Friday, 18 November 2016

Mencuri dari Pencuri: Refleksi Kewenangan Penyadapan oleh KPK

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat) dan bukan sebuah negara kekuasaan (machstaat). Konsep negara hukum, baik konsep rule of law maupun konsep rechtsstaat menempatkan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai titik sentral. Untuk melindungi hak-hak asasi manusia, konsep the rule of law mengedepankan prinsip equality before the law dan konsep rechsstaat mengedepankan prinsip wetmatigheid kemudian menjadi rechtmatigheid. Hal tersebut membuat setiap penyelengaraan negara dan pemerintahan di Indonesia selaku negara hukum seyogianya didasarkan pada hukum dengan berorientasi pada pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Demikian pula dalam upaya pemberantasan korupsi harus tetap berdasarkan atas hukum. Dimana dalam upaya pemberantasan korupsi oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sebagai representasi pemerintah, terdapat alat “ampuh” berupa “penyadapan” yang batas-batas kewenangannya menjadi menarik untuk dielaborasi.

Pada dasarnya “Penyadapan” adalah perbuatan pidana. Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun. Barang siapa melakukan penyadapan maka diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. Oleh karena itu pada dasarnya dalam pengungkapan suatu tindak pidana, tidak dibenarkan melakukan penyadapan. Hal ini terkait bewijsvoering dalam hukum pembuktian. Bewijsvoering adalah sebagai pengujian cara bagaimana menyampaikan alat-alat bukti ke pada hakim di pengadilan. Parameter ini lebih banyak digunakan dalam ketentuan KUHAP, yang mana mewajibakan bagi penyelidik, penyidik dalam mencari alat bukti tidak boleh melawan hukum terhadap hak dan kepentingan tersangka. Paradoksnya sebagaimana: suatu barang yang dicuri tidaklah layak untuk dijadikan alat bukti di persidangan atau tidaklah layak mencuri suatu barang demi menjadikannya alat bukti di persidangan.
Dalam tradisi due process of law dalam sistem peradilan pidana, perihal bewijsvoering cukup mendapatkan perhatian. Apalagi dalam kaitannya dengan hak asasi manusia (khusunya hak-hak tersangka) yang mana acap kali seorang tersangka dibebaskan oleh pengadilan dalam pemeriksaan praperadilan karena alat bukti diperoleh dengan cara tidak sah atau disebut unlawful legal evidence.
Ketentuan mengenai hal-hal yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 yang terkait dengan penyadapan ini dapat dilihat pada pasal 31 ayat (1), bahwa termasuk hal yang dilarang: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain. Akan tetapi dalam perkembangannya, terdapat pengecualian penyadapan yang boleh dilakukan dalam rangka mengungkap kejahatan. Sebagaimana pada pasal 31 ayat (3) dan (4) undang-undang tersebut. Adapun keterkaitannya dengan konsep negara hukum, penyadapan guna mengungkap suatu kejahatan, sebagai suatu pengecualian, dapat dibenarkan. Hal ini karena hak-hak konstitusional terait kebebasan untuk berkomunikasi dan mendapat informasi sebagaimana diatur dalam Pasal 28F dan Pasal 28G Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bukan termasuk non-derogable rights.
Setidaknya terdapat empat undang-undang yang memberi kewenangan khusus itu, yaitu Undang-Undang Psikotropika, Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan Undang-Undang KPK. Undang-Undang Psikotropika dan Undang-Undang Narkotika membolehkan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan harus dengan izin Kepala Kepolisian Republik Indonesia atau Pejabat yang ditunjuknya , izin ketua pengadilan dan hanya dalam jangka waktu 30 hari. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme membolehkan penyidik menyadap telepon dan perekaman pembicaraan hanya atas izin ketua pengadilan negeri dan dibatasi dalam jangka waktu satu tahun. Bandingkan dengan Undang-Undang KPK yang boleh melakukan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan dalam mengungkap dugaan suatu kasus korupsi tanpa pengawasan dari siapa pun dan tanpa dibatasi jangka waktu.
Kewenangan tentunya harus berdasarkan atas dan dibatasi oleh hukum agar potensi penyalahgunaan wewenangnya tidak malah menjadikan KPK sebagai alat politik yang diperebutkan. Tulisan ini tidak ingin terlalu jauh berspekulasi karena tulisan ini berusaha konsisten dalam posisinya sebagai tulisan hukum. Akan tetapi perlu kewaspadaan akan potensi penyalahgunaan wewenang penyadapan oleh KPK ini memang urgen untuk dielaborasi lebih jauh dalam pewacanaan revisi undang-undang KPK. Revisi dalam konteks ini adalah revisi yang justru dalam rangka memperkuat ‘kekebalan tubuh’ KPK yang rentan terserang ‘penyakit’ abuse of Power.[1]





[1] Sumber Hukum Online

No comments:

Post a Comment