Keberadaan Kompetensi Peradilan
Negara sebagai organisasi yang paling besar dalam lingkup kehidupan suatu bangsa di era modern ini, tentunya memiliki tugas dan agenda yang sangat banyak. Pada ujungnya, seideal-idealnya tujuan adanya Negara adalah untuk mensejahterakan rakyatnya. Ada pun mengenai mekanisme bagaimana cara untuk mensejahterakan rakyat, itu persoalan yang belakangan, karena ini berkaitan pula dengan sistem pemerintahan pada suatu negara, yang mencakup pada bidang ekonomi, hukum, hingga politik.
Menurut Socrates, dibentuknya Negara dalam konteks sejarah peradaban Yunani berawal ketika masyarakat disana mendambakan kehidupan yang tentram, serta saling menjamin hak-hak dan kewajibannya. Lalu mereka pergi-pindah serta tinggal di suatu bukit, membuat sebuah benteng dan berkumpul menjadi suatu kelompok. Kelompok inilah yang di kemudian hari dinamakan Socrates sebagai “Polis”. Dalam hal ini, “Polis” tidak mengurusi soal organisasi saja, namun juga ia mengatur mengenai kepribadian hingga moralitas orang-orang di sekitarnya.[1]
Pada kelanjutannya, organisasi yang berisikan kumpulan masyarakat dari pelbagai golongan dengan satu kehendak membentuk sebuah tatanan struktur kekuasaan. Implikasi selanjutnya, ia pun menghasilkan stratifikasi sosial, terlebih-lebih jika sistem ketatanegaraannya berbentuk kerajaan. Yang muncul disana adalah golongan kerajaan, bangsawan, militer, pedagang, hingga rakyat biasa dan rakyat jelata.
Namun terlepas dari bentuk sistem ketatanegaraanya apa, sesungguhnya adanya kekuasaan oleh Negara memiliki akar yang sama; yakni penyerahan kedaulatan individu. Dalam Teori Thomas Hobbes, dinyatakan bahwa sesungguhnya yang ada di dalam tatanan kekuasaan adalah perjanjian masyarakat sesungguhnya tidak hanya dipakai untuk membangun masyarakat (civitas), namun juga untuk membentuk kekuasaan yang dikemudian hari diserahkan kepada seseorang yang dianggap pemimpin (raja, presiden, dsb). Pemikiran ini mengalami evolusi yang cukup menarik, yang dimana pada kelanjutannya John Locke, seorang filsuf politik Barat mengemukakan jikalau memang masyarakat memberikan kedaulatan akan kekuasaannya kepada seorang pemimpin, tentu harus dibatasi oleh suatu “leges fundamentalis”. [2]
Keberadaan (eksistensi) Peradilan Tata Usaha Negara dilatarbelakangi oleh UUD 1945 amandemen ketiga. Pasal 1 ayat (2) Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Pasal 1 ayat (3) Negara Indonesia adalah negara hukum. Pasal 24 ayat (2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian pembentukan peradilan tata usaha negara merupakan amanat konstitusi atau UUD. UUD 1945 telah empat kali mengalami amandemen, dengan perincian sebagai berikut: Amandemen I tanggal 19 – 10 – 1999, Amandemen II tangal 18 – 8 – 2000, Amandemen III tanggal 9 – 11 - 2001, Amandemen IV tanggal 10 – 8 – 2002. [3]
Keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara berkaitan juga dengan tujuan negara, sebab Badan atau pejabat Tata Usaha negara dalam menjalankan pemerintahan dalam hal ini pada saat menerbitkan KTUN harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam menerbitkan KTUN harus membantu terwujudnya kesejahteraan umum tidak boleh merugikan masyarakat.
Dasar/alasan konstitusionalnya terdapat dalam pembukaan UUD 1945 yang menyebutkan: melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tujuan negara yang paling berkaitan dengan keberaan Peradilan Tata Usaha Negara adalah memajukan kesejahteraan umum.
Dalam batang tubuh UUD 1945 amandemen III terdapat dalam Pasal 33 ayat (3) dan Pasal 34. Pemerintah harus aktif, hal ini berkaitan juga dengan negara Indonesia sebagai negara kesejahteraan (welfare state) bukan negara penjaga malam, hal ini merupakan esensi dari pembukaan dan batang tubuh UUD 1945. Dalam pemerintahan yang aktif tidak tertutup kemungkinan terjadi sengketa, khususnya sengketa Tata Usaha Negara.[4]
Ada perbedaan antara Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dengan Pasal 10 ayat (2) UU N0. 4 Tahun 2004. Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Hal ini menunjukkan bahwa Mahkamah Agung dan badan peradilan lainnya sejajar.
Daftar Pustaka
[1] Soehino SH, dalam: Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), Hlm. 21
[3] Fachruddin, Irfan. Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Perbuatan Pemerintah, Jakarta, hlm.37
[4] Basah, Syahran. Hukum Acara Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Administrasi, Jakarata, hlm.67
No comments:
Post a Comment