Sunday, 20 November 2016

Pembuktian Dalam PTUN

HUKUM ACARA PTUN
PEMBUKTIAN DALAM PTUN

Dosen : Dr. Fatkhurrohman.,SH.,MH



Disusun oleh :
1.     Muhammad Said (122820812119)
2.     Fahrurozi Aziz (122820802085)
3.     Muh. Deni Silmi
4.     Satrio Adi I



FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS WIDYAGAMA MALANG
TAHUN AKADEMIK 2014/2015


PEMBUKTIAN DALAM PTUN

1.      Definisi dan Teori Pembuktian dalam PTUN
1.1 Definisi Pembuktian
Pokok bahasan mengenai pembuktian mengundang perbedaan pendapat diantara ahli hukum dalam mengklasifikasikannya apakah termasuk kedalam hukum perdata atau hukum acara perdata. Prof. Subekti, S.H. mantan ketua MA dan guru besar hukum perdata pada Universitas Indonesiaberpendapat bahwa sebenarnya soal pembuktian ini lebih tepat diklasifikasikan sebagai hukum acara perdata (procesrecht) dan tidak pada tempatnya di masukkan dalam B.W., yang pada asasnya hanya mengatur hal-hal yang termasuk hukum materil.
Akan tetapi memang ada suatu pendapat, bahwa hukum acara itu dapat dibagi lagi dalam hukum acara materil dan hukum acara formil. Peraturan tentang alat-alat pembuktian, termasuk dalam pembagian yang pertama (hukum acara perdata), yang dapat juga dimasukkan kedalam kitab undang-undang tentang hukum perdata materil. Pendapat ini rupanya yang dianut oleh pembuat undang-undang pada waktu B.W. dilahirkan. Untuk bangsa Indonesia perihal pembuktian ini telah dimasukkan dalam H.I.R., yang memuat hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri. Hukum positif tentang pembuktian (pokok bahasan makalah ini) yang berlaku saat ini di RI terserak dalam HIR dan Rbg baik yang materiil maupun yang formil. Serta dalam BW buku IV yang isinya hanya hukum pembuktian materiil.
Membuktikan menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., guru besar FH-UGM mengandung beberapa pengertian:
1.      Membuktikan dalam arti logis atau ilmiah
Membuktikan berarti memberikan kepastian mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan.
2.      Membuktikan dalam arti konvensionil
Membuktikan berarti memberikan kepastian yang nisbi/relatif sifatnya yang mempunyai tingkatan-tingkatan kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka/bersifat instuitif (conviction intime) kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal (conviction raisonnee)
3.      Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis
Didalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan adanya bukti lawan.
Akan tetapi merupakan pembuktian konvensionil yang bersifat khusus. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang beperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak. Ada kemungkinan bahwa pengakuan, kesaksian atau surat-surat itu tidak benar atau palsu atau dipalsukan. Maka hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan.
Pembuktian secara yuridis tidak lain adalah pembuktian “historis” yang mencoba menetapkan apa yang telah terjadi secara konkreto. Baik pembuktian yang yuridis maupun yang ilmiah, maka membuktikan pada hakekatnya berarti mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar. Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.
Berbeda dengan azas yang terdapat pada hukum acara pidana, dimana seseorang tidak boleh dipersalahkan telah melakukan tindak pidana, kecuali apabila berdasarkan buki-bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa, dalam hukum acara perdata untuk memenangkan seseorang, tidak perlu adanya keyakinan hakim.
Yang penting adalah adanya alat-alat bukti yang sah, dan berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dengan perkataan lain, dalam hukum acara perdata, cukup dengan kebenaran formil saja.
Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh pihak berperkara kepada Hakim dalam persidangan dengan tujuan untuk memperkuat kebenaran dalil tentang fakta hukum yang menjadi pokok sengketa, sehingga Hakim memperoleh kepastian untuk dijadikan dasar putusannya.[1] Pembuktian di atas adalah dalam pengertian yuridis, yang bersifat kemasyarakatan, selalu mengandung ketidakpastian dan tidak akan pernah mencapai kebenaran mutlak. Jadi pembuktian yuridis sifatnya relatif, dalam arti hanya berlaku bagi pihak-pihak berperkara dan pengganti-penggantinya, dan memungkinkan pula terjadinya perbedaan penilaian hasil pembuktian di antara sesama Hakim.[2] Tujuan pembuktian adalah berusaha memberikan kepastian tentang kebenaran fakta hukum yang menjadi pokok sengketa, kepada Hakim.
Guna pembuktian adalah sebagai dasar keputusan Hakim Yang dibuktikan ialah fakta hukum yang menjadi pokok sengketa. Ketentuan mengenai pembuktian dalam hukum acara PTUN diatur dalam pasal 100 sampai dengan pasal 107 UU PTUN.[3]
Dalam literatur lain dikatakan bahwa : Pembuktian adalah tata cara untuk menetapkan terbuktinya fakta yang menjadi dasar dari pertimbangan dalam menjatuhkan suatu putusan. Fakta dimaksud dapat terdiri dari:
a.        Fakta Hukum; yaitu kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang eksistensinya (keberadaannya) tergantung dari penerapan suatu peraturan perundang-undangan.
b.        Fakta Biasa; yaitu kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang juga ikut menentukan adanya fakta hukum tertentu (Indroharto, 1993: 165-186)
Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat mengiginkan kemenangan dalam suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi dasar gugatannya, maka gugatannya akan ditolak, sedangkan apabila berhasil, maka gugatannya akan dikabulkan.
Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, untuk dalil-dalil yang tidak disangkal, apabila diakui sepenuhnya oleh pihak lawan, maka tidak perlu dibuktikan lagi. Beberapa hal/keadaan yang tidak harus dibuktikan antara lain :
a.       hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diakui
b.      hal-hal/keadaan-keadaan yang tidak disangkal
c.       hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diketahui oleh khalayak ramai (notoire feiten/fakta notoir). Atau hal-hal yang secara kebetulan telah diketahui sendiri oleh hakim.
Merupakan fakta notoir, bahwa pada hari Minggu semua kantor pemerintah tutup, dan bahwa harga tanah di jakarta lebih mahal dari di desa. Dalam soal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus membuktikan dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara itu yang akan menentukan siapa diantara pihak-pihak yang berperkara yang akan diwajibkan memberikan bukti, apakah pihak penggugat atau sebaliknya pihak tergugat. Secara ringkas disimpulkan bahwa hakim sendiri yang menentukan pihak yang mana yang akan memikul beban pembuktian. Didalam soal menjatuhkan beban pembuktian, hakim harus bertindak arif dan bijaksana, serta tidak boleh berat sebelah. Semua peristiwa dan keadaan yang konkrit harus diperhatikan dengan seksama olehnya.
Sebagai pedoman, dijelaskan oleh pasal 1865 BW, bahwa: "Barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana dia mendasarkan suatu hak, diwajibkan membuktikan peristiwa-pristiwa itu; sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa guna pembantahan hak orang lain, diwajibkan juga membuktikan peristiwa-peristiwa itu"
1.2  Teori Pembuktian
Dalam soal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus membuktikan dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara itu yang akan menentukan siapa diantara pihak-pihak yang berperkara yang akan diwajibkan memberikan bukti, apakah pihak penggugat atau sebaliknya pihak tergugat. Secara ringkas disimpulkan bahwa hakim sendiri yang menentukan pihak yang mana yang akan memikul beban pembuktian. Didalam soal menjatuhkan beban pembuktian, hakim harus bertindak arif dan bijaksana, serta tidak boleh berat sebelah. Semua peristiwa dan keadaan yang konkrit harus diperhatikan dengan seksama olehnya. Sebagai pedoman, dijelaskan oleh pasal 1865BW, bahwa:      
”Barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana dia mendasarkan suatu hak, diwajibkan membuktikan peristiwa-pristiwa itu; sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa guna pembantahan hak orang lain, diwajibkan juga membuktikan peristiwa-peristiwa itu”
Sekalipun untuk peristiwa yang disengketakan itu telah diajukan pembuktian, namun pembuktian itu masih harus dinilai. Berhubungan dengan menilai pembuktian, hakim dapat bertindak bebas [contoh: hakim tidak wajib mempercayai satu orang saksi saja, yang berarti hakim bebas menilai kesaksiannya (ps. 1782 HIR, 309 Rbg, 1908 BW)] atau diikat oleh undang-undang [contoh: terhadap akta yang merupakan alat bukti tertulis, hakim terikat dalam penilaiannya (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW)].
Terdapat 3 (tiga) teori yang menjelaskan tentang sampai berapa jauhkah hukum positif dapat mengikat hakim atau para pihak dalam pembuktian peristiwa didalam sidang, yaitu:
a)      Teori Pembuktian Bebas
Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian seberapa dapat diserahkan kepada hakim. Teori ini dikehendaki jumhur/pendapat umum karena akan memberikan kelonggaran wewenang kepada hakim dalam mencari kebenaran. Teori ini menghendaki agar penilaian Hakim sedapat mungkin mendekati keadilan, sehingga hakim tidak terlalu terikat dengan alat bukti yang diajukan pihak yang berperkara. Misalnya hakim tidak terikat dengan keterangan saksi, walaupun di persidangan diajukan 100 saksi, dapat saja hakim menilai masih belum terbukti. Dalam hal ini tidak mustahil adanya perbedaan penilaian hasil pembuktian antara sesama hakim, sehingga teori ini mengandung kelemahan, yaitu tidak menjamin adanya kepastian hukum dalam hal penilaian terhadap hasil pembuktian.[4][5]
b)      Teori Pembuktian Terikat
Artinya hakim terikat dengan alat pembuktian yang diajukan oleh pihak berperkara, jadi
harus memberikan putusan selaras dengan alat-alat bukti yang diajukan di persidangan.
Teori ini menghendaki agar penilaian hakim sedapat mungkin memberikan kepastian
hukum, misalnya hakim terikat dengan alat bukti sumpah (utamanya sumpah pemutus)
artinya apabila pihak sudah bersumpah, maka ia dimenangkan perkaranya, sedangkan bila
ia menolak sumpah maka ia dikalahkan. Demikian pula alat bukti surat otentik hanya bisa
digugurkan karena terdapat kepalsuan. Juga dalam menilai keterangan seorang saksi saja
sebagai “Unus Testis Nullus Testis”. Kelemahan teori ini adalah tidak menjamin adanya
keadilan. Teori ini dibagi menjadi 2 macam:
a)      Teori Pembuktian Negatif
Teori ini hanya menghendaki ketentuan-ketentuan yang mengatur larangan-larangan kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim disini dilarang dengan pengecualian (ps. 169 HIR, 306 Rbg, 1905 BW).
b)     Teori Pembuktian Positif
Disamping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada hakim. Disini
hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW).
c)       Teori Pembuktian Gabungan
Artinya Hakim bebas dan terikat dalam menilai hasil pembuktian, misalnya Hakim bebas
menilai suatu alat bukti permulaan, sehingga hakim masih perlu adanya sumpah
tambahan. Bila sumpah tambahan dilakukan, maka hakim terikat menilainya, apabila
tidak disertai sumpah tambahan maka hakim bebas menilai alat bukti permulaan itu.
Dalam penjelasan umum UU Nomor 5 Tahun 1986 angka 5 disebutkan bahwa: Dalam undang-undang ini juga diatur mengenai hukum acara yang digunakan dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara yang mempunyai persamaan dengan hukum acara yang digunakan pada Peradilan Umum untuk perkara perdata, dengan beberapa perbedaan, antara lain:
a.               pada Peradilan Tata Usaha Negara Hakim berperan lebih aktif dalam proses persidangan guna memperoleh kebenaran materiil dan untuk itu undang-undang ini mengarah kepada ajaran pembuktian bebas;
b.               suatu gugatan Tata Usaha Negara pada dasarnya tidak bersifat menunda pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan.
Dari penjelasan umum itu dapat diketahui bahwa ajaran pembuktian dalam Peradilan Tata Usaha Negara adalah ajaran pembuktian bebas, hal ini dikarenakan untuk memperoleh kebenaran materiil dan bukan kebenaran formil. Menurut Sudikno Mertokusumo (1988: 109) ajaran pembuktian bebas atau teori pembuktian bebas adalah ajaran atau teori yang tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga sejauh mana pembuktian dilakukan diserahkan kepada hakim. Namun dengan adanya persyaratan ”untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim (Pasal 107) maka menurut Indiharto (1993: 200) bahwa ajaran pembuktian yang diikuti oleh pembuat undang-undang ini bukan ajaran pembuktian bebas, tetapi ajaran pembuktian bebas terbatas.
Sebagai konsekuensi dari ajaran pembuktian bebas maka Hakim sebagaimana dinyatakan `dalam Pasal 107 dapat menentukan sendiri tentang:
1. Apa yang harus dibuktikan.
Hakim dalam pemeriksaan di sidang pengadilan tidak tergantung atau tidak terikat pada fakta atau hal yang diajukan oleh penggugat atau tergugat, artinya hakim dapat saja menganyampingkan fakta dan hal yang diajukan oleh penggugat atau tergugat. Demikian pula, hakim dapat saja memeriksa lebih lanjut tentang fakta dan hal yang tidak disangkal atau tidak cukup dibantah, apabila fakta dan hal tersebut mempunyai arti yang relevan untuk dijadikan dasar pertimbangan dari hakim dalam menjatuhkan putusan yang pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan belum cukup pasti keadaannya.
2. Siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang harus dibuktikan oleh pihak yang berperkara dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim sendiri.
Dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN, hakim mempunyai kebebasan atau dapat menentukan sendiri yang harus dibebani pembuktian. Siapa yang dibebani pembuktian merupakan masalah pembagian beban pembuktian, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada suatu pihak untuk membuktikan fakta yang menjadi dasar pertimbangan dari hakim dalam menjatuhkan putusan.
Menurut Suparto Wijoyo (1997: 119) hakim dapat saja menerapkan beban pembuktian terbalik atau pembagian beban yang seimbang sesuai dengan kearifan hakim. Sedangkan menurut Indroharto (1993: 192) bahwa kewajiban untuk membuktikan itu tidak ada pada pihak-pihak, tetapi barangsiapa diberi beban untuk membuktikan sesuatu dan tidak melakukannya, akan menanggung suatu resiko bahwa beberapa fakta yang mendukung positanya akan dikesampingkan dan dianggap tidak terbukti.
3. Alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian
Menurut Indroharto (1993: 204) bahwa masing-masing alat bukti sebagaimana ditentukan oleh Pasal 100 ayat (1) mempunyai derajat bobot yang sama, artinya tidak ada tingkat-tingkat mengenai kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti tersebut atau tidak ada perbedaan mengenai kekuatan pembuktian antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain. Namun demikian, hakim mempunyai wewenang untuk memilih alat bukti tertentu di antara alat-alat bukti tersebut dan memberikan penilaian tentang kekuatan pembuktian dari alat bukti tersebut untuk dipergunakan dalam pembuktian.
4. Kekuatan pembuktian alat bukti yang telah diajukan.
Hakim mempunyai wewenang untuk memberikan penilaian terhadap hasil pembuktian dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan Sengketa TUN dengan memperhatikan persyaratan yaitu ”untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim”.
2. Alat Bukti
Pasal 100 UU Nomor 5 Tahun 1986 menyatakan bahwa:
(1) Alat bukti ialah:
  1. surat atau tulisan;
  2. keterangan ahli;
  3. keterangan saksi;
  4. pengakuan para pihak;
  5. pengetahuan hakim.
(2) Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan.
Menurut M. Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya Hukum Acara Perdata menyatakan bahwa alat bukti (bewijsmiddel) adalah suatu hal berupa bentuk dan jenis yang dapat membantu dalam hal memberi keterangan dan penjelasan tentang sebuah masalah perkara untuk membantu penilaian hakim di dalam pengadilan. Jadi, para pihak yang berperkara hanya dapat membuktikan kebenaran dalil gugat dan dalil bantahan maupun fakta-fakta yang mereka kemukakan dengan jenis atau bentuk alat bukti tertentu. Hukum pembuktian yang berlaku di Indonesia sampai saat ini masih berpegang kepada jenis dan alat bukti tertentu saja.
Sebelum kami membahas sesuai dengan tema sub-bab kali ini, kami ingin memaparkan terlebih dahulu perbedaan alat bukti dalam perkara pidana dan perdata. Tidak sama jenis ataupun bentuk alat bukti yang diakui dalam perkara pidana dan perdata. Mengenai alat bukti yang diakui dalam acara perdata diatur dalam undang-undang Perdata Pasal 1866 KUH Perdata, Pasal 164 HIR sedangkan dalam acara pidana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Dari ketentuan pasal tersebut dapat diuraikan jenis-jenis alat bukti yang dipergunakan dalam Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu sebagai berikut:
1. Alat bukti Surat atau Tulisan
Menurut Sudikno Mertokusumo (1988: 116) yang dimaksud dengan surat atau tulisan adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Sengketa Tata Usaha Negara selalu dikaitkan dengan adanya suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Untuk memudahkan pembuktian di persidangan, secara umum ditentukan bahwa keputusan Tata Usaha Negara yang dapat digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara adalah keputusan tertulis atau dalam bentuk surat. Oleh karena itu, surat atau tulisan merupakan salah satu alat bukti yang penting dalam pemriksaan sengketa Tata Usaha Negara (Pasal 101 UPTUN)
Surat sebagai alat bukti terdiri dari 3 jenis, yaitu :
a)      Akta otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk digunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya. Akta otentik merupakan alat bukti yang sempurna, dimana hakim harus mempercayai apa yang tercantum dalam akta tersebut sepanjang tidak ada bukti lain yang menyatakan ketidakbenarannya.
Akta otentik mempunyai tiga macam pembuktian, yaitu :
1)        Kekuatan pembuktian formal.
Membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut;
2)        Kekuatan pembuktian materiil
            Membuktikan para pihak bahwa bena-benar peristiwa yang tersebut di dalam akta tersebut telah terjadi;
3)        Kekuatan mengikat
Membuktikan bahwa antara para pihak dan pihak ketiga, bahwa pada tanggal tersebut dalam akta yang bersangkutan telah menghadap pada pejabat umum tadi dan menerangkan apa yang tertulis di dalam akta tersebut. Karena menyangkut pihak ketiga, maka disebutkan bahwa akta otentik mmempunyai kekuatan pembuktian keluar.
b)   Akta di bawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud digunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya. Kekuatan hukum akta di bawah tangan hamper sama dengan akta otentik, asal saja isi dan tanda tangan yang tercantum di dalamnya diakui oleh pihak-pihak yang membuatnya. Hanya saja akta di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian keluar sebagaimana halnya akta otentik.
c)    Surat-surat lain yang bukan akta adalah alat bukti bebas dimana hakim tidak diharuskan menerima dan mempercayainya.
2. Alat bukti Keterangan Ahli
Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya (Pasal 102 ayat (1)). Hal ini, ditegaskan kembali dalam Pasal 103 ayat (2) yang menyatakan bahwa ” Seorang ahli dalam persidangan harus memberi keterangan baik dengan surat maupun dengan lisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji menurut kebenaran sepanjang pengetahuannya yang sebaik-baiknya”.
Dari kedua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa keterangan dari seorang ahli dapat dijadikan alat bukti, apabila:
- keterangan tersebut disampaikan di depan persidangan;
- keterangan tersebut disampaikan dibawah sumpah atau janji;
- bisa dalam bentuk tertulis maupun lisan; dan
- tentang apa yang ia ketahui berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya
Siapa yang dapat didengar keterangannya sebagai ahli di sidang pengadilan tergantung kepada penunjukan Hakim Ketua Sidang berdasarkan atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena jabatannya. Namun demikian, menurut Pasal 88 ada pengecualian terhadap seseorang yang didengar keterangannya sebagai ahli di depan persidangan, yaitu:
a. Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat kedua dari salah satu pihak yang bersengketa;
b. Istri atau suami salah seorang pihak yang bersengketa meskipun sudah bercerai;
c. Anak yang belum berusia tujuh belas tahun; dan
d. Orang sakit ingatan.
3. Alat Bukti Keterangan Saksi
Pasal 104 menyatakan bahwa ”Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat, atau didengar oleh saksi sendiri”. Dari bunyi pasal tersebut dapat dijelaskan bahwa keterangan saksi adalah keterangan seseorang yang didengar oleh hakim selama pemeriksaan perkara dilakukan, berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat atau didengar sendiri oleh saksi.
Dalam melakukan pemeriksaan terhadap seseorang sebagai saksi juga harus diperhatikan atau berlaku juga ketentuan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 88 undang-undang ini. Disamping itu, walaupun menjadi saksi adalah suatu kewajiban namun seseorang dapat mengundurkan diri sebagai saksi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 89 ayat (1), dengan alasan:
a. Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak;
b. Setiap orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya diwajibkan merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan martabat, pekerjaan itu. Yang menentukan ada atau tidak adanya dasar kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu tersebut diserahkan kepada pertimbangan hakim (Pasal 89 ayat (2)).
Menurut Pasal 104 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan hal yang dialami, dilakukan atau didengar oleh saksi sendiri.
            Kehadiran saksi di pengadilan adalah atas permintaan salah satu pihak atau karena jabatannya hakim ketua sidang dapat memerintahkan seorang saksi untuk didengar dalam persidangan. Bila seorang saksi telah dipanggil secara patut ternyata tidak hadir dalam persidangan tanpa suatu alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan hakim cukup pula alasan untuk menyangka bahwa saksi tadi sengaja tidak dating, maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi dibawa oleh polisi ke persidangan.
            Seandainya seorang saksi tidak bertempat tinggal di daearh hukum pengadilan yang bersangkutan saksi tersebut diwajibkan dating ke persidangan. Dalam hal ini pemeriksaan saksi dapat dilakukan di Pengadilan Tata Usaha Negara yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman saksi. Bilamana seorang saksi tidak dapat hadir di persidangan karena halangan yang dapat dibenarkan oleh hukum, misalnya saksi sudah sangat uzur karena tua, atau menderita penyakit yang menyebabkan ia tidak dapat hadir di persidangan, hakim bersama dengan panitera dating ketempat kediaman saksi yang bersangkutan untuk mendengar keterangannya.
            Pemeriksaan saksi dilakukan dengan memanggil saksi ke persidangan seorang demi seorang. Setelah saksi berada di hadapan sidang, hakim ketua sidang menanyakan kepada saksi identitasnya, yaitu nama lengkap, tempat lahir, tempat tinggal, agama atau kepercayaan, pekerjaan, derajat hubungan keluarga dan hubungan kerja dengan tergugat ataupun penggugat. Sebelum memberikan keterangan di persidangan seorang saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya, dengan dihadiri oleh pihak yang bersengketa. Dan apabila para pihak telah dipanggil secara patut ternyata tidak hadir di persidangan tanpa suatu alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, maka saksi dapat didengar keterangannya tanpa hadirnya pihak yang bersengketa.
            Menurut Pasal 88 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yang tidak boleh didengar sebagai saksi adalah :
  1. Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat kedua dari salah satu pihak yang bersengketa;
  2. Istri atau suami salah satu pihak yang bersengketa meskipun sudah bercerai
  3. Anak yang belum berusia 17 tahun
  4. Orang sakit ingatan
            Disamping itu ada juga orang yang dapat diminta pengunduran diri dari kewajiban untuk menjadi saksi, yaitu :
  1. Saudara laki-laki atau perempuan, ipar laki-laki atau perempuan dari salah satu pihak
  2. Setiap orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya diwajibkan merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan martabat, pekerjaan dan jabatannya.
            Setelah saksi mengucapkan sumpah dan janjinya menurut agama dan kepercayaannya, barulah dapat diajukan pertanyaan-pertanyaan kepadanya oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan pertanyaan ini disampaikan melalui hakim ketua sidang. Dan hakim ketua sidang dapat menolak suatu pertanyaan tersebut menurut pertimbangannya tidak ada kaitannya dengan sengketa yang sedang diperiksa.
            Dalam hal saksi, demikian juga penggugat dalam keadaan bisu atau tuli dan tidak dapat menulis, hakim ketua sidang dapat pula mengangkat orang yang pandai bergaul dengan mereka sebagai juru bahasa. Juru bahasa ini harus juga mengucapkan sumpah atau janji menurut agama dan kepercayaannya sebelum melaksanakan tuga sebagai juru bahasa.
            Selanjutnya dalam Pasal 93 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, menyebutkan bahwa pejabat yang dipanggil sebagai saksi wajib dating sendiri di persidangan. Biaya perjalanan pejabat yang dipanggil sebagai saksi di persidangan tidak dibebankan sebagai biaya perkara. Hal ini perlu ditegaskan mengingat saksi pejabat yang dipanggil ini tidak sama halnya dengan saksi biasa, kalau saksi biasa hadir di persidangan dengan biaya yang dibebankan pada biaya perkara, terkecuali bila salah satu pihak memerlukan lebih dari 5 orang saksi, maka biaya untuk kelebihannya itu ditanggung sendiri oleh pihak yang memerlukan, walaupun seandainya dia dimenangkan dalam sengketa tersebut. Dalam hal ini kehadiran pejabat sebagai saksi di persidangan adalah karena jabatannya, maka biaya seyogyanya ditanggung oleh instansi yang bersangkutan.
Dalam menilai kesaksian saksi ini, hakim diharuskan memperhatikan pasal 172 HIR/309 RBg yang menentukan kriteria penilaian yaitu:[5][9]
a. hubungan kesaksian-kesaksian apakah berdiri sendiri atau ada hubungan (kecocokannya)
b. perikehidupan, adat dan martabat saksi
c. alasan apa sehingga kesaksian itu diberikan
Sedangkan cara memeriksa saksi di depan persidangan telah ditentukan oleh pasal 144 HIR/171 RBg dan pasal 147 HIR/175 RBg, yaitu:[6][10]
a) pasal 144 HIR/171 RBg menentukan:
-  saksi diperiksa satu persatu
-  ditanya identitas, nama, pekerjaan, umur, dan tempat tinggal
- ditanya apakah saksi ada hubungan keluarga/pekerjaan dengan pihak-pihak berperkara
b) pasal 147 HIR/175 RBg menentukan:
-  ditanya kesediaannya sebagai saksi atau minta dibebaskan menjadi saksi bagi mereka yang termasuk pasal 146 HIR/174 RBg
-  saksi disumpah atau berjanji sebelum memberikan keterangannya. Apabila saksi tidak mau disumpah atau tidak mau memberi keterangannya makaatas permintaan dan biaya pihak berperkara, Hakim dapat memerintahkan saksi disandera paling lama 3 bulan (HIR) atau sampai putusan dijatuhkan (RBg)
c) pasal 150 HIR/178 RBg menentukan:[7][11]
-  para pihak beperkara dapat mengajukan pertanyaan kepada saksi melalui hakim, yakni hal-hal yang relevan dengan pokok perkara.
-  hakim sendiri dapat mengajukan pertanyaan kepada saksi
Selanjutnya, undang-undang menetapkan bahwa keterangan satu saksi tidak cukup. Artinya, hakim tidak boleh mendasarkan putusan tentang kalah menangnya suatu pihak atas keterangannya satu saksi saja. Jadi kesaksian itu selalu harus ditambah dengan suatu alat pembuktian lain.
4. Alat Bukti Pengakuan Para Pihak
Yang dimaksud dengan pengakuan para pihak adalah pengakuan para pihak yang diberikan pada waktu pemeriksaan di sidang pengadilan. Pengakuan itu menyangkut keterangan sepihak yang membenarkan peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh pihak lawan. Menurut Pasal 105 dinyatakan bahwa ”Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh hakim”.
Suatu pengakuan baru bisa diterima sebagai suatu bukti yang sempurna kalau diberikan di muka hakim (persidangan). Pengakuan yang diberikan di luar sidang tidak dapat diterima sebagai suatu bukti yang mengikat, hanya sebagai bukti bebas, terserah kepada hakim untuk menerima atau tidak menerimanya.
5. Alat Bukti Pengetahuan Hakim
Pasal 106 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pengetahuan hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya. Salah satunya adalah hal-hal yang terjadi selama pemeriksaan oleh Hakim tersebut, seperti hasil pemeriksaan setempat. Jadi dalam hal ini tidak termasuk pengetahuan hakim hal-hal yang diberitahukan kepada hakim oleh para pihak. Pengetahuan hakim ini sangat berguna untuk menambah keyakinan hakim agar dapat member putusan terhadap suatu sengketa yang diadilinya.
B.1 Kewenangan Hakim Dalam Pembuktian
Adalah menetapkan hubungan hukum yang sebenarnya antara para pihak yang bersengketa yang harus dibuktikan dalam sidang pengadilan. Yang harus dibuktikan adalah semua peristiwa serta hak yang dikemukakan salah satu pihak yang kebenarannya dibantah pihak lain. Hakim memberi kesempatan Penggugat terlebih dahulu membuktikan kebenaran dalil gugatannya. Kemudian,Tergugat diberikan kesempatan untuk buktikan kebenaran dalil sangkalan / bantahannya Kewenangan hakim dalam pembuktian menentukan apa yg harus dibuktikan, beban pembuktian, menentukan alat bukti, penilaian pembuktian
Sebagai konsekuensi dari ajaran pembuktian bebas maka Hakim sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 107 dapat menentukan sendiri tentang:
  1. Apa yang harus dibuktikan.
Hakim dalam pemeriksaan di sidang pengadilan tidak tergantung atau tidak terikat pada fakta atau hal yang diajukan oleh penggugat atau tergugat, artinya hakim dapat saja menganyampingkan fakta dan hal yang diajukan oleh penggugat atau tergugat. Demikian pula, hakim dapat saja memeriksa lebih lanjut tentang fakta dan hal yang tidak disangkal atau tidak cukup dibantah, apabila fakta dan hal tersebut mempunyai arti yang relevan untuk dijadikan dasar pertimbangan dari hakim dalam menjatuhkan putusan yang pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan belum cukup pasti keadaannya.
  1. Siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang harus dibuktikan oleh pihak yang berperkara dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim sendiri.
Dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN, hakim mempunyai kebebasan atau dapat menentukan sendiri yang harus dibebani pembuktian. Siapa yang dibebani pembuktian merupakan masalah pembagian beban pembuktian, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada suatu pihak untuk membuktikan fakta yang menjadi dasar pertimbangan dari hakim dalam menjatuhkan putusan.
Menurut Suparto Wijoyo (1997: 119) hakim dapat saja menerapkan beban pembuktian terbalik atau pembagian beban yang seimbang sesuai dengan kearifan hakim. Sedangkan menurut Indroharto (1993: 192) bahwa kewajiban untuk membuktikan itu tidak ada pada pihak-pihak, tetapi barangsiapa diberi beban untuk membuktikan sesuatu dan tidak melakukannya, akan menanggung suatu resiko bahwa beberapa fakta yang mendukung positanya akan dikesampingkan dan dianggap tidak terbukti.
  1. Alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian
Menurut Indroharto (1993: 204) bahwa masing-masing alat bukti sebagaimana ditentukan oleh Pasal 100 ayat (1) mempunyai derajat bobot yang sama, artinya tidak ada tingkat-tingkat mengenai kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti tersebut atau tidak ada perbedaan mengenai kekuatan pembuktian antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain. Namun demikian, hakim mempunyai wewenang untuk memilih alat bukti tertentu di antara alat-alat bukti tersebut dan memberikan penilaian tentang kekuatan pembuktian dari alat bukti tersebut untuk dipergunakan dalam pembuktian.
  1. Kekuatan pembuktian alat bukti yang telah diajukan.
Hakim mempunyai wewenang untuk memberikan penilaian terhadap hasil pembuktian dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan Sengketa TUN dengan memperhatikan persyaratan yaitu ”untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim”.
B.2 Penilaian hasil pembuktian (Pasal 107)
  • Kebenaran Materil
Hakim aktif, Pengetahuan hakim, “siapa yang mendalilkan sesuatu, dialah yang harus membuktikan.
  • Bebas yang terbatas
Hakim bebas menentukan luas pembuktian tanpa bergantung fakta  dan hal yang diajukan  para pihak.
Hakim  terikat alat bukti yg ditentukan secara limitatif (Pasal 100 ) dan sahnya pembuktian minimal 2 alat bukti  dan keyakinan hakim.
B.3 Arti Membuktikan
Pembuktian (khusus untuk perkara didepan sidang) :
– Adanya suatu sengketa TUN
– Adanya pelanggarann hak seseorang
Subekti : meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yg dikemukakan dalam suatu persengketaan
Supomo : arti luas, membenarkan hubungan hukum (memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat ada dua alat bukti yang sah)
arti terbatas : apa yang dikemukakan penggugat dibantah perlu diselidiki, jika tidak dibantah tidak perlu diselidiki.
Mukti Arto : Mempertimbangkan secara logis kebenaran suatu fakta/peristiwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan menurut hukum pembuktian yang berlaku
Suatu cara yang dilakukan oleh yang berperkara untuk memberikan dasar kepada hakim tentang kepastian kebenaran suatu peristiwa yang telah didalilkan.
B.4 Tujuan Pembuktian
Memberikan kepastian kepada hakim, tentang peristiwa-peristiwa tertentu. Dari peristiwa dalam sidang, hakim akan memberikan tanda/sebutan dan menyusun bangunan hukum selanjutnya menyusun putusan atas dasar pembuktian tersebut.
B.5 Asas Pembuktian
Barangsiapa mengatakan ia mempunyai hak atau ia menyebut suatu perbuatan untuk menguatkan hak itu, atau untuk membantah hak orang itu, harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu.
Apabila dalil suatu hak atau peristiwa itu disangkal, maka pihak yang mendalilkan suatu hak atau pertiwa itu harus membuktikan.(Pasal 163 HIR)
B.6 Apa yang harus dibuktikan
UU Nomor 5 Tahun 1986 angka 5 disebutkan bahwa:
Dalam undang-undang ini juga diatur mengenai hukum acara yang digunakan dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara yang mempunyai persamaan dengan hukum acara yang digunakan pada Peradilan Umum untuk perkara perdata, dengan beberapa perbedaan, antara lain:
  1. Pada Peradilan Tata Usaha Negara Hakim berperan lebih aktif dalam proses persidangan guna memperoleh kebenaran materiil dan untuk itu undang-undang ini mengarah kepada ajaran pembuktian bebas;
  2. Suatu gugatan Tata Usaha Negara pada dasarnya tidak bersifat menunda pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan.
Dari penjelasan umum itu dapat diketahui bahwa ajaran pembuktian dalam Peradilan Tata Usaha Negara adalah ajaran pembuktian bebas, hal ini dikarenakan untuk memperoleh kebenaran materiil dan bukan kebenaran formil. Menurut Sudikno Mertokusumo (1988: 109) ajaran pembuktian bebas atau teori pembuktian bebas adalah ajaran atau teori yang tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga sejauh mana pembuktian dilakukan diserahkan kepada hakim. Namun dengan adanya persyaratan ”untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim (Pasal 107) maka menurut Indiharto (1993: 200) bahwa ajaran pembuktian yang diikuti oleh pembuat undang-undang ini bukan ajaran pembuktian bebas, tetapi ajaran pembuktian bebas terbatas.
Peristiwa atau segala sesuatu yang berkembang dalam sidang, bukan mengenai hukum
(Hukumnya tidak perlu dibuktikan oleh Penggugat dan Tergugat, tugas Hakim secara jabatan dianggap diketahui dan diterapkan hakim (ius curtia novit). Ada peristiwa yang diakui dan disangkal)
Hakim menemukan dan menentukan fakta-fakta relevan, Hakim memberikan sebutan terhadap fakta-fakta , Hakim membuat bangunan hukum (kontruksi yuridis)
B.7 Sistematika isi surat gugatan
Identitas dan Kedudukan Para Pihak
(Nama, Umur, Pekerjaan & Tempat Tinggal)
POSITA
*  Fakta Peristiwa (Duduk Perkara)
*  Fakta Hukum (Dasar Yuridis)
PETITUM
* Tuntutan Pokok (Primair & Subsidair)
* Tuntutan Tambahan
B.8 Yang Tidak Perlu Dibuktikan
  • Putusan Verstek (Hanya dilihat melawan hukum atau tidak beralasan)
  • Gugatan diakui pihak lawan
  • Penglihatan hakim didepan sidang
  • Peristiwa yang diketahui okeh umum
B.9 Beban Pembuktian
Siapa yang diberikan beban :
– Pihak Penggugat
– Pihak Tergugat
Apabila dalil gugatan dibantah penggugat, maka penggugat wajib membuktikan dan tergugat wajib membuktikan bantahannya. Kedua belah pihak (penggugat dan tergugat) tidak wajib membuktikan kebenaran bantahan masing-masing. Penggugat yang tidak dapat membuktikan peristiwa yang diajukan wajib dikalahkan, tergugat yang tidak dapat membuktikan bantahannya wajib dikalahkan.

Di dalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan adanya bukti lawan. Akan tetapi merupakan pembuktian konvensionil yang bersifat khusus. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang beperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak.
Ada kemungkinan bahwa pengakuan, kesaksian atau surat-surat itu tidak benar atau palsu atau dipalsukan. Maka hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan. Pembuktian secara yuridis tidak lain adalah pembuktian ”historis” yang mencoba menetapkan apa yang telah terjadi secara konkreto. Baik pembuktian yang yuridis maupun yang ilmiah, maka membuktikan pada hakekatnya berarti mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar. Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Berbeda dengan azas yang terdapat pada hukum acara pidana, dimana seseorang tidak boleh dipersalahkan telah melakukan tindak pidana, kecuali apabila berdasarkan bukti-bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa, dalam hukum acara PTUN untuk memenangkan seseorang, tidak perlu adanya keyakinan hakim. Yang penting adalah adanya alat-alat bukti yang sah, dan berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dengan perkataan lain, dalam hukum acara PTUN, cukup dengan kebenaran formil saja,




Daftar Pustaka:


[1] R. Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1995, cet. XI, hal. 2
[2] Bachtiar Effendie, dkk., Surat Gugatan dan Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991, hal.
[3] Ibid




No comments:

Post a Comment