Sunday, 20 November 2016

KOMPETENSI ABSOLUTE DAN KOMPETENSI RELATIVE



A. KOMPETENSI ABSOLUTE

Yaitu kewenangan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu dan secara mutlaktidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan  lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kompetensi absolut adalah kewenangan peradilan baik itu peradilan agama, TUN, Militer, umum untuk mengadili suatu perkara berdasarkan jenis perkara.
Kompetensi absolut adalah menyangkut kewenagan badan peradilan apa untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara. Kompetensi absolut dari peradilan umum adalah memeriksa, mengadili, memutuskan, perkara pidana yang dilakukan oleh orang-orang sipil dan perkara perdata, kecuali suatu peraturan perundang-undangan menentukan lain.
Dalam hal ini kompetensi absolute dari PTUN sesuai dengan ketentuan Pasal 4 UU No. 5/1986 adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Keputusan tata usaha Negara yang dapat digugatkan di PTUN adalah sebagaimana yang tersebut dalam : (Pasal 1 angka 3 + Pasal 3) – (Pasal 2 + Pasal 49).
Dengan terhadap keputusan tata usaha Negara yang masuk dalam Pasal 2 UU 5/1986 termasuk perubahannya tidak dapat digugat di PTUN, demikian pula terhadap keputusan yang dikeluarkan sebagaimana tersebut dalam Pasal 49 pengadilan tidak berwenang untuk mengadili.
Berdasarkan penjelasan Undang-undang No. 14 Tahun 1970, pembagian itu berdasarkan pada lingkungan kewenangan yang dimiliki masing-masing berdasarkan diversity jurisdic diction,  kewenangan  tersebut  memberikan  kewenangan  absolut  pada  masing-masing lingkungan peradilan sesuai dengan subject matter of jurisdiction, sehingga masing-masing lingkungan berwenang mengadili sebatas kasus yang dilimpahkan undang-undang kepadanya. Lingkungan kewenangan mengadili itu meliputi : [1]
1)      Peradilan Umum berdasarkan UU No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, memeriksa dan memutus perkara dalam hukum Pidana (umum dan khusus) dan Perdata (umum dan niaga).
2)      Peradilan Agama  berdasarkan  UU No. 7 Tahun 1989  Tentang   Peradilan Agama, memeriksa dan memutus perkara perkawinan, kewarisan, wakaf  dan shadaqah.
3)      Peradilan  Tata  Usaha Negera  berdasarkan   UU No. 5 Tahun 1986  Tentang  Peradilan Tata Usaha Negara, memeriksa dan memutusa sengketa Tata Usaha Negara.
4)      Peradilan  Militer yang  berwenang  memeriksa  dan  memutus  perkara  perkara pidana  yang  terdakwanya  anggota TNI dengan pangkat tertentu.

Kompetensi absolut dari Peradilan Tata Usaha Negara adalah  memeriksa, mengadili, dan memutuskan sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara seseorang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara akibat dikeluarkannya suatu keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian (Pasal 1 ayat 4 UU 09/2004 PTUN) dan tidak dikeluarkannya suatu keputusan yang dimohonkan yang dimohonkan seseorang sampai batas waktu yang ditentukan dalam suatu peraturan perundang-undangan, sedangkan hal itu telah merupakan kewajiban badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan (Pasal 3 UU 09/2004 PTUN).

Pasal 2 UU 5/1986 dan perubahannya disebutkan bahwa tidak termasuk pengertian keputusan Tata Usaha Negara dalam undang-undang adalah:
1.      Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata.
Contoh:
Pemerintah melakukan jual-beli ,wanprestasi , gadai dll perbuatan yang didasarkan pada kaidah hukum perdata kalau ada sengketa PTUN tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus

2.      Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum.
Contoh:
PERDA tentang MIRAS ,maka apabila adap ihak yang merasa dirugikan gugatannya tidak ke PTUN, terus kemana untuk menguji terhadap peraturan perundang-undangan:
a)      DibawahUndang- Undang, yang berwenang menguji adalah Mahkamah Agung.
b)      Undang- Undang ke atas, yang berwenang menguji adalah Mahkamah Konstitusi.

3.      Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan. Jenis keputusan ini adalah keputusan yang belum final sehingga belum memiliki akibat hukum.
Contoh:
Keputusan Walikota Semarang tentang Pemberhentian SEKDA yang klausulnya bahwa “keputusan ini akan berlaku sejak mendapat persetujuan dari Gubernur”, maka ketika keputusan tersebut belum mendapat persetujuan Gubernur maka keputusan itu belum mengikat, sehingga belum memiliki kekuatan hukum.

4.      Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan KUHAP ; KUHP dan peraturan lain yang bersifat hukum pidana.
Contoh:
Keputusan KAPOLRESTABES Pamekasan untuk menangkapsi A karena diduga melakukan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 284 KUHP, maka apabila si A merasa dirugikan upaya pencarian keadilannya bukan ke PTUN namun melalui lembaga praperadilan di PeradilanUmum

5.      Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

6.      Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tatausaha Negara TentaraNasional Indonesia.

7.      Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik dipusat maupun di daerah ,mengenai hasil pemilihan umum.

Sekali lagi PTUN tidak berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa terhadap keputusan- keputusan sebagaimana tersebut dalam Pasal 2 diatas.

Dalam Pasal 49 disebutkan bahwa pengadilan tidak berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan:
a.       Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b.      Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan Negara dan/atau kepentingan masyarakat bersama dan/atau kepentingan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Menyangkut kewenangan badan peradilan apa untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara; sebagaimana diketahui berdasarkan pasal 10 UU 35/1999 kita mengenal 4 (empat) lingkungan peradilan, yakni; peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.[2]
1.      Kompetensi Absolut Dari Peradilan Umum adalah memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara pidana yang dilakukan oleh orang-orang sipil dan perkara perdata, kecuali suatu peraturan perundang-undangan menentukan lain (Pasal 50 UU 2/1999).
2.      Kompetensi Absolut Dari Peradilan Agama adalah memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara-perkara orang yang beragama Islam dalam bidang perkawinan, warisan, wasiat, hibah, waqaf, dan shadaqah (Pasal 49 UU 50/2009).
3.      Kompetensi Absolut Dari Peradilan Militer adalah memeriksa, mengadili, dan memutus perkara-perkara pidana yang dilakuka oleh anggota militer (baik dari angkatan darat, angkatan laut, angkatan udara , dan kepolisian).
4.      Kompetensi absolut dari Peradilan Tata Usaha Negara adalah  memeriksa, mengadili, dan memutuskan sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara seseorang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara akibat dikeluarkannya suatu keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian (Pasal 1 ayat 4 UU 09/2004 PTUN) dan tidak dikeluarkannya suatu keputusan yang dimohonkan yang dimohonkan seseorang sampai batas waktu yang ditentukan dalam suatu peraturan perundang-undangan, sedangkan hal itu telah merupakan kewajiban badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan (Pasal 3 UU 09/2004 PTUN).

Seorang Hakim PTUN harus ekstra cermat mengingat sebuah K. TUN yang digugat memiliki peluang bersinggungan dengan komptensi pengadilan lain. Apalagi saat ini sudah banyak model pengadilan khusus yang terkait dengan keluarnya K. TUN. ” Kompetensi Absolut akan selalu berkaitan dengan titik singgung dengan kompetensi lain ;seperti kompetensi Peradilan Perdata, kompetensi Pengadilan Niaga, Kompetensi pengadilan Pajak dan yang lainnya” urai Kadar Slamet. Lebih jauh menerangkan bahwa dalam kasus-kasus tertentu sering terjadi antara Pengadilan Tata Usaha Negara dengan Badan peradilan lain sama-sama merasa memeriksa dan memutus terhadap obyek gugatan yang sama. Akibatnya sering menimbulkan putusan yang berbeda atau bertentangan satu sama lain. Hal ini muncul karena disebabkan oleh materi yang dipersengketakan penggugat ada titik singgung kewenangan mengadili antara PTUN dengan pengadilan lain;misalnya antara sertifikat tanah dan hak milik.
Untuk mencegah hal tersebut, Hakim Pengawas MA ini memberi rekomendasi pada hakim; Pertama, harus mempu menguasai Kewenangan absolut PTUN; kedua, memahami secara detail subyek atau pihak-pihak yang bersengketa di PTUN; ketiga, memahami secara utuh obyek sengketa yang dapat diperiksa dan diputus oleh PTUN; keempat, harus dikuasai asas-asas hukum yang berlaku di PTUN, seperti hukum administrasi, doktrin, dan yurisprudensi putusan-putusan PERATUN.
Kompetensi absolut berkaitan dengan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara untuk mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau pokok sengketa. Adapun yang menjadi obyek sengketa Tata Usaha Negara adalah Keputusan tata usaha negara sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004.
Kompetensi absolut PTUN adalah sengketa tata usaha negara yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004).
Obyek sengketa Tata Usaha Negara adalah Keputusan tata usaha negara sesuai Pasal 1 angka 3 dan Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004.
Namun ini, ada pembatasan-pembatasan yang termuat dalam ketentuan Pasal-Pasal UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004 yaitu Pasal 2, Pasal 48, Pasal 49 dan Pasal 142. Pembatasan ini dapat dibedakan menjadi : Pembatasan langsung, pembatasasn tidak langsung dan pembatasan langsung bersifat sementara.
1) Pembatasan Langsung
Pembatasan langsung adalah pembatasan yang tidak memungkinkan sama sekali bagi PTUN untuk memeriksa dan memutus sengketa tersebut. Pembatasan langsung ini terdapat dalam Penjelasan Umum, Pasal 2 dan Pasal 49 UU No. 5 Tahun 1986. Berdasarkan Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004 menentukan, bahwa tidak termasuk Keputusan tata usaha negara menurut UU ini :
a.       Keputusan tata usaha negara yang merupakan perbuatan hukum perdata.
b.      Keputusan tata usaha negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum.
c.       Keputusan tata usaha negara yang masih memerlukan persetujuan.
d.      Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana.
e.        Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
f.         Keputusan tata usaha negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia.
g.      Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.
·         Pasal 49, Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara tertentu dalam hal keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu dikeluarkan :
a.       Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b.      Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pembatasan Tidak Langsung
Pembatasan tidak langsung adalah pembatasan atas kompetensi absolut yang masih membuka kemungkinan bagi PT.TUN untuk memeriksa dan memutus sengketa administrasi, dengan ketentuan bahwa seluruh upaya administratif yang tersedia untuk itu telah ditempuh.
Pembatasan tidak langsung ini terdapat di dalam Pasal 48 UU No. 9 Tahun 2004 yang menyebutkan,
(1) Dalam hal suatu Badan atau Pejabat tata usaha negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa tata usaha negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia.
(2) Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya adminisratif yang bersangkutan telah digunakan.
Pembatasan langsung bersifat sementara
Pembatasan ini bersifat langsung yang tidak ada kemungkinan sama sekali bagi PTUN untuk mengadilinya, namun sifatnya sementara dan satu kali (einmalig). Terdapat dalam Bab VI Ketentuan Peralihan Pasal 142 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 yang secara langsung mengatur masalah ini menentukan bahwa, “ Sengketa tata usaha negara yang pada saat terbentuknya Pengadilan menurut UU ini belum diputus oleh Pengadilan menurut UU ini belum diputus oleh Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum tetap diperiksa dan diputus oleh Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum”.

B.     KOMPETENSI RELATIVE

Kompetensi relatif adalah kewenagan dari pengadilan sejenis yang mana yang berwenang untuk memeriksa,mengadili, dan memutus suatu perkara yang bersangkutan. Dalam kaitanya di dalam peradialan tata usaha Negara, maka  kempetensi relatifnya adalah menyangkut kewenagan pengadilan tata usaha mengadili, dan memutus perkara tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, maka di atas pasal 54 UU PTUN menyebutkan gugatan dapat diajukan kepada PTUN tempat kedudukan (domisisli) tergugat. Apabila tergugatnya lebih dari satu, maka gugatan dapat diajukan kepada PTUN dari tempat kedududkan salah satu tergugat.
Kompetensi relatif adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili perkara berdasarkan wilayah perkara.
·         Tingkatan pengadilan :
1.      Pengadilan tingkat Pertama (Pengadilan Negeri)
2.      Pengadilan tingkat Kedua (Pengadilan Tinggi/Banding)
3.      MA/Kasasi
Pengadilan tingkat I dan Tingkat II masih mencari fakta hukum, sedangkan pada MA/Kasasi sudah pada penetapan hukum. Kompetensi relatif adalah kewenangan suatu pengadilan ditentukan berdasarkan wilayah hukum yang menjadi wilayah kewenangannya.
 Gugatan dapat juga diajukan melalui PTUN tempat kedudukan penggugat untuk di teruskan kepada PTUN tempat kedudukan (domosili) dari tergugat. Apabila penggugat dan tergugat berdomisisli di luar negri, sedangkan apabila tergugat berkedudukan di dalam negri, sedangkan penggugat berkedudukan di luar negri, maka gugatan dapat diajukan kepada PTUN tempat kedudukan tergugat.
alam hukum acara perdata,   menurut pasal 118 ayat (1) HIR,  yang berwenang mengadili suatu perkara perdata adalah Pengadilan Negeri (PN) yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal tergugat (actor sequitur forum rei). Mengajukan gugatan pada pengadilan diluar wilayah hukum tempat tinggal tergugat, tidak dibenarkan.
Opsi lainnya adalah gugatan diajukan kepada PN yang wilayah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, yaitu dengan patokan apabila tempat tinggal tergugat tidak diketahui. Agar tidak dapat dimanipulasi oleh penggugat, tidak diketahuinya tempat tinggal tergugat itu perlu mendapat surat keterangan dari pejabat yang bersangkutan yang menyatakan bahwa tempat tinggal tergugat tidak diketahui. Misalnya, surat keterangan dari kepala desa.
Jika obyek gugatan mengenai benda tidak bergerak (benda tetap), misalnya tanah, maka gugatan diajukan kepada PN yang daerah hukumnya meliputi benda tidak bergerak itu berada. Jika keberadaan benda tidak bergerak itu meliputi beberapa wilayah hukum, maka gugatan diajukan ke salah satu PN atas pilihan penggugat.
Kewenangan dari pengadilan sejenis yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang bersangkutan. Dalam kaitannya dengan pengadilan tata usaha negara, maka kompetensi relatifnya adalah menyangkut kewenangan pengadilan tata usaha negara untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tersebut. Apakah itu PTUN Ujung Pandang, Surabaya, Semarang, Bandung, Jakarta, Palembang, Medan, dan sebagainya.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas pasal (54 UU 09/2004 PTUN) menyebutkan gugatan dapat diajukan  kepada PTUN dari tempat kedudukan salah satu tergugat. Gugatan dapat juga diajukan melalui PTUN tempat kedudukan penggugat untuk diteruskan kepada tempat kedudukan (domisili) tergugat. PTUN Jakarta, apabila penggugat dan tergugat berdomisili di luar negeri sedangkan apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri, sedangkan penggugat berkedudukan di luar negeri, maka gugatan dapat diajukan kepada PTUN tempat kedudukan tergugat.
Pengadilan harus menyatakan tidak berwenang untukmemeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara tersebut, apabila bukan menjadi kompetensinya baik secara absolut maupun secara relatif. Kesalahan dalam mengajukan gugatan akan sangat merugikan penggugat tidak hanya dari segi waktu, dan biaya, tetapi yang jauh lebih penting adalah dapat berakibat gugatan menjadi daluwarsa. Sebagaimana diketahui tenggang waktu mengajukan gugatan berdasarkan (pasal 55 09/2004 UU PTUN) hanya dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak saat diterimanya atau diumumkannya keputusan badan atau pejabat tata usaha negara.
Yaitu kewenangan mengadili antar pengadilan dalam satu lingkungan peradilan. Kewenangan tersebut terletak dipengadilan manakah yang berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkaratertentu. Sedangkan kompetensi Relative Peradilan Tata Usaha Negara diaturdalamPasal 54 ayat 1 s/d pasal6 UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyebutkan:
1.      Gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.
Contoh:
Bila Penggugat beralamat di kota Semarang, sedangkan Tergugat adalah Walikota Surabaya, maka menurut ketentuan ayat ini gugatan diajukan di PTUN Surabaya, karena Walikota Surabaya berkedudukan di daerah hukum PTUN Semarang.
2.      Apabila tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum pengadilan, gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salahsatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
Contoh:
Bila Penggugat beralamat di Semarang, sedangkan yang digugat adalah Kepala Kantor Pertanahan Kota Semarang (Tergugat I), Kakanwil BPN Provinsi Jawa Tengah (Tergugat II); Tergugat III (Kepala BPN Pusat); Tergugat IV (Presiden), maka gugatan dapat diajukan di:
a)      PTUN Semarang, yang daerah hukumnya meliputi salah satu Tergugat , atau
b)      PTUN Jakarta, yang daerah hukumnya meliputi salah satuTergugat.
Yang perlu diperhatikan dalam menentukan pengadilan yang akan mengadili adalah kedekatan dengan saksi maupun obyek yang disengketakan.
3.      Dalam hal tempat kedudukan tergugat tidak berada dalam daerah hukum Pengadilan tempat kediaman penggugat, maka gugatan dapat diajukan kepengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan penggugat, untuk selanjutnya diteruskan kepada pengadilan yang bersangkutan.
Contoh:
Penggugat kedudukannya didaerah hukum PTUN Makasar, sedangkan Tergugat kedudukannya di daerah hukum PTUN Semarang, makagugatan dapat diajukan ke PTUN Makasar untuk selanjutnya diteruskan ke PTUN Semarang.
Hal ini karena untuk mengajukan gugatan di PTUN dibatasi waktu, sehingga agar tidak lewat waktu maka dipergunakan pengadilan perantara, hitungan waktunya adalah sejak Penggugat mendaftarkan perkara di pengadilan perantara yaitu PTUN Makasar.
4.      Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa Tata Usaha Negara yang bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, gugatan dapat diajukan kepada pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat.
5.      Apabila penggugat dan tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri, gugatan diajukan kepada pengadilan di Jakarta.
6.      Apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri dan penggugat di luar negeri ,gugatan diajukan kepada pengadilan ditempat kedudukan tergugat.

Wewenang ini berkaitan dengan wilayah hukum suatu pengadilan. Gugatan harus diajukan kepada pengadilan negeri di tempat tergugat tinggal (Actor sequitor forum rei) Psl 118 ayat 1 HIR, Pasal 142 ayat 1 Rbg. Yang berwenang adalah PN tempat tinggal tergugat (Domisili). Contohnya jika penggugat di Yogyakarta dan tergugat berada di Bandung maka gugatan diajukan di PN bandung.
Jika yang digugat lebih dari satu tergugat dan mereka ini tidak tinggal dalam suatu wilayah hukum suatu PN, maka gugatan diajukan ke PN di tempat salah satu seorang tergugat tinggal. Penggugat dapat memilih salah satu (Pasal 118 ayat 2 HIR, Pasal 142 ayat 3 Rbg).
Apabila tergugat itu terdiri dari orang-orang yang berhutang (Debitur) dan penanggung, maka gugatan diajukan kepada PN di tempat orang yang berhutang (Debitur) Pasal 118 ayat 2 HIR dan Pasal 142 ayat 5 Rbg.
Penyimpangan  asas Actor sequitor forum rei  yakni dalam hal tergugat tidak punya tempat tinggal yang dikenal maupun tempat tinggal yang nyata/ apabila tergugat tidak dikenal. Dalam hal ini gugatan diajukan kepada PN di tempat penggugat tinggal. Pasal 118 ayat 3 HIR, Pasal 142 ayat 3 Rbg. Apabila gugatan itu mengenai benda tetap, maka gugatan diajukan kepada pengadulan negeri di tempat benda titu terletak (Forum rei sitae). Hal ini diatur pada pasal 118 ayat 3 HIR, dan Pasal 142 ayat 5 Rg).
Banding administratif adalah dalam hal penyelesaian sengketa KTUN harus dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan yang bersangkutan. Keberatan adalah dalam hal penyelesaian KTUN tersebut harus dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan itu. Dalam prosedur banding administratif dan prosedur keberatan dilakukan penilaian yang lengkap, baik dari segi penerapan hukum maupun dari segi kebijkasanaan oleh instansi yang memutus. Apabila seluruh prosedur dan kesempatan tersebut telah ditempuh dan pihak yang bersangkutan masih tetap belum merasa puas, maka barulah persoalannya dapat digugat dan diajukan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (Pasal 51 ayat (3).
Kompetensi relatif suatu badan pengadilan ditentukan oleh batas daerah hukum yang menjadi kewenangannya. Suatu badan pengadilan dinyatakan berwenang untuk memeriksa suatu sengketa apabila salah satu pihak sedang bersengketa (Penggugat/Tergugat) berkediaman di salah satu daerah hukum yang menjadi wilayah hukum pengadilan itu.
Pengaturan kompetensi relatif peradilan tata usaha negara terdapat dalam Pasal 6 dan Pasal 54 :
Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 menyatakan :
(1) Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota, dan daerah hukumnya meliputi wilayah Kabupaten/Kota.
(2) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah Provinsi.
Untuk saat sekarang PTUN masih terbatas sebanyak 26 dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT.TUN) ada 4 yaitu PT.TUN Medan, Jakarta, Surabaya dan Makasar di seluruh wilayah Indonesia, sehingga PTUN wilayah hukumnya meliputi beberapa kabupaten dan kota. Seperti PTUN Medan wilayah hukumnya meliputi wilayah provinsi Sumatera Utara dan PT.TUN wilayah hukumnya meliputi provinsi-provinsi yang ada di Sumatera.
Adapun kompetensi yang berkaitan dengan tempat kedudukan atau tempat kediaman para pihak, yakni pihak Penggugat dan Tergugat.
Dalam Pasal 54 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004 diatur sebagai berikut :
Gugatan sengketa tata usaha negara diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.
(1) Apabila Tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan, gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
(2) Dalam hal tempat kedudukan Tergugat tidak berada dalam daerah hukum Pengadilan tempat kediaman Penggugat, maka gugatan dapat diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat untuk selanjutnya diteruskan kepada Pengadilan yang bersangkutan.
(3) Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa tata usaha negara yang bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat.
(4) Apabila Penggugat dan Tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di Jakarta.
(5) Apabila Tergugat berkedudukan di dalam negeri dan Penggugat di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat kedudukan Tergugat.
Dengan demikian gugatan pada prinsipnya diajukan ke pengadilan di tempat tergugat dan hanya bersifat eksepsional di tempat penggugat diatur menurut Peraturan Pemerintah. Hanya saja sampai sekarang Peraturan Pemerintah tersebut belum ada.


(Satrio Adi I)

Daftar Pustaka


[1] Hadjon, Philipus M. dkk, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Gadjah Mada University Press, Yogyakara, 2005. hlm.79
[2] Soetami A, Siti, 2005, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Refika Aditama: Bandung.hlm.74

No comments:

Post a Comment