Sunday, 20 November 2016

Model Perwakilan Politik

Model Perwakilan Politik
Oleh Wahyu Ramdhan Wijanarko (1006694271)

Perwakilan politik, sebagaimana kita ketahui, ini merupakan sistem yang menjalan kan fungsi legislatif, biasa disebut sebagai badan legislatif. Nama lain yang sering dipakai ialah Assembly yang mengutamakan unsur “berkumpul” (untuk membicarakan masalah-masalah publik). Nama lain lagi adalah Parliement, suatu istilah yang menekankan unsur “bicara” (parler) dan merun- dingkan. Sebutan lain mengutamakan representasi atau keterwakilan anggota-ang-gotanya dan dinamakan People’s Representative Body atau Dewan Perwakilan Rakyat. Akan tetapi apa pun perbedaan dalam namanya dapat dipastikan bahwa badan ini merupakan symbol dari rakyat yang berdaulat.
Dengan berkembangnya gagasan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, maka badan legislatif menjadi badan yang berhak menyelenggarakan kedaulatan itu dengan jalan menentukan kebijakan umum dan menungkannya dalam undang- undang. Dalam menjalani peran legislatif dalam hal representasi, biasanya terdapat dua kategori yang dibedakan. Kategori pertama adalah perwakilan politik (political representation) dan perwakilan fungsional (functional representation). Kategori kedua menyangkut peran anggota parlementer sebagai trustee, dan perannya sebagai pengeman “mandat”. Perwakilan adalah konsep bahwa seorang atau suatu kelompok mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk bicara dan bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar. Biasanya anggota dewan ini umumnya mewakili rakyat melalui partai politik. Hal ini dinamakan perwakilan yang bersifat politik (political representation).
Sekalipun asas perwakilan politik telah menjadi sangat umum, tetapi ada beberapa kalangan yang merasa bahwa partai politik dan perwakilan  meng-abaikan berbagai kepentingan masyarakat. Beberapa negara telah mencoba untuk mengatasi persoalan ini dengan mengikutsertakan wakil dari golongan-golongan yang dianggap memerlukan perlingdungan khusus. Misalnya India mengangkat beberapa wakil dari golongan Anglo-Indian sebagai anggota majelis rendah. Di parlemen Pakistan dalam masa Demokrasi Dasar disediakan beberapa kursi untuk golongan perempuan.
Di Republik Prancis pada masa tahun 1946 didirikan suatu majelis khusus di luar badan legislatif, yaitu Majelis Ekonomi, yang berhak memperbincangkan masalah ekonomi namun badan ini tidak mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan, hanya sebagai penasihat ekonomi. Anggotanya ditunjuk oleh pemerintah dari berbagai masam golongan ekonomi, sosial, profesi, budaya dan keahlian lain.
Di Italia asas functional representation diperkenalkan oleh Mussolini pada tahun 1926. Perwakilan didasarkan atas golongan ekonomi, dan untuk keperluan itu dibentuk 22 corporation yang masing-masing mewakili satu industri, misalnya industri tekstil. Setiap Corporations mencakup baik golongan pekerja maupun golongan management dalam bidang industri itu.Corporations ini memainkan peranan yang penting. Karena itu Italia  masa itu dinamakan negara Korporatif. Dengan jatunya Mussolini, eksperiment ini juga terhenti.
Di Indonesia sendiri pada masa Orde Baru memiliki perwakilan mandat, yang tergabung dalam MPR. Pada masa Orde Baru, perwakilan yang berasal dari pemilu hanya dibatasi oleh 3 partai, yaitu  Golkar, PPP, dan PDI. Perwakilan yang dimandatkan ialah pasukan ABRI, sehingga pada masa tersebut, keterkaitannya ABRI dengan pemerintah disebut sebagai dwifungsi militer. Tak hanya dalam MPR, ABRI pun masuk ke dalam sistem pemerintahan eksekutif, baik itu sebagai menteri  maupun sebagai gubernur. Selepas kejatuhan Presiden Soeharto, dwifungsi ABRI ini terhenti. Pada masa reformasi kini, Anggota MPR terdiri dari perwakilan setiap daerah (DPD) dan perwakilan dari partai politik yang ditunjuk oleh masyarakat dalam pemilihan umum.
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dewasa ini perwakilan politik merupakan sistem perwakilan yang dianggap paling wajar. Di samping itu beberapa negara merasa bahwa asas functional or occupational representation perlu diperhatikan dan sedapat mungkin diakui kepentingannya di samping sistem perwakilan politik, sebagai cara untuk memasukkan  professional ke dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan umum.

(Satrio Adi I)

Sumber :
Budiardjo Miriam. 2008. Dasar – Dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia


No comments:

Post a Comment