izin, termasuk sanksi-sanksi hukum administrasi yang khas, antara lain :
(1)   Paksaan pemerintah (Bestuursdwang);
Paksaan nyata dirumuskan sebagai tindakan nyata untuk memindahkan, mengosongkan, menghalang-halangi, memperbaiki pada keadaan semula apa yang sedang dilakukan atau telah dilakukan yang bertentangan dengan kewajiban-kewajiban yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan (Pasal 6.2.1 AWB : Algemene Wet Bestuursrecht).
(2)   Uang paksa (dwangsom);
Uang paksa dikenakan sebagai alternatif untuk paksaan nyata.
(3)   Denda administrasi;
Denda administrasi lebih bersifat “condemnatoir” daripada sifat “reparatoir”. Untuk mengenakan denda administrasi dibutuhkan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang wewenang untuk itu. Juga ketentuan tentang maksimum denda yang dapat diterapkan.
(4)   Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang menguntungkan (izin, pembayaran, subsidi).
Pencabutan sebagai sanksi administrasi merupakan wewenang yang melekat pada wewenang menetapkan Keputusan Tata Usaha Negara. Sifat pencabutan sebagai sanksi, bisa reparatoir, bisa juga condemnatoir.
(5)   Uang jaminan
Uang jaminan berkenaan dengan suatu keputusan yang menguntungkan, misalnya izin. Uang jaminan dapat merupakan syarat bagi suatu izin dan uang jaminan itu dinyatakan hilang apabila syarat yang diwajibkan dalam pemberian izin ternyata tidak dipenuhi. Dikaitkan dengan suatu keputusan yang menguntungkan (pemberian izin misalnya). Uang jaminan bersifat preventif sedangkan dikaitkan dengan kompensasi kerugian, sifatnya “reparatoir” dan dikaitkan dengan paksaan sifatnya “condemnatoir”.
(6)   Bentuk-bentuk lain atau khusus
Bentuk lain atau khusus sanksi administrasi misalnya peringatan, atau mengumumkan nama pelanggar.
Menyimak hakikat dari keenam jenis sanksi administrasi di atas, dengan mengacu pada konsep penegakan hukum administrasi, maka dapatlah dikemukakan bahwa sanksi administrasi merupakan nstrument penegakan hukum administrasi yang dilakukan oleh organ atau pejabat pemerintahan dalam menjalankan fungsi pemerintahan (eksekutif) sebagai pelaksana perundang-undangan bidang hukum administrasi tanpa harus melalui proses peradilan (parate executie). Kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara hanya melaksanakan fungsi yudisiil, karenanya teknis eksekusi putusan berupa penerapan sanksi administrasi dalam praktek dilakukan oleh organ atau pejabat pemerintahan yang mempunyai wewenang untuk menerapkan sanksi administrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan (atau peraturan dasarnya).
C.    Dalam Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
Adapun mekanisme Eksekusi Putusan dalam Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 sebagaimana diatur dalam Pasal 116 adalah :[14]
(1)   Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat oleh panitera pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja;
(2)   Apabila setelah 60 (enam puluh ) hari kerja putusan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat dalam pasal 97 ayat (9) huruf a keputusan tata usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
(3)   Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) ayat (9) huruf b dan c, dan kemudian setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) agar Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut;
(4)   Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan atau sanksi adminsitratif;
(5)   Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(6)   Disamping diumumkan pada media massa cetak setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ketua pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan
(7)   Ketentuan mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi administratif, dan tata cara pelaksanaan pembayaran uang paksa dan/ atau sanksi administrative diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Penyempurnaan pengaturan dalam pasal diatas dilakukan agar pelaksanaan putusan dapat efektif dilaksanakan oleh pemerintah (sebagai tergugat dalam Sengketa Tata Usaha Negara). Mengingat kendala yang dialami di Indonesia bahwa putusan pengadilan seringkali tidak dipatuhi oleh pemerintah. Meskipun putusan pengadilan belum memperoleh kekuatan hukum tetap, para pihak yang berperkara dapat memperoleh salinan putusan yang dibubuhi catatan panitera bahwa putusan tersebut belum memperoleh kekuatan hukum tetap. Tenggang waktu 14 (empat belas) di hari atas, dihitung sejak saat putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Apabila putusan Pengadilan berupa pengabulan gugatan (Pasal 97 ayat 7 huruf b UU Peradilan TUN), maka kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara meliputi:
1.              Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan (Pasal 97 ayat 8 huruf
2.              Pencabutan Keputussn Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan yang baru (Pasal 97 ayat 9 huruf b)
3.              Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pada pasal 3 (Pasal 97 ayat 9 huruf b)
4.              Membayar ganti rugi (Pasal 97 ayat 910 jo Pasal 120)
5.              Melakukan rehabilitasi (Pasal 97 ayat 11 jo Pasal 121)
Jika dalam tenggang waktu 4 (empat) bulan setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan tetap dikirimkan tergugat tidak melaksanakan kewajiban untuk melakukan pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Manakala tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajbannya yang berupa:
1.      Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan keputusan yang baru
2.      Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara yang sebelumnya tidak ada (gugatan atas dasar Pasal 3)
Setelah tenggang waktu 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya, maka tindakan yang dapat dilakukan oleh penggugat ialah mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (tingkat pertama), agar Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan Pengadilan tersebut. Berdasarkan UU No. 5 tahun 1986 (sebelum revisi) jika tergugat masih tetap tidak mau melaksanakan kewajiban tersebut, Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan. Instansi atasan yang bersangkutan dalam 2 (dua) bulan setelah menerima pemberitahuan dan Ketua Pengadilan harus sudah memerintahkan pejabat (tergugat) tersebut melaksanakan putusan Pengadilan tersebut. Dalam hal instansi atasan tersebut tidak mengindahkan ketentuan tersebut di atas, maka Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan Pengadilan itu.
Setelah dilakukan revisi melalui UU No. 9 Tahun 2004 terjadi perubahan pelaksanaan putusan pengadilan. Pasal 116 ayat (4) UU No. 9 tahun 2004 menyatakan jika tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif. Di samping itu, selain yang diatur dalam Pasal 116 ayat (4), pada ayat (5) revisi dinyatakan bahwa terhadap pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Eksekusi sebelum revisi lebih dipengaruhi self respect, karena kewenangan melaksanakan putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap sepenuhnya diserahkan badan atau pejabat yang berwenang tanpa ada kewenangan menjatuhkan sanksi oleh pengadilan. Setelah dilakukan revisi, proses pelaksanaan putusan pengadilan lebih memperlihatkan dipergunakannya system fixed execution, yaitu eksekusi yang pelaksanaannya dapat dipaksakan oleh pengadilan melalui instrument pemaksa yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 116 tersebut diatas, maka menurut Paulus Effendie Lotulung, sesungguhnya ada dua jenis eksekusi yang kita kenal di peradilan tata usaha Negara:[15]
1.      Eksekusi terhadap putusan pengadilan yang berisi kewajiban sebagaiman dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, yaitu kewajiban berupa pencabutan KTUN yang bersangkutan.
2.      Eksekusi terhadap putusan pengadilan yang berisi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 (9) huruf b dan huruf c, yaitu : 
huruf b : pencabutan KTUN yang bersangkutan dan menerbitkan KTUN yang baru; atau huruf c : penerbitan KTUN dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3.
Selanjutnya Lotulung menjelaskan bahwa apabila terdapat adanya eksekusi jenis pertama, maka diterapkanlah ketentuan Pasal 116 ayat (2), yaitu 4 bulan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan, tergugat tidak melaksanakan kewajibannya, maka KTUN yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Dengan demikian tidak perlu lagi ada tindakan-tindakan ataupun upaya-upaya lain dari pengadilan, misalnya surat peringatan dan sebagainya. Sebab KTUN itu dengan sendirinya akan hilang kekuatan hukumnya. Cara eksekusi seperti ini disebut dengan eksekusi otomatis.
Sebaliknya apabila terdapat adanya eksekusi jenis kedua, maka diterapkanlah ketentuan Pasal 116 ayat (3) sampai dengan ayat (6), yaitu dengan cara adanya surat perintah dari ketua pengadilan yang ditujukan kepada pejabat TUN yang bersngkutan untuk melaksanakan eksekusi putusan pengadilan tersebut, dan apabila tidak ditaati, maka ketua pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasan pejabat TUN tersebut menurut jenjang jabatan, yang dapat diteruskan sampai ke Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi untuk memerintahkna pejabat TUN tersebut melaksanakan putusan pengadilan itu. Cara eksekusi seperti ini disebut dengan eksekusi hierarkis.
Dari mekanisme eksekusi yang diatur dalam Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tersebut Lotulung, berpendapat: Upaya paksa (dwangsom) dan sanksi administratif masih tidak dapat berlaku secara efektif. Pasal 116 ada beberapa perubahan tetapi tidak membawa implikasi apapun, ketentuan eksekusi dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 muncul lagi tetapi tidak berjenjang melainkan langsung ke Presiden. Mengenai pengajuan kepada Presiden, saat ini ada arogansi terhadap pusat sebagai konsekuensi dari otonomi daerah, misalnya dalam pemberhentian perangkat desa tidak ada hubungan langsung antara mereka dengan Presiden. Dalam pengaturan lebih lanjut dibuat dalam peraturan perundang-undangan, kemungkinan ada dua: 1) peraturan perundang-undangan akan dibuat oleh eksekutif; 2) atau sampai Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 ini diubah kembali tidak ada tindak lanjutnya (pasal blanko).[16]
Dengan adanya ketentuan ayat (7) Pasal 116 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009, Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara menjadi terikat di mana sebelumnya hakim dalam ptaktek dapat menerapkan sendiri pembebanan uang paksa kepada Tergugat (Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang). Campur tangan Presiden dan Lembaga Perwakilan Rakyat dalam eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara memang diperlukan mengingat eksekusi pada Peradilan Tata Usaha Negara tidaklah semudah dalam eksekusi putusan badan Peradilan Umum (perdata maupun pidana). Presiden sebagai kepala pemerintahan bertanggungjawab terhadap pembinaan Pegawai Negeri atau Aparatur Pemerintahan, tentunya juga bertanggung jawab agar setiap aparatur pemerintahan dapat menaati semua peraturan perundang-undangan yang berlaku termasuk menaati putusan pengadilan sesuai dengan prinsip negara hukum yang kita anut.
Lembaga Perwakilan Rakyat adalah lembaga yang menerima laporan pertanggungjawaban tugas Pejabat yang bukan Pegawai Negeri Sipil atau dengan kata lain Pejabat Politik seperti Bupati, Walikota, Gubernur dan Presiden. Dengan dicantumkannya ketentuan pelaporan kepada Lembaga Perwakilan. Rakyat dalam menjalankan fungsi pengawasan, maka terhadap Pejabat Tata Usaha Negara yang bukan PNS atau Pejabat politik apabila tidak melaksanakan putusan Peradilan Tata Usaha Negara dapat dikenakan sanksi administratif.
Selanjutnya terhadap perubahan Undang-undang PERATUN ini, Agus Budi Susilo, berpendapat sebagai berikut: Meskipun ada eksekusi hirarkhis (diajukan langsung kepada Presiden selaku Kepala Pemerintahan atau eksekutif) dan eksekusi politis (melalui DPR), hal inipun masih dirasa belum efektif karena belum adanya batasan waktu kapan seorang Presiden harus segera melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut, kalau diajukan ke DPR dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan, apa saja yang menjadi kriterianya. Jadi untuk efektifitas Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dimasa yang akan datang, harus ada sanksi pidana seperti di Negara Turki dan Mesir serta sanksi administrasi pencopotan jabatan yang diatur dalam peraturan perundangundangan (Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang).[17]
Perubahan kedua terhadap Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang diatur dalam Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009, dalam hal ini ketentuan Pasal 116 telah terjadi perubahan yang cukup berarti di bidang penegakan hukum administrasi, terutama dengan tercantumnya pelaporan kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi dan lembaga perwakilan rakyat dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap pejabat politik. Perubahan tersebut secara yuridis formal telah memberi kekuatan atau upaya pemaksa bagi Pengadilan untuk merealisasikan putusannya.
Akan tetapi ketentuan tersebut, baru merupakan landasan atau prinsip-prinsip pokok, karena mekanisme pengaturannya masih belum jelas atau masih harus menunggu pengaturan lebih lanjut dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai mekanisme dan tata cara pelaksanaannya.[18] Hal ini tergantung dari kemauan pihak pemerintah atau eksekutif untuk segera menerbitkan ketentuan mengenai mekanisme dan tata cara pembayaran uang paksa dan/ atau sanksi administratif tersebut, jangan sampai hanya merupakan ketentuan kosong yang tidak dapat dilaksanakan, karena tidak atau belum juga diterbitkannya peraturan perundang-undangan itu.
Adanya pengaturan lebih lanjut yang tertuang dalam ayat (7) Pasal 116 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009, mengakibatkan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara menjadi terikat dan tidak bebas lagi untuk menemukan dan menciptakan hukum atau mengambil langkah-langkah inovatif melalui pertimbangan putusannya sesuai dengan perkembangan hukum dan rasa keadilan. Di samping itu dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tidak tercantum ketentuan mengenai kewajiban penggugat untuk melaporkan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara bilamana putusan menurut ketentuan Pasal 116 ayat (2) tidak direalisir atau tidak dilaksanakan oleh Tergugat.
Begitu juga sebaliknya tidak ada ketentuan dalam Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara yang mewajibkan Tergugat untuk melaporkan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara tentang sudah direalisirnya putusan menurut ketentuan Pasal 116 ayat (2). Tidak tercantumnya ketentuan tersebut dalam Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara dapat mempersulit Pengadilan Tata Usaha Negara untuk mengetahui dan mengawasi putusan yang berisi kewajiban pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan sebagaimana dirumuskan pada Pasal 97 ayat (9) sub a.
Beberapa permasalahan dalam implementasi Pasal 16 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tersebut dapat timbul dan harus dipecahkan jalan keluarnya, meskipun adanya revisi Pasal 116 dapat dikatakan merupakan kemajuan dalam pengembangan kepastian hukum bagi pelaksanaan (eksekusi) suatu Putusan Peradilan Tata Usaha Negara. Menurut Husban, pemecahannya bisa dimulai dengan memberdayakan fungsi dan tugas Juru Sita untuk menyampaikan surat pemberitahuan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap secara langsung kepada Tergugat guna kepastian hukum kapan diterimanya pemberitahuan tersebut dan pemerintah harus segera menerbitkan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara dan pelaksanaan pembayaran uang paksa atau sanksi administrasi (Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang).
D.    Hambatan Dalam Eksekusi Putusan PTUN
Sebetulnya apa sajakah yang menjadi kendala sehingga suatu Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara menjadi sulit untuk dieksekusi? Beberapa kendalanya adalah:
1.      Tidak adanya lembaga eksekutorial khusus atau lembaga sanksi yang berfungsi untuk melaksanakan putusan.
Peradilan Umum memiliki lembaga paksa, yakni eksekusi riil oleh Kepaniteraan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan untuk perkara perdata (Pasal 195 s/d Pasal 208 HIR dan Pasal 1033 Rv). Dalam putusan perkara pidana, Pasal 270 KUHAP menyebutkan “Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa,yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya”.[19] Di peradilan Militer adalah Oditur Militer yang berkewajiban untuk mengeksekusi putusan Hakim Militer. Peradilan Agama, menurut ketentuan pasal 95, 98 dan 103 UU No. 7 Tahun 1989 juga sudah dapat melaksanakan secara paksa (Eksekusi) atas penetapan dan putusannya termasuk melaksanakan segala macam bentuk sita (beslag).[20]
2.      Hambatan Eksekusi Putusan Disebabkan Amar Putusan.
Amar atau diktum adalah upaya dalam musyawarah hakim yang diputuskan secara final oleh Pengadilan. Diktum merupakan putusan Pengadilan yang sebenarnya dianggap sebagai titik akhir terpenting bagi para pihak yang bersengketa. Pada diktum inilah letak kulminasi dari seluruh proses persidangan yang telah berjalan. Amar atau diktum putusan merupakan jawaban terhadap petitum dari gugatan Penggugat. Isi atau amar putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, pada intinya adalah:
a.                Gugatan dinyatakan ditolak,
b.                Gugatan dikabulkan,
c.                Gugatan tidak diterima,
d.                Gugatan gugur.
Hal gugatan dikabulkan, hakim dapat membebankan suatu kewajiban kepada Tergugat. Kewajiban yang dibebankan dan akan direalisasikan atau dilaksanakan oleh Tergugat atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah:
a.       Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara (Pasal 97 ayat (9) huruf a),
b.      Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara dan Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara baru (Pasal 97 ayat (9) huruf b),
c.       Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan Pasal 3 (Pasal 97 ayat (9) huruf c),
d.      Dapat disertai pembebanan ganti rugi dan dalam sengketa kepegawaian disertai kewajiban rehabilitasi dan kompensasi.
Berdasarkan pada uraian tersebut, maka amar putusan pada Pengadilan Tata Usaha Negara yang mengabulkan gugatan hanya dibatasi sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 97 ayat (8) sampai dengan ayat (10) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dan dapat dirumuskan sebagai berikut:
a.       Mengabulkan gugatan penggugat sebagian atau seluruhnya;
b.      Menyatakan batal Keputusan Tata Usaha Negara (menyebutkan Keputusan Tata Usaha Negara) yang dikeluarkan Tergugat;
c.       Mewajibkan Tergugat (menyebutkan kewajiban yang dibebankan kepada Tergugat);
d.      Menghukum Tergugat membayar biaya perkara.
Menurut Husban, kesalahan dalam amar putusan dilakukan oleh hakim dalam menetapkan amar putusan yang mengabulkan gugatan keluar dari apa yang telah ditentukan dalam Pasal 97 ayat (8) sampai dengan ayat (10) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tersebut, sehingga sulit untuk dilakukannya pelaksanaan eksekusi (Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang).
3.      Rendahnya tingkat kesadaran pejabat Tata Usaha Negara dalam menaati putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
Pejabat Tata Usaha Negara seringkali tidak menaati hukum, karena biasanya seseorang mematuhi hukum dikarenakan ia takut sanksi yang akan dikenakan apabila ia melanggar hukum atau karena ia merasa kepentingan-kepentingannya akan terjamin apabila ia menaati hukum, atau karena ia merasa hukum yang berlaku sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam dirinya. Dalam hal ini, pihak yang kalah dalam sengketa tentunya akan merasa bahwa kepentingannya tidak terjamin bila ia menaati putusan pengadilan TUN, sehingga ia lebih memilih untuk tidak mematuhi putusan pengadilan tersebut.
Tidak adanya sanksi juga membuat pejabat TUN tidak merasa takut apabila ia tidak menjalankan putusan pengadilan itu. Adanya kepentingan/interest pribadi pejabat eksistensi keputusan TUN yang diterbitkannya dan lemahnya tingkat kesadaran hukum Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah sangat besar pengaruhnya terhadap dipatuhi atau tidaknya putusan Hakim Peradilan Tata Usaha Negara, karena secara normatif eksekusi putusan Hakim Peratun lebih menyandarkan pada kerelaan Pejabat yang bersangkutan untuk melaksanakannya (floating execution). Dengan hanya menyandarkan pada kerelaan, tentu banyak pejabat yang tidak rela bila harus memenuhi putusan, sehingga memilih untuk tidak mematuhi putusan.[21]
4.      Tidak adanya pengaturan yang lebih tegas mengenai pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
Ketentuan mengenai eksekusi putusan PTUN telah dimuat dalam pasal 116 UU Nomor 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 jo UU No. 51 Tahun 2009, yang menyebutkan bahwa pengadilan dapat meminta atasan pejabat TUN yang bersangkutan atau bahkan presiden untuk ‘memaksa’ tergugat melaksanakan putusan pengadilan. Hal ini tentu saja tidak dibolehkan terjadi sering – sering karena apabila presiden terlalu sering campur tangan dalam urusan pemaksaan pelaksanaan putusan PTUN maka dikhawatirkan presiden akan kehilangan wibawa sebagai kepala Pemerintahan.
Eksekusi Putusan Pengadilan Tata Usaha pada intinya hanya ditekankan pada rasa self respect dan kesadaran hukum dari pejabat Tata Usaha Negara untuk melaksanakan putusan hakim dengan sukarela tanpa adanya upaya pemaksaan oleh aparat penegak hukum, sebagai eksekutor putusan Pengadilan Tata Usaha Negara.
5.      Hambatan Eksekusi Putusan Disebabkan Pejabat Tata Usaha Negara adalah Kepala Daerah yang Kedudukannya Sebagai Pejabat Politik.
Kepala Daerah bukanlah jabatan karier, oleh karena itu terhadap kepala daerah tidak berlaku ketentuan hukum disiplin yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hubungan hirarkis efektif apabila berkaitan dengan pengenaan sanksi dalam hubungan hirarkis. Sebagai pejabat politik, seharusnya pelaksanaan eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai lembaga kontrol untuk dikenakan sanksi.
Dalam Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, ketentuan pelaporan kepada Lembaga Perwakilan Rakyat dalam rangka fungsi pengawasan telah dicantumkan, akan tetapi permasalahannya tidak selesai sampai di situ, bagaimana bila pejabat politik tersebut masih tidak melaksanakan putusan. Oleh karena itu agar lebih efektif putusan Peradilan Tata Usaha Negara terhadap pejabat politik ini dilaksanakan, teknis pelaksanaan dan tata cara sanksi administrasi apa saja yang diberikan harus segera diterbitkan dalam peraturan perundang-undangan.
6.      Hambatan Eksekusi Putusan Disebabkan Pejabat Tata Usaha Negara yang Digugat Adalah Pejabat yang Menerima Kewenangan Delegasi Semu.
Pasal 1 ayat (12) Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 yang menentukan bahwa: Tergugat adalah badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata. Sejak diterapkannya otonomi daerah, seorang Kepala Dinas dalam menandatangani suatu Keputusan Tata Usaha Negara, tidak lagi atas nama Kepala Daerah tetapi langsung Kepala Dinas yang bersangkutan.[22]
Dengan demikian apabila terjadi sengketa Tata Usaha Negara, yang menjadi tergugat adalah Kepala Dinas yang bersangkutan. Andaikata gugatan dikabulkan, mungkinkah Kepala Dinas yang bersangkutan melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tanpa persetujuan Kepala Daerah. Hal inilah yang dimaksud dengan delegasi semu dalam hubungan antara Kepala Daerah dan Kepala Dinas. Delegasi semu itu pun merupakan salah satu hambatan selama ini dalam pelaksanaan eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara terhadap Pejabat Tata Usaha Negara Daerah, khususnya Kepala Dinas.
Setelah disahkannya Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi yang menerima laporan ketidaktaatan Tergugat melaksanakan putusan dapat memerintahkan Pejabat Tata Usaha Negara untuk melaksanakan putusan Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga diharapkan kendala yang menjadi penghambat pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara dapat diatasi.

DAFTAR PUSTAKA
1.      Buku
a.       Sudikno Mertokusumo. 1988. Hukum Acara Perdata. Indonesia. Yogyakarta : Liberty.
b.      R. Supomo. 1984. Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri. Jakarta: Pradnya Paramita.
c.       Sjachran Basah. 1985. Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia. Bandung : Alumni.
d.      Paulus Effendie Lotulung. 2003. Mengkaji Kembali Pokok-Pokok Pikiran Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia. Jakarta : Lembaga Penelitian dan Pengembangan Hukum Administrasi Negara
e.       Roihan A. Rasyid. 2001. Hukum Acara Peradilan Agama.  Jakarta : Raja Grafindo Persada.
2.   Jurnal/Artikel Ilmiah
a.    Prildy Nataniel Boneka. 2014. Tinjauan Hukum Putusan Ptun Dalam Rangka Eksekusi Putusan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap. Manado : Jurnal Lex.Administratum Vol.II
b.   Damar Bayu Kesumo. 2010. Kajian Normatif Eksekusi Atas Putusan PTUN.  Surakarta : Penulisan Hukum Fakultas Hukum Universitas Negeri  Sebelas Maret Surakarta
c.    Umar Dani. Konsep Sanksi dalam RUU-AP (Suatu Upaya Penguatan Pelaksanaan Putusan PTUN).  Lihat artikel ilmiah pada website Pengadilan Tata Usaha Negara Palembang.
3. Website




[1] Prildy Nataniel Boneka. 2014. Tinjauan Hukum Putusan Ptun Dalam Rangka Eksekusi Putusan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap. Manado : Jurnal Lex.Administratum Vol.II
[2] Damar Bayu Kesumo. 2010. Kajian Normatif Eksekusi Atas Putusan PTUN.  Surakarta : Penulisan Hukum Fakultas Hukum Universitas Negeri  Sebelas Maret Surakarta
[3] Sudikno Mertokusumo. 1988. Hukum Acara Perdata. Indonesia. Yogyakarta : Liberty.
[4] R. Supomo. 1984. Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri. Jakarta: Pradnya Paramita.
[5] Lihat Undang-Undang PTUN
[6] Lihat Undang-Undang PTUN
[7] Sjachran Basah. 1985. Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia. Bandung : Alumni.
[8] Ibid. Prildy Nataniel Boneka.
[9] Lihat Undang-Undang PTUN
[10] Ibid. Prildy Nataniel Boneka.
[11] Lihat Pasal 116 Undang-Undang PTUN lama yakni UU PTUN  Nomor 5 Tahun 1986
[12] Umar Dani. Konsep Sanksi dalam RUU-AP (Suatu Upaya Penguatan Pelaksanaan Putusan PTUN).  Lihat artikel ilmiah pada website Pengadilan Tata Usaha Negara Palembang
[13] Lihat Pasal 116 Undang-Undang PTUN Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang PTUN Nomor 9 Tahun 2004
[14] Lihat Pasal 116 Undang-Undang PTUN Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang PTUN Nomor 9 Tahun 2004 sebagaimana diubah kembali dengan Undang-Undang PTUN Nomor 51 Tahun 2009

[15] Paulus Effendie Lotulung. 2003. Mengkaji Kembali Pokok-Pokok Pikiran Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia. Jakarta : Lembaga Penelitian dan Pengembangan Hukum Administrasi Negara
[16] Ibid. Paulus Effendie Lotulung
[17] Damar Bayukesumo. 2011. Kajian Normatif Eksekusi Atas Putusan Peradilan Tata Usaha Negara. Penulisan Hukum.  Surakarta : FH Universitas Sebelas Maret Surakarta.
[18] Lihat ayat (7) Pasal 116 Undang-Undang PTUN Nomor 51 Tahun 2009
[19] Lihat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
[20] Roihan A. Rasyid. 2001. Hukum Acara Peradilan Agama.  Jakarta : Raja Grafindo Persada. hlm. 207
[22] Lihat Undang-Undang PTUN Nomor 51 Tahun 2009

No comments:

Post a Comment