Keterbukaan informasi publik merupakan bagian terpenting
dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik, dan instrumen untuk mengukur
sejauh mana pemerintah bebas dari korupsi. Selain itu, keterbukaan informasi menjadi
salah satu sarana masyarakat untuk mengontrol pemerintah dalam menjalankan roda
pemerintahannya.
Mas Achmad Santosa menjelaskan
pemerintahan yang terbuka mensyaratkan adanya jaminan atas lima hal, yaitu: (i)
hak untuk memantau perilaku pejabat publik dalam menjalankan peran publiknya;
(ii) hak untuk memperoleh informasi; (iii) hak untuk terlibat dan
berpartisipasi dalam proses pembentukan kebijakan publik; (iv) kebebasan
berekspresi yang antara lain diwujudkan dalam kebebasan pers; dan (v) hak untuk
mengajukan keberatan terhadap penolakan atas keempat hak terdahulu (Mas Achmad
Santosa, 2001: 22)
Tidak berbeda dengan Mas Ahmad
Santosa, UU No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP)
menyebutkan bahwa informasi merupakan kebutuhan pokok setiap orang bagi
pengembangan pribadi dan lingkungan sosialnya serta merupakan bagian penting
bagi ketahanan nasional dan merupakan sarana dalam mengoptimalkan pengawasan
publik terhadap penyelenggaraan negara dan Badan Publik lainnya dan segala sesuatu
yang berakibat pada kepentingan public.
Keterbukaan informasi bukan hanya
menguntungkan bagi masyarakat tetapi juga penyelenggara pemerintahan, baik
eksekutif dan legislatif, maupun yudikatif. Jika informasi publik tersedia
dengan cukup, maka pimpinan lembaga penyelenggara pemerintahan dalam arti luas
bisa memanfaatkan pengawasan oleh masyarakat untuk meningkatkan kinerja dan
gerak organisasi hingga ke daerah-daerah. Namun Selama ini akses masyarakat
(pencari informasi) kerap dibendung oleh jaring birokrasi yang begitu ketat,
kerahasiaan selalu menjadi alasan dari birokrasi. Meskipun di Indonesia sudah
ada UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) yang memberikan
jaminan bagi public untuk berkomunikasi dan mendapat informasi, serta jaminan yang
sama dalam Pasal 28F UUD 1945.
Pasal 28F UUD 1945 tidak saja
sekedar moral rights dan
possession of a right, tetapi juga sebagaipositive rights dan exercise
of a right. Tetapi
jaminan dari aturan tersebut tidak dapat berlaku dengan baik, karena ketika
masyarakat meminta informasi, lalu ditolak, masyarakat tidak bisa apa-apa,
hanya pasrah. Namun oleh pembuat Undang-Undang Kepasrahan itu dijawab dengan
mengeluarkan UU No. 14 Tahun 2008, dengan harapan bahwa masing-masing pihak
yang diatur di dalam UU tersebut mampu menjalankan peran masing-masing,
sehingga pemerintahan yang bersih bisa tercapai.
Informasi publik yang dimaksudkan
di dalam undang-undang adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola,
dikirim, dan atau diterima oleh suatu badan publik. Sementara “badan publik”
yang dimaksudkan di sini adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan
lembaga yang mendapat dana dari APBN atau APBD, sumbangan masyarakat, dan
mendapatkan dana dari luar negeri. Sesuai dengan peran dan fungsinya,
badan-badan publik semacam itu bercorak impersonal. Berbagai aspek dan dimensi
yang inheren dengan badan-badan publik dengan sendirinya terbuka untuk dibaca
dan dianalisis oleh siapa pun. Namun masalahnya, selama lebih dari sepuluh
tahun berdemokrasi badan-badan publik ternyata tak memiliki kemauan mewujudkan
keterbukaan informasi.
Karena kenyataan itu, praktis
demokrasi di Indonesia minus transparansi. Pada satu sisi, kebebasan berpendapat
dan berserikat mendapatkan aksentuasi baru untuk diwujudkan di tengah kancah
demokrasi. Tetapi pada lain sisi, ketertutupan tetap mewarnai keberadaan sektor
publik. Apa boleh buat, selama lebih dari satu dasawarsa, rezim ketertutupan
hadir secara bersamaan dengan pelaksanaan demokrasi. Tak bisa tidak, inilah
ironi yang mewarnai demokrasi di Indonesia. Realitas inilah sesungguhnya yang
turut serta mendorong lahirnya suatu format demokrasi tanpa kejujuran,
demokrasi yang dilumuri ketidakpercayaan.
Bertitik tolak dari persoalan itu
tak berlebihan muncul sebuah kesimpulan. Bahwa, terhitung sejak Indonesia
merdeka badan-badan publik telah sedemikian rupa mencederai dirinya sendiri
dengan berbagai macam penyimpangan. Distorsi kepentingan rakyat justru dilakukan
oleh badan-badan publik melalui upaya-upaya yang bersifat sistemik. Tanpa bisa
dielakkan, badan-badan publik lalu tak memiliki kecanggihan mengarusutamakan
kepentingan rakyat. Justru, badan-badan publik menumbuh-suburkan kolusi,
korupsi dan nepotisme (KKN). Sedemikian rupa, ketertutupan informasi lantas
mengkristal sebagai atmosfer yang pada giliran selanjutnya justru mengondisikan
badan-badan publik tumbuh sebagai persemaian subur KKN. Sungguh, segenap
ketidakbecusan itu menemukan momentumnya melalui ketertutupan informasi.
Untuk mengurangi dan mengakhiri
realitas buruk itu para ahli mencari metode apa yang dapat mengantarkan
Indonesia untuk sampai pada terminal keterbukaan informasi. Tak pelak lagi,
untuk menjawab realita tersebut akhirnya lahirlah Undang-Undang No.14 Tahun
2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik sebagai sebuah jawaban dan dasar
hukum bagi masyarakat untuk mencapai hak-haknya dalam mengakses informasi
publik.
Peran Serta Masyarakat
Salah satu prinsip di Negara
demokrasi adalah partisipasi warga Negara. Begitu juga halnya dengan
pelaksanaan UU KIP, partisipasi masyarakat dipandang sebagai hal yang sangat
penting. Tolok ukurnya adalah apakah daya kritis masyarakat terhadap kinerja
penyelenggaraan pemerintah semakin meningkat atau apakah tingkat penilaian atau
pengaduan masyarakat, terutama tingkat daya kritis masyarakat terhadap prosedur
dan kualitas layanan informasi public semakin meningkat?
Akses informasi ibarat jembatan
menuju hak-hak lainnya seperti kesehatan, pendidikan, hak atas pembangunan, dan
hak-hak lainnya. Jika selama ini masyarakat
banyak yang mengeluhkan buruknya
pelayanan publik maka keterbukaan informasi publik merupakan bagian penting
dari penyelenggaraan pelayanan publik itu, dan merupakan hak yang sangat
penting dan strategis bagi warga negara untuk menuju akses terhadap hak-hak
lainnya, karena bagaimana mungkin akan mendapatkan hak pendidikan, kesehatan,
dan pelayanan lainnya dengan baik jika informasi yang diperoleh mengenai
hak-hak tersebut tidaklah didapatkan secara tepat dan benar.
Komisi Informasi Publik dan
Masalahnya
Komisi Informasi Publik adalah
lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan UU KIP dan peraturan pelaksananya,
menetapkan petunjuk teknis standar layanan informasi publik dan menyelesaikan
sengketa informasi publik melalui mediasi dan atau ajudikasi non litigasi.
Lembaga mandiri memberi makna bahwa dalam melaksanakan tugasnya, Komisi
Informasi bebas dari intervensi pihak manapun, termasuk pemerintah.
Dalam praktiknya, independensi
suatu lembaga biasa dipengaruhi oleh; 1). Bagaimana mandat yang kuat diberikan
kepada lembaga tersebut; 2). Bagaimana UU bersangkutan memungkinkan pembentukan
lembaga yang kuat dalam menjalankan mandat yang diberikan; 3). Bagaimana
lembaga tersebut diisi oleh orang-orang yang memiliki kapasitas dan integritas
yang baik. Bicara mengenai kewenangan, UU KIP sudah memberikan mandat yang kuat
kepada Komisi Informasi. Mandat kewenangan yang diberikan berupa kebijakan
(policy), pengaturan (regulatory), penyelesaian sengketa dan secara implisit
aspek pengawasan penataan. Namun secara kelembagaan, UU KIP belum menjamin
dukungan administratif, keuangan dan tata kelola yang memadai. Kondisi ini
mengisyaratkan Komisi Informasi sebagai lembaga yang “semi independen”, karena
sekretariat komisi berasal dari pemerintah yang membidangi komunikasi dan
informatika baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah, sedangkan untuk
penganggaran komisi informasi melekat kepada anggaran yang diposkan oleh
lembaga/badan yang membidangi komunikasi dan informatika.
Secara tidak langsung, pembentukan
Komisi Informasi Publik ini mengisyaratkan keengganan dari pemerintah untuk
diawasi dalam pelaksanaan keterbukaan informasi, sehingga menetapkan Komisi
Informasi Publik sebagai lembaga seolah-olah independent, namun tetap di bawah
kontrol ketat pemerintah.
Sudah seharusnya komisi Informasi
publik benar-benar dijadikan sebagai lembaga yang independen, seperti halnya
beberapa komisi negara yang ada di Indonesia seperti Komnas HAM, KPU ataupun
Ombudsman, sehingga menjadi lembaga yang benar-benar mandiri, tanpa intervensi
pemerintah ataupun pemerintah daerah sebagai penyandang dana.[1]
No comments:
Post a Comment