Sunday, 20 November 2016

PARODI PARTAI POLITIK

PARODI PARTAI POLITIK


Begitulah realitas yang terjadi
dalam demokrasi pada saat ini. Demokrasi dimanapun identik dengan sistem
perwakilan. Ada beberapa faktor pendorong untuk memilih sistem perwakilan.
Pertama, karena semakin bertambahnya penduduk sehingga tidak memungkinkan lagi
untuk melakukan demokrasi langsung seperti yang terjadi di yunani kuno. Kedua,
karena luasnya suatu daerah atau negara yang menganut sistem demokrasi.
Pilihan untuk model sistem
perwakilan mana yang akan diadopsi oleh suatu negara tentu saja tergantung
kepada kebutuhan negara tersebut, bukan pada sikap latah. Paling tidak ada dua
hal penting yang perlu dicermati oleh sistem perwakilan politik. Menurut Kacung
Maridjan (2006), pertama, sejauh mana para wakil di lembaga perwakilan kita
memiliki tingkat keterwakilan? Jawabannya tidak akan terlepas dari masalah
sistem pemilu. Kedua, sejauh mana para wakil itu mampu membangun relasi lebih
baik dengan mereka yang diwakili atau rakyat umumnya? Jawabannya, terkait
substansi sistem perwakilan.
Sistem pemilu kita saat ini belum
menemukan jati dirinya. Setiap akan pemilu selalu diadakan perombakan. Hasil
dari trial dan error para wakil kita mungkin juga mewakili
masyarakat pemilihnya yang kebingunan dengan konsep demoraksi ala indonesia.
Berbagai kepentingan selalu mempengaruhi sistem yang akan dibentuk.
Tarik-menarik dan tawar-menawar dilakukan untuk memuluskan pencapaian
kekuasaan. Hal ini menjadikan demokrasi kebablasan dan rakyatlah yang selalu
menjadi korban.
Di indonesia, sistem perwakilan
politik dilegitimasi melalui partai politik. Bila kita kembali mencari akar
dari sejarah itu adalah ketika Wakil Presiden Moh. Hatta mengeluarkan maklumat
nomor X pada tanggal 3 november 1945. maklumat itu menyebtkan bahwa,
“pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan adanya
partai-partai itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran faham
yang ada dalam masyarakat”.
Hal itulah yang saat itu terpikirkan
oleh Moh. Hatta ketika itu, tetapi seandainya Hatta masih ada saat ini maka ia
pun harus menangis karena apa yang diimpikannya tidak menjadi kenyataan. Partai
politik hanya menjadi kendaraan mencapai kekuasaan.
Tidak ada lagi saat ini institusi politik yang
memungkinkan untuk mewakili rakyat dalam berdemokrasi di Indonesia. Kalaupun
ada, institusi itu tidak akan memiliki legitimasi yang kuat layaknya partai
politik.

Oleh
karena itulah orang berbondong-bondong masuk kedalam struktural partai.
Partai politik menjadi lapangan
pekerjaan yang empuk bagi pencari kerja. Tidak penting apakah seseorang itu
harus memiliki pendidikan yang relevan dengan latar belakang studinya, karena
bagi mereka politik itu sesuatu yang mudah untuk dipelajari tanpa harus
ditempuh dalam pendidikan yang formal sekalipun.sehingga patutlah kita
mengasihi orang-orang yang mencoba belajar politik melalui pendidikan formal
tetapi tidak memiliki akses kuat untuk menerapkan ilmunya.

Kesadaran politik
Kesadaran politik kemudian muncul seiring dengan
meningkatnya pendidikan politik masyarakat atau pemilih. Pendidikan politik itu
didapatkannya melalui otodidak, bukan arahan yang didapatkannya melalui
institusi politik yang ada. Institusi politik yang ada seperti halnya partai
politik memliki fungsi pendidikan politik, tetapi hanya tertulis indah pada
tataran teori dan Undang-undang yang mengaturnya saja.
Elit partai sibuk mengamankan posisi politiknya. Elit
partai menjadi mesin yang bekerja karena nafsu keserakahan diri mereka sendiri.
Tidak jarang Elit partai yang mendapatkan legitimasi rakyat lupa untuk siapa
mereka bekerja.
Kepercayaan publik (public
trust)
hilang. Dosa-dosa yang dilakukan oleh elit partai politik
mengakibatkan institusi partai politik menjadi tumbal oleh masyarakat atau
pemilih. Ketika pemilu datang lagi, masyarakat mengungkapkan kekecewaan dengan
tidak lagi memilih partai politik itu atau yang lebih cerdas lagi mereka
melakukan golput.
Paradigma terbaru yang mulai berkembang adalah meletakan
posisi golput bukan lagi dikarenakan pendidikan politik pemilih yang lemah,
tapi dikarenaan kesadaran politik mereka yang tinggi. Mereka tau apa yang akan
dilakukan, tau apa hukuman yang akan  diberikan kepada partai politik.
Sayangnya, sikap golput tidak mendapat legitimasi dalam proses politik. Golput
tidak bisa menjadi oposisi dalam institusi politik yang legal. Tetapi, golput
bisa mengukur sejauh mana pendidikan politik pemilih.
Pendidikan politik yang lemah
ternyata berpindah tempat, yaitu pada elit partai politik—sebenarnya dari dulu
tetap seperti ini—elit partai mengalamai konflik horizontal. Antar elit saling
bersaing hanya untuk mencari tanggung jawab yang begitu besar terhadap tuhannya
jika dipandang dalam perspektif agama. Dan bila gagal mencapai puncak kekuasaan
dalam internal partai, maka mereka keluar dari partai dan kembali membuat
partai lagi. Sebuah ironi demokrasi yang sedang  dipertotonkan. Oleh
karena itu, di negara ini untuk mencapai demokrasi sejati hanya angan-angan
saja. Sehingga rakyatnya hanya baru bisa mimpi.

(Satrio Adi I)


No comments:

Post a Comment