Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat) dan bukan sebuah negara kekuasaan
(machstaat). Konsep negara hukum, baik konsep rule of law maupun konsep
rechtsstaat menempatkan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia sebagai titik sentral. Untuk melindungi hak-hak asasi manusia, konsep
the rule of law mengedepankan prinsip equality before the law dan konsep
rechsstaat mengedepankan prinsip wetmatigheid kemudian menjadi rechtmatigheid.
Hal tersebut membuat setiap penyelengaraan negara dan pemerintahan di Indonesia
selaku negara hukum seyogianya didasarkan pada hukum dengan berorientasi pada
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Demikian pula dalam
upaya pemberantasan korupsi harus tetap berdasarkan atas hukum. Dimana dalam
upaya pemberantasan korupsi oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sebagai
representasi pemerintah, terdapat alat “ampuh” berupa “penyadapan” yang
batas-batas kewenangannya menjadi menarik untuk dielaborasi.
Pada dasarnya “Penyadapan” adalah perbuatan pidana. Setiap orang
dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui
jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun. Barang siapa melakukan penyadapan
maka diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. Oleh
karena itu pada dasarnya dalam pengungkapan suatu tindak pidana, tidak
dibenarkan melakukan penyadapan. Hal ini terkait bewijsvoering dalam hukum
pembuktian. Bewijsvoering adalah sebagai pengujian cara bagaimana menyampaikan
alat-alat bukti ke pada hakim di pengadilan. Parameter ini lebih banyak
digunakan dalam ketentuan KUHAP, yang mana mewajibakan bagi penyelidik,
penyidik dalam mencari alat bukti tidak boleh melawan hukum terhadap hak dan
kepentingan tersangka. Paradoksnya sebagaimana: suatu barang yang dicuri
tidaklah layak untuk dijadikan alat bukti di persidangan atau tidaklah layak
mencuri suatu barang demi menjadikannya alat bukti di persidangan.
Dalam tradisi due process of law dalam sistem peradilan pidana,
perihal bewijsvoering cukup mendapatkan perhatian. Apalagi dalam kaitannya
dengan hak asasi manusia (khusunya hak-hak tersangka) yang mana acap kali
seorang tersangka dibebaskan oleh pengadilan dalam pemeriksaan praperadilan
karena alat bukti diperoleh dengan cara tidak sah atau disebut unlawful legal
evidence.
Ketentuan mengenai hal-hal yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 yang terkait dengan penyadapan ini dapat dilihat pada pasal 31
ayat (1), bahwa termasuk hal yang dilarang: Setiap Orang dengan sengaja dan
tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau
Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain. Akan tetapi dalam perkembangannya,
terdapat pengecualian penyadapan yang boleh dilakukan dalam rangka mengungkap
kejahatan. Sebagaimana pada pasal 31 ayat (3) dan (4) undang-undang tersebut.
Adapun keterkaitannya dengan konsep negara hukum, penyadapan guna mengungkap
suatu kejahatan, sebagai suatu pengecualian, dapat dibenarkan. Hal ini karena
hak-hak konstitusional terait kebebasan untuk berkomunikasi dan mendapat
informasi sebagaimana diatur dalam Pasal 28F dan Pasal 28G Ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bukan termasuk
non-derogable rights.
Setidaknya terdapat empat undang-undang yang memberi kewenangan
khusus itu, yaitu Undang-Undang Psikotropika, Undang-Undang Narkotika,
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan Undang-Undang KPK.
Undang-Undang Psikotropika dan Undang-Undang Narkotika membolehkan penyadapan
telepon dan perekaman pembicaraan harus dengan izin Kepala Kepolisian Republik
Indonesia atau Pejabat yang ditunjuknya , izin ketua pengadilan dan hanya dalam
jangka waktu 30 hari. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
membolehkan penyidik menyadap telepon dan perekaman pembicaraan hanya atas izin
ketua pengadilan negeri dan dibatasi dalam jangka waktu satu tahun. Bandingkan
dengan Undang-Undang KPK yang boleh melakukan penyadapan telepon dan perekaman
pembicaraan dalam mengungkap dugaan suatu kasus korupsi tanpa pengawasan dari
siapa pun dan tanpa dibatasi jangka waktu.
Kewenangan tentunya harus berdasarkan atas dan dibatasi oleh hukum
agar potensi penyalahgunaan wewenangnya tidak malah menjadikan KPK sebagai alat
politik yang diperebutkan. Tulisan ini tidak ingin terlalu jauh berspekulasi
karena tulisan ini berusaha konsisten dalam posisinya sebagai tulisan hukum.
Akan tetapi perlu kewaspadaan akan potensi penyalahgunaan wewenang penyadapan
oleh KPK ini memang urgen untuk dielaborasi lebih jauh dalam pewacanaan revisi
undang-undang KPK. Revisi dalam konteks ini adalah revisi yang justru dalam
rangka memperkuat ‘kekebalan tubuh’ KPK yang rentan terserang ‘penyakit’ abuse
of Power.[1]
No comments:
Post a Comment