HUKUM ACARA PTUN
PEMBUKTIAN DALAM PTUN
Dosen : Dr. Fatkhurrohman.,SH.,MH
Disusun oleh :
1.
Muhammad
Said (122820812119)
2.
Fahrurozi
Aziz (122820802085)
3.
Muh.
Deni Silmi
4.
Satrio Adi I
FAKULTAS
HUKUM
UNIVERSITAS
WIDYAGAMA MALANG
TAHUN
AKADEMIK 2014/2015
PEMBUKTIAN
DALAM PTUN
1.
Definisi
dan Teori Pembuktian dalam PTUN
1.1 Definisi Pembuktian
Pokok bahasan mengenai pembuktian mengundang perbedaan pendapat
diantara ahli hukum dalam mengklasifikasikannya apakah termasuk kedalam hukum
perdata atau hukum acara perdata. Prof. Subekti, S.H. mantan ketua MA dan guru
besar hukum perdata pada Universitas Indonesiaberpendapat bahwa sebenarnya soal
pembuktian ini lebih tepat diklasifikasikan sebagai hukum acara perdata
(procesrecht) dan tidak pada tempatnya di masukkan dalam B.W., yang pada
asasnya hanya mengatur hal-hal yang termasuk hukum materil.
Akan tetapi memang ada suatu pendapat, bahwa hukum acara itu dapat
dibagi lagi dalam hukum acara materil dan hukum acara formil. Peraturan tentang
alat-alat pembuktian, termasuk dalam pembagian yang pertama (hukum acara
perdata), yang dapat juga dimasukkan kedalam kitab undang-undang tentang hukum
perdata materil. Pendapat ini rupanya yang dianut oleh pembuat undang-undang
pada waktu B.W. dilahirkan. Untuk bangsa Indonesia perihal pembuktian ini telah
dimasukkan dalam H.I.R., yang memuat hukum acara yang berlaku di Pengadilan
Negeri. Hukum positif tentang pembuktian (pokok bahasan makalah ini) yang
berlaku saat ini di RI terserak dalam HIR dan Rbg baik yang materiil maupun
yang formil. Serta dalam BW buku IV yang isinya hanya hukum pembuktian
materiil.
Membuktikan menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., guru
besar FH-UGM mengandung beberapa pengertian:
1.
Membuktikan dalam arti logis atau ilmiah
Membuktikan berarti
memberikan kepastian mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak
memungkinkan adanya bukti lawan.
2.
Membuktikan dalam arti konvensionil
Membuktikan berarti
memberikan kepastian yang nisbi/relatif sifatnya yang mempunyai
tingkatan-tingkatan kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka/bersifat
instuitif (conviction intime) kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal
(conviction raisonnee)
3.
Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti
yuridis
Didalam ilmu hukum tidak
dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi setiap
orang serta menutup segala kemungkinan adanya bukti lawan.
Akan tetapi merupakan pembuktian konvensionil yang bersifat
khusus. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang
beperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian
dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak. Ada kemungkinan bahwa
pengakuan, kesaksian atau surat-surat itu tidak benar atau palsu atau
dipalsukan. Maka hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan.
Pembuktian secara yuridis tidak lain adalah pembuktian “historis”
yang mencoba menetapkan apa yang telah terjadi secara konkreto. Baik pembuktian
yang yuridis maupun yang ilmiah, maka membuktikan pada hakekatnya berarti
mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap
benar. Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberikan dasar-dasar
yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna
memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.
Berbeda dengan azas yang terdapat pada hukum acara pidana, dimana
seseorang tidak boleh dipersalahkan telah melakukan tindak pidana, kecuali
apabila berdasarkan buki-bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan tentang
kesalahan terdakwa, dalam hukum acara perdata untuk memenangkan seseorang,
tidak perlu adanya keyakinan hakim.
Yang penting adalah adanya alat-alat bukti yang sah, dan
berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan tentang
siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dengan perkataan lain, dalam hukum
acara perdata, cukup dengan kebenaran formil saja.
Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah
menurut hukum oleh pihak berperkara kepada Hakim dalam persidangan dengan
tujuan untuk memperkuat kebenaran dalil tentang fakta hukum yang menjadi pokok
sengketa, sehingga Hakim memperoleh kepastian untuk dijadikan dasar putusannya.[1]
Pembuktian
di atas adalah dalam pengertian yuridis, yang bersifat kemasyarakatan, selalu
mengandung ketidakpastian dan tidak akan pernah mencapai kebenaran mutlak. Jadi
pembuktian yuridis sifatnya relatif, dalam arti hanya berlaku bagi pihak-pihak
berperkara dan pengganti-penggantinya, dan memungkinkan pula terjadinya
perbedaan penilaian hasil pembuktian di antara sesama Hakim.[2] Tujuan
pembuktian adalah berusaha memberikan kepastian tentang kebenaran fakta hukum
yang menjadi pokok sengketa, kepada Hakim.
Guna pembuktian adalah sebagai dasar keputusan Hakim Yang
dibuktikan ialah fakta hukum yang menjadi pokok sengketa. Ketentuan
mengenai pembuktian dalam hukum acara PTUN diatur dalam pasal 100 sampai dengan
pasal 107 UU PTUN.[3]
Dalam
literatur lain dikatakan bahwa : Pembuktian adalah tata cara untuk menetapkan
terbuktinya fakta yang menjadi dasar dari pertimbangan dalam menjatuhkan suatu
putusan. Fakta dimaksud dapat terdiri dari:
a.
Fakta Hukum; yaitu
kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang eksistensinya (keberadaannya)
tergantung dari penerapan suatu peraturan perundang-undangan.
b.
Fakta Biasa; yaitu
kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang juga ikut menentukan adanya fakta
hukum tertentu (Indroharto, 1993: 165-186)
Dalam suatu proses perdata, salah
satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang
menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang
harus terbukti apabila penggugat mengiginkan kemenangan dalam suatu perkara.
Apabila penggugat tidak berhasil membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi dasar
gugatannya, maka gugatannya akan ditolak, sedangkan apabila berhasil, maka
gugatannya akan dikabulkan.
Tidak semua dalil yang menjadi dasar
gugatan harus dibuktikan kebenarannya, untuk dalil-dalil yang tidak disangkal,
apabila diakui sepenuhnya oleh pihak lawan, maka tidak perlu dibuktikan lagi.
Beberapa hal/keadaan yang tidak harus dibuktikan antara lain :
a.
hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diakui
b.
hal-hal/keadaan-keadaan yang tidak disangkal
c.
hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diketahui oleh khalayak
ramai (notoire feiten/fakta notoir). Atau hal-hal yang secara kebetulan telah
diketahui sendiri oleh hakim.
Merupakan
fakta notoir, bahwa pada hari Minggu semua kantor pemerintah tutup, dan bahwa
harga tanah di jakarta lebih mahal dari di desa. Dalam soal
pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus membuktikan dalilnya.
Hakim yang memeriksa perkara itu yang akan menentukan siapa diantara
pihak-pihak yang berperkara yang akan diwajibkan memberikan bukti,
apakah pihak penggugat atau sebaliknya pihak tergugat. Secara ringkas
disimpulkan bahwa hakim sendiri yang menentukan pihak yang mana yang akan memikul
beban pembuktian. Didalam soal menjatuhkan beban pembuktian, hakim harus
bertindak arif dan bijaksana, serta tidak boleh berat sebelah. Semua peristiwa
dan keadaan yang konkrit harus diperhatikan dengan seksama olehnya.
Sebagai
pedoman, dijelaskan oleh pasal 1865 BW, bahwa: "Barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana dia
mendasarkan suatu hak, diwajibkan membuktikan peristiwa-pristiwa itu;
sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa guna pembantahan hak
orang lain, diwajibkan juga membuktikan peristiwa-peristiwa itu"
1.2
Teori
Pembuktian
Dalam soal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus
membuktikan dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara itu yang akan menentukan
siapa diantara pihak-pihak yang berperkara yang akan diwajibkan memberikan
bukti, apakah pihak penggugat atau sebaliknya pihak tergugat. Secara ringkas
disimpulkan bahwa hakim sendiri yang menentukan pihak yang mana yang akan
memikul beban pembuktian. Didalam soal menjatuhkan beban pembuktian, hakim
harus bertindak arif dan bijaksana, serta tidak boleh berat sebelah. Semua
peristiwa dan keadaan yang konkrit harus diperhatikan dengan seksama olehnya.
Sebagai pedoman, dijelaskan oleh pasal 1865BW, bahwa:
”Barang siapa mengajukan
peristiwa-peristiwa atas mana dia mendasarkan suatu hak, diwajibkan membuktikan
peristiwa-pristiwa itu; sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa
guna pembantahan hak orang lain, diwajibkan juga membuktikan
peristiwa-peristiwa itu”
Sekalipun untuk peristiwa yang disengketakan itu telah diajukan pembuktian,
namun pembuktian itu masih harus dinilai. Berhubungan dengan menilai
pembuktian, hakim dapat bertindak bebas [contoh: hakim tidak wajib mempercayai
satu orang saksi saja, yang berarti hakim bebas menilai kesaksiannya (ps. 1782
HIR, 309 Rbg, 1908 BW)] atau diikat oleh undang-undang [contoh: terhadap akta
yang merupakan alat bukti tertulis, hakim terikat dalam penilaiannya (ps. 165
HIR, 285 Rbg, 1870 BW)].
Terdapat 3 (tiga) teori yang menjelaskan tentang sampai berapa jauhkah
hukum positif dapat mengikat hakim atau para pihak dalam pembuktian peristiwa
didalam sidang, yaitu:
a)
Teori Pembuktian Bebas
Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim,
sehingga penilaian pembuktian seberapa dapat diserahkan kepada hakim. Teori ini
dikehendaki jumhur/pendapat umum karena akan memberikan kelonggaran wewenang
kepada hakim dalam mencari kebenaran. Teori
ini menghendaki agar penilaian Hakim sedapat mungkin mendekati keadilan,
sehingga hakim tidak terlalu terikat dengan alat bukti yang diajukan pihak yang
berperkara. Misalnya hakim tidak terikat dengan keterangan saksi, walaupun di
persidangan diajukan 100 saksi, dapat saja hakim menilai masih belum terbukti. Dalam hal ini tidak mustahil adanya perbedaan
penilaian hasil pembuktian antara sesama hakim, sehingga teori ini mengandung
kelemahan, yaitu tidak menjamin adanya kepastian hukum dalam hal penilaian
terhadap hasil pembuktian.[4][5]
b)
Teori Pembuktian
Terikat
Artinya
hakim terikat dengan alat pembuktian yang diajukan oleh pihak berperkara, jadi
harus
memberikan putusan selaras dengan alat-alat bukti yang diajukan di persidangan.
Teori
ini menghendaki agar penilaian hakim sedapat mungkin memberikan kepastian
hukum,
misalnya hakim terikat dengan alat bukti sumpah (utamanya sumpah pemutus)
artinya
apabila pihak sudah bersumpah, maka ia dimenangkan perkaranya, sedangkan bila
ia
menolak sumpah maka ia dikalahkan. Demikian pula alat bukti surat otentik hanya
bisa
digugurkan
karena terdapat kepalsuan. Juga dalam menilai keterangan seorang saksi saja
sebagai
“Unus Testis Nullus Testis”. Kelemahan teori ini adalah tidak
menjamin adanya
keadilan.
Teori ini dibagi menjadi 2 macam:
a) Teori Pembuktian Negatif
Teori ini hanya menghendaki ketentuan-ketentuan yang mengatur
larangan-larangan kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan
pembuktian. Jadi hakim disini dilarang dengan pengecualian (ps. 169 HIR, 306
Rbg, 1905 BW).
b) Teori Pembuktian Positif
Disamping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada
hakim. Disini
hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW).
c) Teori
Pembuktian Gabungan
Artinya Hakim bebas dan
terikat dalam menilai hasil pembuktian, misalnya Hakim bebas
menilai suatu alat bukti
permulaan, sehingga hakim masih perlu adanya sumpah
tambahan. Bila sumpah
tambahan dilakukan, maka hakim terikat menilainya, apabila
tidak disertai sumpah
tambahan maka hakim bebas menilai alat bukti permulaan itu.
Dalam
penjelasan umum UU Nomor 5 Tahun 1986 angka 5 disebutkan bahwa: Dalam undang-undang
ini juga diatur mengenai hukum acara yang digunakan dalam proses Peradilan Tata
Usaha Negara yang mempunyai persamaan dengan hukum acara yang digunakan pada
Peradilan Umum untuk perkara perdata, dengan beberapa perbedaan, antara lain:
a.
pada Peradilan Tata Usaha
Negara Hakim berperan lebih aktif dalam proses persidangan guna memperoleh
kebenaran materiil dan untuk itu undang-undang ini mengarah kepada ajaran
pembuktian bebas;
b.
suatu gugatan Tata Usaha
Negara pada dasarnya tidak bersifat menunda pelaksanaan Keputusan Tata Usaha
Negara yang disengketakan.
Dari
penjelasan umum itu dapat diketahui bahwa ajaran pembuktian dalam Peradilan
Tata Usaha Negara adalah ajaran pembuktian bebas, hal ini dikarenakan untuk
memperoleh kebenaran materiil dan bukan kebenaran formil. Menurut Sudikno
Mertokusumo (1988: 109) ajaran pembuktian bebas atau teori pembuktian bebas
adalah ajaran atau teori yang tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang
mengikat hakim, sehingga sejauh mana pembuktian dilakukan diserahkan kepada
hakim. Namun dengan adanya persyaratan ”untuk sahnya pembuktian diperlukan
sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim (Pasal 107) maka
menurut Indiharto (1993: 200) bahwa ajaran pembuktian yang diikuti oleh pembuat
undang-undang ini bukan ajaran pembuktian bebas, tetapi ajaran pembuktian bebas
terbatas.
Sebagai
konsekuensi dari ajaran pembuktian bebas maka Hakim sebagaimana dinyatakan `dalam
Pasal 107 dapat menentukan sendiri tentang:
1.
Apa yang harus dibuktikan.
Hakim
dalam pemeriksaan di sidang pengadilan tidak tergantung atau tidak terikat pada
fakta atau hal yang diajukan oleh penggugat atau tergugat, artinya hakim dapat
saja menganyampingkan fakta dan hal yang diajukan oleh penggugat atau tergugat.
Demikian pula, hakim dapat saja memeriksa lebih lanjut tentang fakta dan hal
yang tidak disangkal atau tidak cukup dibantah, apabila fakta dan hal tersebut
mempunyai arti yang relevan untuk dijadikan dasar pertimbangan dari hakim dalam
menjatuhkan putusan yang pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan belum cukup
pasti keadaannya.
2.
Siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang harus dibuktikan oleh pihak
yang berperkara dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim sendiri.
Dalam
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN, hakim mempunyai kebebasan
atau dapat menentukan sendiri yang harus dibebani pembuktian. Siapa yang
dibebani pembuktian merupakan masalah pembagian beban pembuktian, yaitu
kewajiban yang dibebankan kepada suatu pihak untuk membuktikan fakta yang menjadi
dasar pertimbangan dari hakim dalam menjatuhkan putusan.
Menurut
Suparto Wijoyo (1997: 119) hakim dapat saja menerapkan beban pembuktian
terbalik atau pembagian beban yang seimbang sesuai dengan kearifan hakim.
Sedangkan menurut Indroharto (1993: 192) bahwa kewajiban untuk membuktikan itu
tidak ada pada pihak-pihak, tetapi barangsiapa diberi beban untuk membuktikan
sesuatu dan tidak melakukannya, akan menanggung suatu resiko bahwa beberapa
fakta yang mendukung positanya akan dikesampingkan dan dianggap tidak terbukti.
3.
Alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian
Menurut
Indroharto (1993: 204) bahwa masing-masing alat bukti sebagaimana ditentukan
oleh Pasal 100 ayat (1) mempunyai derajat bobot yang sama, artinya tidak ada tingkat-tingkat
mengenai kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti tersebut atau tidak
ada perbedaan mengenai kekuatan pembuktian antara alat bukti yang satu dengan
alat bukti yang lain. Namun demikian, hakim mempunyai wewenang untuk memilih
alat bukti tertentu di antara alat-alat bukti tersebut dan memberikan penilaian
tentang kekuatan pembuktian dari alat bukti tersebut untuk dipergunakan dalam
pembuktian.
4.
Kekuatan pembuktian alat bukti yang telah diajukan.
Hakim
mempunyai wewenang untuk memberikan penilaian terhadap hasil pembuktian dalam
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan Sengketa TUN dengan memperhatikan
persyaratan yaitu ”untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua
alat bukti berdasarkan keyakinan hakim”.
2. Alat Bukti
Pasal 100 UU Nomor 5 Tahun
1986 menyatakan bahwa:
(1)
Alat bukti ialah:
- surat atau tulisan;
- keterangan ahli;
- keterangan saksi;
- pengakuan para pihak;
- pengetahuan hakim.
(2)
Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan.
Menurut M. Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya Hukum
Acara Perdata menyatakan bahwa alat bukti (bewijsmiddel) adalah
suatu hal berupa bentuk dan jenis yang dapat membantu dalam hal memberi
keterangan dan penjelasan tentang sebuah masalah perkara untuk membantu
penilaian hakim di dalam pengadilan. Jadi, para pihak yang berperkara hanya
dapat membuktikan kebenaran dalil gugat dan dalil bantahan maupun fakta-fakta
yang mereka kemukakan dengan jenis atau bentuk alat bukti tertentu. Hukum
pembuktian yang berlaku di Indonesia sampai saat ini masih berpegang kepada
jenis dan alat bukti tertentu saja.
Sebelum kami membahas sesuai dengan tema sub-bab kali ini,
kami ingin memaparkan terlebih dahulu perbedaan alat bukti dalam perkara pidana
dan perdata. Tidak sama jenis ataupun bentuk alat bukti yang diakui dalam
perkara pidana dan perdata. Mengenai alat bukti yang diakui dalam acara perdata
diatur dalam undang-undang Perdata Pasal 1866 KUH Perdata, Pasal 164 HIR
sedangkan dalam acara pidana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Dari
ketentuan pasal tersebut dapat diuraikan jenis-jenis alat bukti yang
dipergunakan dalam Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu sebagai berikut:
1. Alat bukti Surat atau
Tulisan
Menurut
Sudikno Mertokusumo (1988: 116) yang dimaksud dengan surat atau tulisan adalah
segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk
mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan
dipergunakan sebagai pembuktian. Sengketa Tata
Usaha Negara selalu dikaitkan dengan adanya suatu Keputusan Tata Usaha Negara.
Untuk memudahkan pembuktian di persidangan, secara umum ditentukan bahwa
keputusan Tata Usaha Negara yang dapat digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara
adalah keputusan tertulis atau dalam bentuk surat. Oleh karena itu, surat atau
tulisan merupakan salah satu alat bukti yang penting dalam pemriksaan sengketa
Tata Usaha Negara (Pasal 101 UPTUN)
Surat sebagai alat bukti terdiri dari 3 jenis, yaitu :
a)
Akta
otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum, yang
menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud
untuk digunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang
tercantum di dalamnya. Akta otentik merupakan alat bukti yang sempurna, dimana
hakim harus mempercayai apa yang tercantum dalam akta tersebut sepanjang tidak
ada bukti lain yang menyatakan ketidakbenarannya.
Akta otentik mempunyai tiga macam pembuktian,
yaitu :
1) Kekuatan
pembuktian formal.
Membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah
menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut;
2) Kekuatan
pembuktian materiil
Membuktikan para pihak bahwa bena-benar peristiwa yang tersebut di dalam akta
tersebut telah terjadi;
3) Kekuatan
mengikat
Membuktikan bahwa antara para pihak dan pihak ketiga, bahwa
pada tanggal tersebut dalam akta yang bersangkutan telah menghadap pada pejabat
umum tadi dan menerangkan apa yang tertulis di dalam akta tersebut. Karena
menyangkut pihak ketiga, maka disebutkan bahwa akta otentik mmempunyai kekuatan
pembuktian keluar.
b) Akta di bawah tangan, yaitu surat yang
dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud
digunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang
tercantum di dalamnya. Kekuatan hukum akta di bawah tangan hamper sama dengan
akta otentik, asal saja isi dan tanda tangan yang tercantum di dalamnya diakui
oleh pihak-pihak yang membuatnya. Hanya saja akta di bawah tangan tidak
mempunyai kekuatan pembuktian keluar sebagaimana halnya akta otentik.
c) Surat-surat lain yang bukan akta
adalah alat bukti bebas dimana hakim tidak diharuskan menerima dan
mempercayainya.
2. Alat bukti Keterangan
Ahli
Keterangan
ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan
tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan
pengetahuannya (Pasal 102 ayat (1)). Hal ini, ditegaskan kembali dalam Pasal
103 ayat (2) yang menyatakan bahwa ” Seorang ahli dalam persidangan harus
memberi keterangan baik dengan surat maupun dengan lisan, yang dikuatkan dengan
sumpah atau janji menurut kebenaran sepanjang pengetahuannya yang
sebaik-baiknya”.
Dari
kedua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa keterangan dari seorang ahli dapat
dijadikan alat bukti, apabila:
-
keterangan tersebut disampaikan di depan persidangan;
-
keterangan tersebut disampaikan dibawah sumpah atau janji;
-
bisa dalam bentuk tertulis maupun lisan; dan
-
tentang apa yang ia ketahui berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya
Siapa
yang dapat didengar keterangannya sebagai ahli di sidang pengadilan tergantung
kepada penunjukan Hakim Ketua Sidang berdasarkan atas permintaan kedua belah
pihak atau salah satu pihak atau karena jabatannya. Namun demikian, menurut
Pasal 88 ada pengecualian terhadap seseorang yang didengar keterangannya
sebagai ahli di depan persidangan, yaitu:
a.
Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke
bawah sampai derajat kedua dari salah satu pihak yang bersengketa;
b.
Istri atau suami salah seorang pihak yang bersengketa meskipun sudah bercerai;
c.
Anak yang belum berusia tujuh belas tahun; dan
d.
Orang sakit ingatan.
3. Alat Bukti Keterangan
Saksi
Pasal
104 menyatakan bahwa ”Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila
keterangan itu berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat, atau didengar oleh
saksi sendiri”. Dari bunyi pasal tersebut dapat dijelaskan bahwa keterangan
saksi adalah keterangan seseorang yang didengar oleh hakim selama pemeriksaan
perkara dilakukan, berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat atau didengar
sendiri oleh saksi.
Dalam
melakukan pemeriksaan terhadap seseorang sebagai saksi juga harus diperhatikan
atau berlaku juga ketentuan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 88 undang-undang
ini. Disamping itu, walaupun menjadi saksi adalah suatu kewajiban namun
seseorang dapat mengundurkan diri sebagai saksi sebagaimana dinyatakan dalam
Pasal 89 ayat (1), dengan alasan:
a.
Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak;
b.
Setiap orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya diwajibkan
merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan martabat, pekerjaan itu.
Yang menentukan ada atau tidak adanya dasar kewajiban untuk merahasiakan segala
sesuatu tersebut diserahkan kepada pertimbangan hakim (Pasal 89 ayat (2)).
Menurut Pasal 104 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986, keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu
berkenaan dengan hal yang dialami, dilakukan atau didengar oleh saksi sendiri.
Kehadiran saksi di pengadilan adalah atas permintaan salah satu pihak atau
karena jabatannya hakim ketua sidang dapat memerintahkan seorang saksi untuk
didengar dalam persidangan. Bila seorang saksi telah dipanggil secara patut
ternyata tidak hadir dalam persidangan tanpa suatu alasan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan dan hakim cukup pula alasan untuk menyangka bahwa saksi
tadi sengaja tidak dating, maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya
saksi dibawa oleh polisi ke persidangan.
Seandainya seorang saksi tidak bertempat tinggal di daearh hukum pengadilan
yang bersangkutan saksi tersebut diwajibkan dating ke persidangan. Dalam hal
ini pemeriksaan saksi dapat dilakukan di Pengadilan Tata Usaha Negara yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman saksi. Bilamana seorang saksi tidak
dapat hadir di persidangan karena halangan yang dapat dibenarkan oleh hukum,
misalnya saksi sudah sangat uzur karena tua, atau menderita penyakit yang
menyebabkan ia tidak dapat hadir di persidangan, hakim bersama dengan panitera
dating ketempat kediaman saksi yang bersangkutan untuk mendengar keterangannya.
Pemeriksaan saksi dilakukan dengan memanggil saksi ke persidangan seorang demi
seorang. Setelah saksi berada di hadapan sidang, hakim ketua sidang menanyakan
kepada saksi identitasnya, yaitu nama lengkap, tempat lahir, tempat tinggal, agama
atau kepercayaan, pekerjaan, derajat hubungan keluarga dan hubungan kerja
dengan tergugat ataupun penggugat. Sebelum memberikan keterangan di persidangan
seorang saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau
kepercayaannya, dengan dihadiri oleh pihak yang bersengketa. Dan apabila para
pihak telah dipanggil secara patut ternyata tidak hadir di persidangan tanpa
suatu alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, maka saksi dapat didengar
keterangannya tanpa hadirnya pihak yang bersengketa.
Menurut Pasal 88 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yang tidak boleh didengar
sebagai saksi adalah :
- Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan
lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat kedua dari salah satu pihak
yang bersengketa;
- Istri atau suami salah satu pihak yang bersengketa
meskipun sudah bercerai
- Anak yang belum berusia 17 tahun
- Orang sakit ingatan
Disamping itu ada juga orang yang dapat diminta pengunduran diri dari kewajiban
untuk menjadi saksi, yaitu :
- Saudara laki-laki atau perempuan, ipar laki-laki atau
perempuan dari salah satu pihak
- Setiap orang yang karena martabat, pekerjaan atau
jabatannya diwajibkan merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan
martabat, pekerjaan dan jabatannya.
Setelah saksi mengucapkan sumpah dan janjinya menurut agama dan kepercayaannya,
barulah dapat diajukan pertanyaan-pertanyaan kepadanya oleh pihak-pihak yang
bersangkutan dan pertanyaan ini disampaikan melalui hakim ketua sidang. Dan
hakim ketua sidang dapat menolak suatu pertanyaan tersebut menurut
pertimbangannya tidak ada kaitannya dengan sengketa yang sedang diperiksa.
Dalam hal saksi, demikian juga penggugat dalam keadaan bisu atau tuli dan tidak
dapat menulis, hakim ketua sidang dapat pula mengangkat orang yang pandai
bergaul dengan mereka sebagai juru bahasa. Juru bahasa ini harus juga
mengucapkan sumpah atau janji menurut agama dan kepercayaannya sebelum
melaksanakan tuga sebagai juru bahasa.
Selanjutnya dalam Pasal 93 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, menyebutkan bahwa
pejabat yang dipanggil sebagai saksi wajib dating sendiri di persidangan. Biaya
perjalanan pejabat yang dipanggil sebagai saksi di persidangan tidak dibebankan
sebagai biaya perkara. Hal ini perlu ditegaskan mengingat saksi pejabat yang
dipanggil ini tidak sama halnya dengan saksi biasa, kalau saksi biasa hadir di
persidangan dengan biaya yang dibebankan pada biaya perkara, terkecuali bila
salah satu pihak memerlukan lebih dari 5 orang saksi, maka biaya untuk
kelebihannya itu ditanggung sendiri oleh pihak yang memerlukan, walaupun
seandainya dia dimenangkan dalam sengketa tersebut. Dalam hal ini kehadiran
pejabat sebagai saksi di persidangan adalah karena jabatannya, maka biaya
seyogyanya ditanggung oleh instansi yang bersangkutan.
Dalam menilai
kesaksian saksi ini, hakim diharuskan memperhatikan pasal 172 HIR/309 RBg yang
menentukan kriteria penilaian yaitu:[5][9]
a. hubungan
kesaksian-kesaksian apakah berdiri sendiri atau ada hubungan (kecocokannya)
b.
perikehidupan, adat dan martabat saksi
c. alasan apa
sehingga kesaksian itu diberikan
Sedangkan cara
memeriksa saksi di depan persidangan telah ditentukan oleh pasal 144 HIR/171
RBg dan pasal 147 HIR/175 RBg, yaitu:[6][10]
a) pasal 144
HIR/171 RBg menentukan:
- saksi diperiksa satu persatu
- ditanya identitas, nama, pekerjaan, umur, dan
tempat tinggal
- ditanya
apakah saksi ada hubungan keluarga/pekerjaan dengan pihak-pihak berperkara
b) pasal 147
HIR/175 RBg menentukan:
- ditanya kesediaannya sebagai saksi atau minta
dibebaskan menjadi saksi bagi mereka yang termasuk pasal 146 HIR/174 RBg
- saksi disumpah atau berjanji sebelum
memberikan keterangannya. Apabila saksi tidak mau disumpah atau tidak mau
memberi keterangannya makaatas permintaan dan biaya pihak berperkara, Hakim dapat
memerintahkan saksi disandera paling lama 3 bulan (HIR) atau sampai putusan
dijatuhkan (RBg)
c) pasal 150
HIR/178 RBg menentukan:[7][11]
- para pihak beperkara dapat mengajukan
pertanyaan kepada saksi melalui hakim, yakni hal-hal yang relevan dengan pokok
perkara.
- hakim sendiri dapat mengajukan pertanyaan
kepada saksi
Selanjutnya,
undang-undang menetapkan bahwa keterangan satu saksi tidak cukup.
Artinya, hakim tidak boleh mendasarkan putusan tentang kalah menangnya suatu
pihak atas keterangannya satu saksi saja. Jadi kesaksian itu selalu harus
ditambah dengan suatu alat pembuktian lain.
4. Alat Bukti Pengakuan
Para Pihak
Yang
dimaksud dengan pengakuan para pihak adalah pengakuan para pihak yang diberikan
pada waktu pemeriksaan di sidang pengadilan. Pengakuan itu menyangkut
keterangan sepihak yang membenarkan peristiwa, hak atau hubungan hukum yang
diajukan oleh pihak lawan. Menurut Pasal 105 dinyatakan bahwa ”Pengakuan para
pihak tidak dapat ditarik kembali kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat
diterima oleh hakim”.
Suatu pengakuan baru bisa diterima sebagai suatu bukti yang
sempurna kalau diberikan di muka hakim (persidangan). Pengakuan yang diberikan
di luar sidang tidak dapat diterima sebagai suatu bukti yang mengikat, hanya
sebagai bukti bebas, terserah kepada hakim untuk menerima atau tidak
menerimanya.
5. Alat Bukti Pengetahuan
Hakim
Pasal
106 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pengetahuan hakim adalah hal yang
olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya. Salah satunya adalah hal-hal yang
terjadi selama pemeriksaan oleh Hakim tersebut, seperti hasil pemeriksaan
setempat. Jadi dalam hal ini tidak
termasuk pengetahuan hakim hal-hal yang diberitahukan kepada hakim oleh para
pihak. Pengetahuan hakim ini sangat berguna untuk menambah keyakinan hakim agar
dapat member putusan terhadap suatu sengketa yang diadilinya.
B.1 Kewenangan Hakim Dalam Pembuktian
Adalah menetapkan hubungan hukum yang sebenarnya antara para
pihak yang bersengketa yang harus dibuktikan dalam sidang pengadilan. Yang
harus dibuktikan adalah semua peristiwa serta hak yang dikemukakan salah satu
pihak yang kebenarannya dibantah pihak lain. Hakim memberi kesempatan Penggugat
terlebih dahulu membuktikan kebenaran dalil gugatannya. Kemudian,Tergugat
diberikan kesempatan untuk buktikan kebenaran dalil sangkalan / bantahannya
Kewenangan hakim dalam pembuktian menentukan apa yg harus dibuktikan, beban
pembuktian, menentukan alat bukti, penilaian pembuktian
Sebagai konsekuensi dari ajaran pembuktian bebas maka Hakim
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 107 dapat menentukan sendiri tentang:
- Apa
yang harus dibuktikan.
Hakim dalam pemeriksaan di sidang pengadilan tidak
tergantung atau tidak terikat pada fakta atau hal yang diajukan oleh penggugat
atau tergugat, artinya hakim dapat saja menganyampingkan fakta dan hal yang
diajukan oleh penggugat atau tergugat. Demikian pula, hakim dapat saja
memeriksa lebih lanjut tentang fakta dan hal yang tidak disangkal atau tidak
cukup dibantah, apabila fakta dan hal tersebut mempunyai arti yang relevan untuk
dijadikan dasar pertimbangan dari hakim dalam menjatuhkan putusan yang pada
saat pemeriksaan di sidang pengadilan belum cukup pasti keadaannya.
- Siapa
yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang harus dibuktikan oleh pihak
yang berperkara dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim sendiri.
Dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN,
hakim mempunyai kebebasan atau dapat menentukan sendiri yang harus dibebani
pembuktian. Siapa yang dibebani pembuktian merupakan masalah pembagian beban pembuktian,
yaitu kewajiban yang dibebankan kepada suatu pihak untuk membuktikan fakta yang
menjadi dasar pertimbangan dari hakim dalam menjatuhkan putusan.
Menurut Suparto Wijoyo (1997: 119) hakim dapat saja
menerapkan beban pembuktian terbalik atau pembagian beban yang seimbang sesuai
dengan kearifan hakim. Sedangkan menurut Indroharto (1993: 192) bahwa kewajiban
untuk membuktikan itu tidak ada pada pihak-pihak, tetapi barangsiapa diberi
beban untuk membuktikan sesuatu dan tidak melakukannya, akan menanggung suatu
resiko bahwa beberapa fakta yang mendukung positanya akan dikesampingkan dan
dianggap tidak terbukti.
- Alat
bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian
Menurut Indroharto (1993: 204) bahwa masing-masing alat
bukti sebagaimana ditentukan oleh Pasal 100 ayat (1) mempunyai derajat bobot
yang sama, artinya tidak ada tingkat-tingkat mengenai kekuatan pembuktian dari
masing-masing alat bukti tersebut atau tidak ada perbedaan mengenai kekuatan
pembuktian antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain. Namun
demikian, hakim mempunyai wewenang untuk memilih alat bukti tertentu di antara
alat-alat bukti tersebut dan memberikan penilaian tentang kekuatan pembuktian
dari alat bukti tersebut untuk dipergunakan dalam pembuktian.
- Kekuatan
pembuktian alat bukti yang telah diajukan.
Hakim mempunyai wewenang untuk memberikan penilaian terhadap
hasil pembuktian dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan Sengketa TUN
dengan memperhatikan persyaratan yaitu ”untuk sahnya pembuktian diperlukan
sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim”.
B.2 Penilaian hasil pembuktian (Pasal 107)
- Kebenaran
Materil
Hakim aktif, Pengetahuan hakim, “siapa yang mendalilkan
sesuatu, dialah yang harus membuktikan.
- Bebas
yang terbatas
Hakim bebas menentukan luas pembuktian tanpa bergantung
fakta dan hal yang diajukan para pihak.
Hakim terikat alat bukti yg ditentukan secara
limitatif (Pasal 100 ) dan sahnya pembuktian minimal 2 alat bukti dan
keyakinan hakim.
B.3 Arti Membuktikan
Pembuktian (khusus untuk perkara didepan sidang) :
– Adanya suatu sengketa TUN
– Adanya pelanggarann hak seseorang
Subekti : meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau
dalil-dalil yg dikemukakan dalam suatu persengketaan
Supomo : arti luas, membenarkan hubungan hukum (memperkuat
kesimpulan hakim dengan syarat ada dua alat bukti yang sah)
arti terbatas : apa yang dikemukakan penggugat dibantah
perlu diselidiki, jika tidak dibantah tidak perlu diselidiki.
Mukti Arto : Mempertimbangkan secara logis kebenaran suatu
fakta/peristiwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan menurut hukum
pembuktian yang berlaku
Suatu cara yang dilakukan oleh yang berperkara untuk
memberikan dasar kepada hakim tentang kepastian kebenaran suatu peristiwa yang
telah didalilkan.
B.4 Tujuan Pembuktian
Memberikan kepastian kepada hakim, tentang
peristiwa-peristiwa tertentu. Dari peristiwa dalam sidang, hakim akan
memberikan tanda/sebutan dan menyusun bangunan hukum selanjutnya menyusun
putusan atas dasar pembuktian tersebut.
B.5 Asas Pembuktian
Barangsiapa mengatakan ia mempunyai hak atau ia menyebut
suatu perbuatan untuk menguatkan hak itu, atau untuk membantah hak orang itu,
harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu.
Apabila dalil suatu hak atau peristiwa itu disangkal, maka
pihak yang mendalilkan suatu hak atau pertiwa itu harus membuktikan.(Pasal 163
HIR)
B.6 Apa yang harus dibuktikan
UU Nomor 5 Tahun 1986 angka 5 disebutkan bahwa:
Dalam undang-undang ini juga diatur mengenai hukum acara
yang digunakan dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara yang mempunyai
persamaan dengan hukum acara yang digunakan pada Peradilan Umum untuk perkara
perdata, dengan beberapa perbedaan, antara lain:
- Pada
Peradilan Tata Usaha Negara Hakim berperan lebih aktif dalam proses
persidangan guna memperoleh kebenaran materiil dan untuk itu undang-undang
ini mengarah kepada ajaran pembuktian bebas;
- Suatu
gugatan Tata Usaha Negara pada dasarnya tidak bersifat menunda pelaksanaan
Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan.
Dari penjelasan umum itu dapat diketahui bahwa ajaran
pembuktian dalam Peradilan Tata Usaha Negara adalah ajaran pembuktian bebas,
hal ini dikarenakan untuk memperoleh kebenaran materiil dan bukan kebenaran
formil. Menurut Sudikno Mertokusumo (1988: 109) ajaran pembuktian bebas atau
teori pembuktian bebas adalah ajaran atau teori yang tidak menghendaki adanya
ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga sejauh mana pembuktian
dilakukan diserahkan kepada hakim. Namun dengan adanya persyaratan ”untuk
sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan
keyakinan hakim (Pasal 107) maka menurut Indiharto (1993: 200) bahwa ajaran
pembuktian yang diikuti oleh pembuat undang-undang ini bukan ajaran pembuktian
bebas, tetapi ajaran pembuktian bebas terbatas.
Peristiwa atau segala sesuatu yang berkembang dalam sidang,
bukan mengenai hukum
(Hukumnya tidak perlu dibuktikan oleh Penggugat dan
Tergugat, tugas Hakim secara jabatan dianggap diketahui dan diterapkan hakim
(ius curtia novit). Ada peristiwa yang diakui dan disangkal)
Hakim menemukan dan menentukan fakta-fakta relevan, Hakim
memberikan sebutan terhadap fakta-fakta , Hakim membuat bangunan hukum
(kontruksi yuridis)
B.7 Sistematika isi surat gugatan
Identitas dan Kedudukan Para Pihak
(Nama, Umur, Pekerjaan & Tempat Tinggal)
POSITA
* Fakta Peristiwa (Duduk Perkara)
* Fakta Hukum (Dasar Yuridis)
PETITUM
* Tuntutan Pokok (Primair & Subsidair)
* Tuntutan Tambahan
B.8 Yang Tidak Perlu Dibuktikan
- Putusan
Verstek (Hanya dilihat melawan hukum atau tidak beralasan)
- Gugatan
diakui pihak lawan
- Penglihatan
hakim didepan sidang
- Peristiwa
yang diketahui okeh umum
B.9 Beban Pembuktian
Siapa yang diberikan beban :
– Pihak Penggugat
– Pihak Tergugat
Apabila dalil gugatan dibantah penggugat, maka penggugat
wajib membuktikan dan tergugat wajib membuktikan bantahannya. Kedua belah pihak
(penggugat dan tergugat) tidak wajib membuktikan kebenaran bantahan
masing-masing. Penggugat yang tidak dapat membuktikan peristiwa yang diajukan
wajib dikalahkan, tergugat yang tidak dapat membuktikan bantahannya wajib
dikalahkan.
Di dalam ilmu
hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku
bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan adanya bukti lawan. Akan
tetapi merupakan pembuktian konvensionil yang bersifat khusus. Pembuktian dalam
arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang beperkara atau yang
memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian dalam
arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak.
Ada
kemungkinan bahwa pengakuan, kesaksian atau surat-surat itu tidak benar atau
palsu atau dipalsukan. Maka hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan. Pembuktian
secara yuridis tidak lain adalah pembuktian ”historis” yang mencoba menetapkan
apa yang telah terjadi secara konkreto. Baik pembuktian yang yuridis maupun
yang ilmiah, maka membuktikan pada hakekatnya berarti mempertimbangkan secara
logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar. Membuktikan dalam
arti yuridis tidak lain berarti memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim
yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang
kebenaran peristiwa yang diajukan. Berbeda dengan azas yang terdapat pada hukum
acara pidana, dimana seseorang tidak boleh dipersalahkan telah melakukan tindak
pidana, kecuali apabila berdasarkan bukti-bukti yang
sah hakim memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa, dalam hukum acara PTUN untuk memenangkan seseorang, tidak perlu adanya
keyakinan hakim. Yang penting adalah adanya alat-alat bukti yang sah, dan
berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan tentang
siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dengan perkataan lain, dalam hukum
acara PTUN, cukup dengan kebenaran formil saja,
No comments:
Post a Comment