Friday, 18 November 2016

Hak-Hak Masyarakat Indonesia Dalam Informasi

Keterbukaan informasi publik merupakan bagian terpenting dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik, dan instrumen untuk mengukur sejauh mana pemerintah bebas dari korupsi. Selain itu, keterbukaan informasi menjadi salah satu sarana masyarakat untuk mengontrol pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahannya.
Mas Achmad Santosa menjelaskan pemerintahan yang terbuka mensyaratkan adanya jaminan atas lima hal, yaitu: (i) hak untuk memantau perilaku pejabat publik dalam menjalankan peran publiknya; (ii) hak untuk memperoleh informasi; (iii) hak untuk terlibat dan berpartisipasi dalam proses pembentukan kebijakan publik; (iv) kebebasan berekspresi yang antara lain diwujudkan dalam kebebasan pers; dan (v) hak untuk mengajukan keberatan terhadap penolakan atas keempat hak terdahulu (Mas Achmad Santosa, 2001: 22)
Tidak berbeda dengan Mas Ahmad Santosa, UU No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) menyebutkan bahwa informasi merupakan kebutuhan pokok setiap orang bagi pengembangan pribadi dan lingkungan sosialnya serta merupakan bagian penting bagi ketahanan nasional dan merupakan sarana dalam mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara dan Badan Publik lainnya dan segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan public.
Keterbukaan informasi bukan hanya menguntungkan bagi masyarakat tetapi juga penyelenggara pemerintahan, baik eksekutif dan legislatif, maupun yudikatif. Jika informasi publik tersedia dengan cukup, maka pimpinan lembaga penyelenggara pemerintahan dalam arti luas bisa memanfaatkan pengawasan oleh masyarakat untuk meningkatkan kinerja dan gerak organisasi hingga ke daerah-daerah. Namun Selama ini akses masyarakat (pencari informasi) kerap dibendung oleh jaring birokrasi yang begitu ketat, kerahasiaan selalu menjadi alasan dari birokrasi. Meskipun di Indonesia sudah ada UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) yang memberikan jaminan bagi public untuk berkomunikasi dan mendapat informasi, serta jaminan yang sama dalam Pasal 28F UUD 1945.
Pasal 28F UUD 1945 tidak saja sekedar moral rights dan possession of a right, tetapi juga sebagaipositive rights dan exercise of a right. Tetapi jaminan dari aturan tersebut tidak dapat berlaku dengan baik, karena ketika masyarakat meminta informasi, lalu ditolak, masyarakat tidak bisa apa-apa, hanya pasrah. Namun oleh pembuat Undang-Undang Kepasrahan itu dijawab dengan mengeluarkan UU No. 14 Tahun 2008, dengan harapan bahwa masing-masing pihak yang diatur di dalam UU tersebut mampu menjalankan peran masing-masing, sehingga pemerintahan yang bersih bisa tercapai.
Informasi publik yang dimaksudkan di dalam undang-undang adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan atau diterima oleh suatu badan publik. Sementara “badan publik” yang dimaksudkan di sini adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan lembaga yang mendapat dana dari APBN atau APBD, sumbangan masyarakat, dan mendapatkan dana dari luar negeri. Sesuai dengan peran dan fungsinya, badan-badan publik semacam itu bercorak impersonal. Berbagai aspek dan dimensi yang inheren dengan badan-badan publik dengan sendirinya terbuka untuk dibaca dan dianalisis oleh siapa pun. Namun masalahnya, selama lebih dari sepuluh tahun berdemokrasi badan-badan publik ternyata tak memiliki kemauan mewujudkan keterbukaan informasi.
Karena kenyataan itu, praktis demokrasi di Indonesia minus transparansi. Pada satu sisi, kebebasan berpendapat dan berserikat mendapatkan aksentuasi baru untuk diwujudkan di tengah kancah demokrasi. Tetapi pada lain sisi, ketertutupan tetap mewarnai keberadaan sektor publik. Apa boleh buat, selama lebih dari satu dasawarsa, rezim ketertutupan hadir secara bersamaan dengan pelaksanaan demokrasi. Tak bisa tidak, inilah ironi yang mewarnai demokrasi di Indonesia. Realitas inilah sesungguhnya yang turut serta mendorong lahirnya suatu format demokrasi tanpa kejujuran, demokrasi yang dilumuri ketidakpercayaan.
Bertitik tolak dari persoalan itu tak berlebihan muncul sebuah kesimpulan. Bahwa, terhitung sejak Indonesia merdeka badan-badan publik telah sedemikian rupa mencederai dirinya sendiri dengan berbagai macam penyimpangan. Distorsi kepentingan rakyat justru dilakukan oleh badan-badan publik melalui upaya-upaya yang bersifat sistemik. Tanpa bisa dielakkan, badan-badan publik lalu tak memiliki kecanggihan mengarusutamakan kepentingan rakyat. Justru, badan-badan publik menumbuh-suburkan kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Sedemikian rupa, ketertutupan informasi lantas mengkristal sebagai atmosfer yang pada giliran selanjutnya justru mengondisikan badan-badan publik tumbuh sebagai persemaian subur KKN. Sungguh, segenap ketidakbecusan itu menemukan momentumnya melalui ketertutupan informasi.
Untuk mengurangi dan mengakhiri realitas buruk itu para ahli mencari metode apa yang dapat mengantarkan Indonesia untuk sampai pada terminal keterbukaan informasi. Tak pelak lagi, untuk menjawab realita tersebut akhirnya lahirlah Undang-Undang No.14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik sebagai sebuah jawaban dan dasar hukum bagi masyarakat untuk mencapai hak-haknya dalam mengakses informasi publik.
Peran Serta Masyarakat
Salah satu prinsip di Negara demokrasi adalah partisipasi warga Negara. Begitu juga halnya dengan pelaksanaan UU KIP, partisipasi masyarakat dipandang sebagai hal yang sangat penting. Tolok ukurnya adalah apakah daya kritis masyarakat terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintah semakin meningkat atau apakah tingkat penilaian atau pengaduan masyarakat, terutama tingkat daya kritis masyarakat terhadap prosedur dan kualitas layanan informasi public semakin meningkat?
Akses informasi ibarat jembatan menuju hak-hak lainnya seperti kesehatan, pendidikan, hak atas pembangunan, dan hak-hak lainnya. Jika selama ini masyarakat
banyak yang mengeluhkan buruknya pelayanan publik maka keterbukaan informasi publik merupakan bagian penting dari penyelenggaraan pelayanan publik itu, dan merupakan hak yang sangat penting dan strategis bagi warga negara untuk menuju akses terhadap hak-hak lainnya, karena bagaimana mungkin akan mendapatkan hak pendidikan, kesehatan, dan pelayanan lainnya dengan baik jika informasi yang diperoleh mengenai hak-hak tersebut tidaklah didapatkan secara tepat dan benar.
Komisi Informasi Publik dan Masalahnya
Komisi Informasi Publik adalah lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan UU KIP dan peraturan pelaksananya, menetapkan petunjuk teknis standar layanan informasi publik dan menyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi dan atau ajudikasi non litigasi. Lembaga mandiri memberi makna bahwa dalam melaksanakan tugasnya, Komisi Informasi bebas dari intervensi pihak manapun, termasuk pemerintah.
Dalam praktiknya, independensi suatu lembaga biasa dipengaruhi oleh; 1). Bagaimana mandat yang kuat diberikan kepada lembaga tersebut; 2). Bagaimana UU bersangkutan memungkinkan pembentukan lembaga yang kuat dalam menjalankan mandat yang diberikan; 3). Bagaimana lembaga tersebut diisi oleh orang-orang yang memiliki kapasitas dan integritas yang baik. Bicara mengenai kewenangan, UU KIP sudah memberikan mandat yang kuat kepada Komisi Informasi. Mandat kewenangan yang diberikan berupa kebijakan (policy), pengaturan (regulatory), penyelesaian sengketa dan secara implisit aspek pengawasan penataan. Namun secara kelembagaan, UU KIP belum menjamin dukungan administratif, keuangan dan tata kelola yang memadai. Kondisi ini mengisyaratkan Komisi Informasi sebagai lembaga yang “semi independen”, karena sekretariat komisi berasal dari pemerintah yang membidangi komunikasi dan informatika baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah, sedangkan untuk penganggaran komisi informasi melekat kepada anggaran yang diposkan oleh lembaga/badan yang membidangi komunikasi dan informatika.
Secara tidak langsung, pembentukan Komisi Informasi Publik ini mengisyaratkan keengganan dari pemerintah untuk diawasi dalam pelaksanaan keterbukaan informasi, sehingga menetapkan Komisi Informasi Publik sebagai lembaga seolah-olah independent, namun tetap di bawah kontrol ketat pemerintah.
Sudah seharusnya komisi Informasi publik benar-benar dijadikan sebagai lembaga yang independen, seperti halnya beberapa komisi negara yang ada di Indonesia seperti Komnas HAM, KPU ataupun Ombudsman, sehingga menjadi lembaga yang benar-benar mandiri, tanpa intervensi pemerintah ataupun pemerintah daerah sebagai penyandang dana.[1]




[1]  Roni Saputra  hukum online

No comments:

Post a Comment