Peradilan Tata Usaha Negara
Sebagai laboratorium perkembangan masyarakat pasca-kolonial, Indonesia diproyeksikan oleh para founding fathers sebagai Negara Hukum, yang dimana segala sesuatu pengaturan dan manajemen kehidupan berwarganegaranya harus berdasarkan hukum. Konsep negara hukum yang dicanangkan dalam UUD 1945 ini merupakan pengkerucutan intisari terhadap teori negara hukum yang dikemukakan oleh S.W. Couwenberg.
S.W. Couwemberg menyebutkan, bahwa negara hukum (rechtstaat) memiliki sepuluh unsur yakni:[1]
- Pemisahan antara negara dan masyarakat sipil, pemisahan antara kepentingan umum dan kepentingan khusus perorangan, dan pemisahan antara hukum publik dan hukum privat.
- Pemisahan antara negara dan gereja (institusi keagamaan)
- Adanya jaminan dan hak-hak kebebasan sipil
- Persamaan terhadap undang-undang.
- Adanya konstitusi tertulis sebagai dasar kekuasaan negara dan dasar sistem hukum
- Pemisahan kekuasaan berdasarkan trias politica dan sistem checks and balances
- Asas legalitas
- Ide tentang aparat pemerintahan dan kekuasaan kehakiman yang tidak memihak (netral)
- Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap penguasa oleh peradilan yang bebas dan tidak memihak dan berbarengan dengan prinsip tersebut diletakkan prinsip tanggung gugat negara secara juridis
- Prinsip pembagian kekuasaan, baik yang bersifat teritorial maupun vertikal
Dengan menilik pada poin “i”, tentu ini merupakan butiran konsep yang sangat penting demi menuntutnya keseimbangan antara tatanan kekuasaan oleh pemerintah dan tatanan kedaulatan hak-hak oleh rakyat, maka dari itu semenjak dibentuknya konsep negara hukum, selain dibentuknya badan-badan peradilan umum, agama, militer, dsb. maka dinilai sangat perlu juga untuk membentuk sebuah badan peradilan tata usaha negara.
Badan pengadilan dalam lingkungan peradilan tata usaha negara tersebut sesungguhnya dibentuk demi menjalankan usaha pemerintahan dalam menata kehidupan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan umum, yang dimana dalam konteks lapangannya sering timbul sengketa antara pemerintah/tata usaha negara dengan anggota masyarakat.[2]
Dengan adanya pelbagai kemungkinan sengketa-sengketa yang muncul antara dua pihak tersebut, maka dirasa sangat perlu untuk diselesaikan dengan kepastian hukum yang saling menjamin demi keadilan. Oleh karena itu, sangatlah jelas bahwa suatu pemerintahan harus didampingi oleh suatu lembaga kontrol yang bernama peradilan tata usaha negara.
Prof. Dr. Hazairin pernah mengemukakan sebuah guyonan mengenai pentingnya peradilan tata usaha negara; “Jikalau suatu negara tidak memiliki suatu peradilan administrasi/tata usaha negara, maka sama halnya dengan mengunci depan rumah kita rapat-rapat, tetapi pintu belakang rumah kita dibiarkan terbuka, dengan akibat kita kebobolan lagi… Kebobolan lagi..!”[3]
Dalam konteks sejarah hukum di dunia, sesungguhnya negara pelopor akan adanya badan peradilan administrasi/tata usaha negara adalah Negara Perancis. Embrio ini bisa dirasakan ketika Napoleon Bonaparte melakukan kodifikasi hukum “Code Napoleon”. Ia memang bukan seorang uswatun hasanah dalam hal tokoh demokrat, namun ia tetap tidak bisa mengubah semangat revolusi Perancis. Dibawah pemerintahannya, rakyat tidak bisa ditindas begitu saja oleh Penguasa. Pada eranya, rakyat diberi hak untuk menggugat pemerintah melalui suatu peradilan administrasi.
Kekuasaan Napoleon yang pada kala itu mencakup negara-negara Eropa kontinental membawa dampak yang sangat signifikan terhadap perkembangan hukum disana, termasuk juga ke negeri Belanda. Code Napoleon menjadi sumber inspirasi yang paling utama dalam pembentukkan/pengkodifikasian civil law di Belanda, yang memiliki implikasi juga terhadap negeri-negeri yang dijajah oleh Kolonial Belanda. Pemerintahan kolonial Belanda di negeri-negeri jajahannya memberlakukan pula sistem hukum sipil (namun disesuaikan dengan kebutuhan tempat masing-masing) yang pada dasar filsafatnya bersumber pada liberalisme dan kebebasan sipil, sesuai dengan semangat revolusi Perancis.
Dari sejarah dapat diketahui bahwa Indonesia pernah dijajah oleh Belanda selama lebih kurang 350 tahun. Pada waktu itu Indonesia disebut dengan nama Hindia Belanda. Sistem ketatanegaraan pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu diatur atau didasarkan pada “Wet op de Staatsinrichting van Nederland Indie” atau yang lazim disingkat IS (Indische Staatregeling), yang berlaku pada tanggal 1 Januari 1926 (S.1925 No.415 jo no.577). Indische Staatregeling (IS) ini diberlakukan sebagai pengganti Regeringsreglement (RR) yang berlaku mulai tahun 1919 (S.1919, No.621 jo no.816). Disebutkan pada pasal 138 IS bahwa untuk perkara-perkara yang menurut sifatnya atau berdasarkan undang-undang masuk dalam wewenang pertimbangan kekuasaan administrasi, tetap ada dalam wewenangnya. Hal ini menunjukkan bahwa pada waktu itu sebenarnya sudah ada peradilan administrasi atau peradilan tata usaha negara.
Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Mulai saat itu secara dejure (secara hukum) dan secara defacto (secara nyata) Indonesia berdiri sebagai negara yang merdeka yang berhak menentukan dirinya sendiri. Sistem ketatanegaraan dalam pemerintahan Indonesia diatur di dalam UUD 1945. Di dalam pasal 24 dan pasal 25nya disebutkan sebagai berikut : Pasal 24 (1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang; (2) Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang ; Pasal 25 : Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang. Untuk melaksanakan perintah pasal 24 dan pasal 25 UUD 1945 (pada masa itu), maka pada tahun 1948 dikeluarkanlah.[4]
Di dalam ketentuan pasal 10 disebutkan bahwa Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan :
- Peradilan umum;
- Peradilan Agama;
- Peradilan Militer;
- Peradilan Tata Usaha Negara
- Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi;
- Terhadap putusan-putusan yang diberikan tingkat terakhir oleh Pengadilan-pengadilan lain daripada Mahkamah Agung, kasasi dapat diminta kepada Mahkamah Agung.
- Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan Pengadilan yang lain, menurut ketentuan yang ditetapkan dengan undang-undang.
Undang-undang ini sengaja dibentuk dengan maksud untuk memberikan perlindungan hukum kepada warga masyarakat dari kemungkinan terjadinya penyalahgunaan wewenang atau tindakan sewenang-wenang pemerintah. Oleh karena itu yang menjadi tergugat dalam hal ini adalah pemerintah yaitu badan atau pejabat tata usaha negara. Pasal 1 angka 6 menentukan bahwa : ”Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata”. Dari ketentuan pasal 1 angka 6 ini jelas bahwa Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, sedangkan penggugatnya adalah orang atau badan hukum perdata.[5]
Pengadilan harus menyatakan tidak berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara tersebut, apabila bukan menjadi kompetensinya baik secara absolute maupun secara relatif. Kesalahan dalam mengajukan gugatan akan sangat merugikan penggugat tidak hanya dari segi waktu, dan biaya, tetapi jauh lebih penting adalah dapat berakibat gugatan menjadi daluarsa. Sebagaimana diketahui tenggang waktu mengajukan gugatan berdasarkan Pasal 44 UU PTUN hanya dalam tenggang waktu 90 hari sejak saat diterimanya atau di umumkannya keputusan badan atau pejabat tata usaha Negara.
Daftar Pustaka
[1] Harahap Zairin, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Revisi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997. hlm.90
[2] Benjamin Mangkoedilaga, Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara: Suatu Orientasi Pengenalan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 12
[4] Kansil, CST., 1985, Hukum Tata Pemerintahan Indonesia, Ghalia Indonesia: Jakarta.
Koesoemahatmodjo, Djenal Hoesen, 1986, Pokok Pokok Hukum Tata Usaha Negara, Alumni: Bandung.hlm.69
[5] Lihat Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
No comments:
Post a Comment