Sunday 20 November 2016

Upaya Hukum PTUN

PERADILAN TATA USAHA NEGARA
‘’UPAYA HUKUM’’
DOSEN : Dr. Fatkhurrohman,SH,.Mhum






OLEH :
Satrio Adi I




FAKULTAS HUKUM 2014
UNIVERSITAS WIDYAGAMA MALANG







Sistem peradilan di Indonesia menganut pemeriksaan dalam dua tingkatan yakni pemeriksaan tingkat pertama yang dilakukan oleh pengadilan tingkat pertama dan pemeriksaan tingkat kedua yaitu merupakan pemeriksaan ulang yang dilakukan oleh pengadilan tinggi. pengadilan tingkat pertama sendiri yaitu Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Pengadilan Militer sedang pengadilan tinggi tingkat kedua yaitu Pengadilan Tinggi (PT), Pengadilan Tinggi Agama, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN), dan Mahkamah Tinggi Militer.[1]
Upaya hukum merupakan hak dari pihak yang dikalahkan untuk tidak menerima putusan pengadilan, yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal menurut cara yang diatur oleh undang-undang. Upaya hukum terhadap putusan pengadilan ialah usaha untuk mencari keadilan pada tingkat pengadilan yang lebih tinggi dari pengadilan yang menjatuhkan putusan tersebut.
Upaya hukum bukanlah dimaksudkan untuk memperlama penyelesaian sengketa suatu perkara, apalagi dimakudkan untuk mengenyampingkan kepastian hukum. Namun, upaya hukum diperlukan karena hal ini merupakan hak dari masing-masing pihak untuk memberi kepastian bagi dirinya melalui cara yang telah di akomodasi oleh undang-undang. Bagaimanapun tidak bisa dinafikan bahwa hakim ialah soso manusia yang juga dekat dengan kesalahan, dapat bersifat subjektif, tak jarang pula dapat memihak salah satu pihak dan tak urung membuyarkan kepastian dari putusan yang dijatuhkan. Dengan tersedianya upaya hukum, putusan yang telah dijatuhkanoleh hakim masih dimungkinkan diperiksa ulang ketepatannya. Dalam hal peradilan Tata Uaha Negara, beberapa cara diatur guna upaya hukum. Terdapat beberapa upaya hukum yang dapat ditempuh oleh para pihak dalam lingkungan peradilan tata usaha negara, baik terhadap putusan pengadilan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap, maupun terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Upaya hukum yang tersedia dalam hukum acara Peratun adalah:
1.Perlawana Putusan Dismissal,
2.Pemeriksaan Banding,
3.Pemeriksaan Kasasi,
4.Perlawanan oleh pihak ketiga (derdenverzet),
5.Pemeriksaan Peninjauan Kembali (request civil).
Upaya hukum yang dapat ditempuh terhadap putusan pengadilan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap adalah perlawanan, banding, dan kasasi, yang dikenal dengan sebutan upaya hukum biasa. sedangkan upaya hukum yang dapat ditempuh terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap adalah peninjauan kembali (request civil) dan perlawanan pihak ketiga (derdenverzet), keduanya dikenal dengan sebutan upaya hukum istimewa atau upaya hukum luar biasa.

A. Perlawanan Putusan Dismissal
Dalam prosedur Dismissal diputuskan apakah gugatan yang diajukan oleh penggugat diterima atau ditolak. apabila hasil rapat permusywaratan memutuskan gugatan diterima, maka gugatan akan diproses pada acara biasa, apabila ditolak, dikeluarkan penetapan (beschikking) dengan dilengkapi pertimbangan-pertimbangan dan putusan dibacakan dalam rapat permusyawaratan oleh ketua dewan dan didenganrkan oleh para pihak. Apabila pihak-pihak keberatan atas penetapan ketua, maka mereka dapat mengajukan perlawanan (verzet) atas penetapan tersebut. Perlawanan yang diajukan oleh penggugat terhadap penetapan dismissal tersebut pada dasarnya membantah alasan-alasan yang digunakan oleh Ketua Pengadilan sebagai berikut:
a.Pokok gugatan nyata-nyata tidak termasuk wewenang pengadilan;
b.Syarat-sarat gugatan sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 56 tidak dipenuhi oleh penggugat, sekalipun ia telah diberitahu dan diperingatkan;
c.gugatan tidak didasarkan alasan-alasan yang layak;
d.Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah dipenuhi oleh keputusan tata usaha negara yang digugat;
e.Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya (pasal 55).

Apabila pihak-pihak hadir pada waktu mengucapkan putusan penetapan, maka perlawanan diajukan kepada pengadilan dalam tenggang waktu 14 hari setelah penetapan ditetapkan sesuai dengan ketentuan pasal 62 ayat (3) UU No. 1 tahun 1986 tentang Peradilan TUN. Apabila salah satu pihak tidak hadir pada saat putusan dibacakan, maka perlawanan dapat diajukan dalam tenggang waktu 14 hari terhitung sejak diterimanya salinan penetapan. Pemberitahuan putusan penetapan disampaikan dengan surat tercatat.
Dalam acara perlawanan pihak yang melawan menjadi pihak penggugat (pelawan-penggugat) dan pihak yang dilawan menjadi tergugat (terlawan-tergugat). Perlawanan diperikasa dan diputus dalam acara singkat. Terhadap putusan mengenai perlawanan tidak dapat digunakan upaya hukum baik berupa banding ataupun kasasi (Pasal 62 ayat (6) UU PTUN)[2]. Namun menurut Wicipto Setiadi,3 dalam hal penggugat tidak dapat menerima putusan tersebut, satu-satunya kemungkinan ialah dengan mengajukan gugatan baru. Berdasarkan SEMA No. 2 Tahun 1991 angka V butir 2, pengajuan gugatan baru dimungkinkan sepanjang tenggang waktu mengajukan gugatan sebagaimana diatur dalam pasal 55 UU PTUN masih tersisa. Proses dismissal merupakan proses penelitian terhadap gugatan yang masuk di Pengadilan Tata Usaha Negara oleh Ketua Pengadilan. Dalam proses penelitian itu, Ketua Pengadilan dalam rapat permusyawaratan memutuskan dengan suatu Penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dan ditambah dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (dan untuk memudahkan penyebutannya selanjutnya disebut UU PERATUN), dan juga di dalam penjelasannya, istilah proses dismissal tidak dikenal, akan tetapi substansi dari makna tersebut diatur dalam Pasal 62 UU PERATUN.
Istilah prosedur dismissal atau proses dismissal hanya dapat ditemui dalam keterangan Pemerintah di hadapan siding paripurna DPR-RI yang mengantarkan RUU tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang disampaikan oleh Menteri Kehakiman Ismail Saleh, S.H.,  pada tanggal 29 April 1986.
dalam penyelesaian perkara di PTUN. Aspek kehidupan masyarakat saat ini banyak sekali yang melibatkan atau turut campurnya pemerintah. Sehingga administrasi negara memerlukan kekuasaan dan kebebasan yang semkin besar pula. Pemerintah dalam melaksanakan tugasnya juga, terkadang tersandung dengan banyak kepentingan sehingga ada pihak yang dirujikan atau juga pihak yang terganggu kepentingannya. Pemerintah menanggapi akan hal ini dengan adanya adminstrasi negara maka dibentuklah peradilan yang bisa meyelesaikan sengketa yang terjadi antara badan atau instansi pemerintah dengan masyarakat. Agar kekuasaan dan kebebasan tersebut tidak disalahgunakan, dan perlindungan hukum tetap terjamin untuk itu diperlukan pengawasan terhadap administrasi negara. Peranan pemerintah dalam hal ini menciptakakan Peradilan Tata Usaha Negara untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan warga negaranya, yakni sengketa yang timbul sebagai akibat dari adanya tindakan-tindakan pemerintah yang dianggap melanggar hak-hak warga negaranya. Yang tidak diatur dalam peradilan yang ada seperti peradilan umum dan peradilan agama atau peradilan perdata. Penerapan dalam Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) berbeda dengan peradialn perdata salah satunya yaitu adanya Proses dismissal dan ini merupakan karakteristik dari PTUN. Proses dismissal atau rapat permusyawaratan merupakan proses penyaringan terhadap gugatan yang masuk Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Di dalam Acara rapat permusyawaratan atau pemeriksaan dismissal dilakukan secara musyawarah apakah perkara tersebut diterima atau tidak. Adanya proses dismissal ini dilatar belakangi berdasarkan suatu gugatan tidak semua dapat di terima di PTUN sehingga dengan proses dismissal ini padat disaring perkara-perkara yang masuk di PTUN. proses dismissal ini memang harus dilalui setiap gugatan yang masuk ke PTUN. Hal itu untuk dinilai layak tidaknya sebuah gugatan dilanjutkan ke tahap selanjutnya yakni persidangan. Dalam proses dismissal, Ketua PTUN akan didampingi panitera yang mencatat jalannya pemeriksaan berkas. "Kalau lolos, ketua PTUN akan menunjuk majelis hakimnya, tapi kalau tidak lolos, akan dikeluarkan penetapan dismissa. bagi pihak yang merasa keberatan dengan penetapan dismissal tersebut, bisa melakukan perlawanan, dan ketua PTUN akan menilai kembali. Penilaian yang dimaksud, sebuah gugatan menjadi kewenangan PTUN atau tidak untuk mengadil
1. Proses Dissmissal
Pasal 62 UU PERATUN tidak mengatur secara terperinci bagaimana mekanisme pemeriksaan terhadap gugatan yang masuk dalam proses dismissal. Untuk mengisi kekosongan hukum acaranya, Mahkamah Agung dalam SEMA No.2 Tahun 1991 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Beberapa Ketentuan Di Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Romawi II, antara lain mengatur sebagai berikut :
a.      Prosedur dismissal dilaksanakan oleh Ketua dan dapat juga menunjuk seorang Hakim sebagai reporteur (raportir).
b.      Pemeriksaan dilaksanakan dalam rapat permusyawaratan (di dalam kamar Ketua) atau dilaksanakan secara singkat.
c.      Ketua Pengadilan berwenang memanggil dan mendengarkan keterangan para pihak sebelum menentukan Penetapan Dismissal apabila dianggap perlu.
d.      Penetapan Dismissal berisi gugatan dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar, dan Penetapan tersebut ditandatangani oleh Ketua dan Panitera Kepala/Wakil Panitera. Wakil Ketua Pengadilan dapat pula menandatangani Penetapan Dismissal dalam hal Ketua Pengadilan berhalangan.
e.      Penetapan Dismissal diucapkan dalam rapat permusyawaratan sebelum hari persidangan ditentukan, dengan memanggil kedua belah pihak untuk mendengarkan.
f.       Dalam hal ada petitum gugatan yang nyata-nyata tidak dapat dikabulkan, maka dimungkinkan ditetapkan dismissal terhadap bagian petitum gugatan tersebut (dismissal parsial).
g.      Dalam hal ditetapkan dismissal parsial, ketentuan perlawanan terhadap Penetapan Dismissal berlaku juga dalam hal ini.
h.      Di dalam “mendismissal gugatan” hendaknya Ketua Pengadilan tidak terlalu mudah menggunakan Pasal 62 tersebut, kecuali mengenai Pasal 62 ayat (1) butir a dan e.
2. Alasan-Alasasn untuk Mendissmissal Gugatan
Alasan-alasan yang dapat dipakai untuk melakukan dismissal terhadap gugatan ditentukan secara limitatif dalam Pasal 62 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yaitu[3] :
a.      Pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang Pengadilan.
Yang dimaksud dengan “pokok gugatan”, menurut penjelasannya adalah fakta yang dijadikan dasar gugatan. Atas dasar fakta tersebut Penggugat mendalilkan adanya suatu hubungan hukum tertentu, dan oleh karenanya mangajukan tuntutan.
b.      Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak dipenuhi oleh Penggugat sekalipun ia telah diberitahu dan diperingatkan.
c.      Gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak.
d.      Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh Keputusan TUN yang digugat.
e.      Gugatan diajukan sebelum waktunya, atau telah lewat waktunya.
3. Perlawanan terhadap penetapan Dismissal
Perlawanan terhadap Penetapan Dismissal diatur dalam Pasal 62 ayat (3), (4), (5) dan (6) UU PERATUN, selengkapnya sebagai berikut :
(3)    a.   Terhadap Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diajukan perlawanan kepada Pengadilan dalam tenggang waktu 14 hari setelah ditetapkan ;
b.   Perlawanan tersebut diajukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56.
(4)    Perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diperiksa dan diputus oleh Pengadilan dengan acara singkat.
  • Maksud diterapkannya acara singkat menurut Indroharto dalam Buku II hal. 149 adalah :
1.      Agar rintangan-rintangan yang mungkin terjadi untuk penyelesaian perkara secara cepat terhadap sengketa TUN sedapat mungkin di singkirkan.
2.      Cara yang sederhana dan singkat untuk menanggulangi arus masuknya perkara yang sebenarnya tidak memenuhi syarat untuk diproses sebagai gugatan di Pengadilan TUN.
(5)    Dalam hal perlawanan tersebut dibenarkan oleh Pengadilan, maka Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) gugur demi hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut cara biasa.
(6)    Terhadap putusan mengenai perlawanan itu tidak dapat digunakan upaya hukum.
Isi perlawanan pada pokoknya menyatakan bahwa gugatan Penggugat telah sempurna atau telah benar-benar sesuai dengan fakta-fakta yang didalilkan dalam gugatan, dan tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 62 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.
Selanjutnya dalam JUKLAK Mahkamah Agung RI No.222/Td.TUN/X/1993 tanggal 14 Oktober 1993, ditentukan :
a.         Dalam proses perlawanan terhadap Penetapan Dismissal, setidak-tidaknya Penggugat/Pelawan maupun Tergugat didengar dalam persidangan tanpa memeriksa pokok gugatan.
b.      Putusan perlawanan terhadap Penetapan Dismissal tidak tersedia upaya hukum apapun (vide Pasal 62 ayat 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986), baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa.
c.      Dalam hal pihak Pelawan mengajukan perlawanan, banding atau upaya hukum lainnya, maka Panitera berkewajiban membuat Akta Penolakan Banding.
d.      Nomor dalam perkara perlawanan adalah sama dengan Nomor gugatan asal dengan ditambah kode PLW.
4. Cara pemeriksaan upaya hukum perlawanan terhadap penetapan dismissal
Undang-undang tidak mengatur mengenai tata cara pemeriksaan terhadap perlawanan Penetapan Dismissal. Untuk mengisi kekosongan hukum tersebut diatur dalam Surat Mahkamah Agung RI No.224/Td.TUN/X/1993 tanggal 14 Oktober 1993 perihal JUKLAK yang dirumuskan dalam Pelatihan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Tahap III Angka VII.1, sebagai berikut :
a.      Pemeriksaan terhadap perlawanan atas Penetapan Dismissal tidak perlu sampai memeriksa materi gugatannya, seperti memeriksa bukti-bukti, saksi-saksi, ahli dan sebagainya.
b.      Barulah kalau perlawanan tersebut dinyatakan benar, maka dilakukan pemeriksaan terhadap pokok perkaranya yang dimulai dengan pemeriksaan persiapan dan seterusnya.
c.      Majelis yang memeriksa pokok perkaranya adalah Majelis yang sama dengan yang memeriksa gugatan perlawanan tersebut, tetapi dengan Penetapan Ketua Pengadilan. Jadi tidak dengan secara otomatis.
Selanjutnya perlu diketahui bahwa :
1.    Pemeriksaan gugatan perlawanan terhadap dismissal dilakukan oleh Majelis dalam sidang yang terbuka untuk umum.
2.    Pemeriksaan terhadap perlawanan atas Penetapan Dismissal tidak boleh sampai memeriksa materi gugatan.
3.    Dalam hal perlawanan ditolak, maka bagi Pelawan tidak tersedia upaya hukum. Dalam hal perlawanan diterima, maka persidangan terhadap perkaranya dilakukan dengan acara biasa oleh Majelis Hakim yang sama, dengan nomor perkara yang sama.
4.    Gugatan perlawanan terhadap Penetapan Dismissal Ketua Pengadilan diajukan dalam waktu 14 hari setelah Penetapan Ketua Pengadilan diucapkan.
5.    Perlawanan terhadap Penetapan Dismissal dilakukan dengan cara mengajukan gugatan biasa (vide Pasal 62 ayat 3b  jo. Pasal 56).
6.    Untuk melengkapi gugatan perlawanan dilampirkan salinan Penetapan Dismissal Ketua PTUN yang bersangkutan.
7.    Dasar gugatan atau hal yang diminta untuk diputus dalam perlawanan adalah menjelaskan mengenai mengapa Penetapan Dismissal Ketua dianggap tidak tepat menurut Pelawan, disertai tuntutan agar Penetapan Dismissal Ketua dinyatakan tidak berdasar.
8.    Jika diperlukan dalam gugatan perlawanan, Pelawan sendiri diminta hadir dalam persidangan untuk didengar oleh Majelis perlawanan.
9.    Gugatan perlawanan ditandatangani oleh Pelawan dan Kuasanya.
10.  Pokok pemeriksaan yang dilakukan terhadap gugatan perlawanan oleh Majelis Hakim perlawanan adalah :
a.        Tepat tidaknya penetapan Ketua PTUN yang menyatakan gugatan tidak diterima atau tidak berdasar.
b.       Dengan demikian yang diuji adalah tepat tidaknya penggunaan salah satu atau lebih alasan yang ditentukan dalam Pasal 62 huruf a sampai dengan huruf e UU PERATUN yang digunakan sebagai dasar untuk mendismissal gugatan Penggugat oleh Ketua PTUN dengan menyatakan gugatan tidak diterima atau tidak berdasar.
11.  Dalam hal Penetapan Dismissal Ketua Pengadilan dibenarkan oleh Majelis Hakim Perlawanan yang memutus gugatan perlawanan, maka putusannya harus disusun dalam bentuk yang mengacu ketentuan Pasal 109, yaitu memuat :
a.       Kepala Putusan yang berbunyi : “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
b.      Nama, Jabatan, Kewarganegaraan, Tempat Kediaman atau Tempat Kedudukan para pihak yang bersengketa.
c.       Pertimbangan dan penilaian Ketua Pengadilan atau Majelis yang memutusnya.
d.      Alasan hukum yang menjadi dasar putusan.
e.       Amar putusan tentang sengketa yang bersangkutan.
f.        Hari, tanggal putusan, nama Majelis yang memutus, nama Panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.
Apabila pihak-pihak tidak hadir pada waktu putusan diucapkan, maka kepada Panitera diperintahkan agar salinan putusan dikirimkan dengan surat tercatat kepada yang bersangkutan.
12. Akibat hukum apabila Penetapan Dismissal Ketua dibenarkan atau menurut pendapat Majelis perlawanan gugatan perlawanan tidak berdasar atau tidak dapat diterima, maka terhadap putusan Majelis perlawanan yang dilakukan dengan acara singkat tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum (vide Pasal 62 ayat 6). Akibatnya terhadap Penetapan Dismissal Ketua Pengadilan menjadi berkekuatan hukum tetap seperti putusan akhir terhadap pokok perkaranya.
5. Pemeriksaan dalam  proses dismissal dan upaya perlawanan dilakukan dengan acara singkat
Dalam Undang-Undang tidak diatur apa yang dimaksud dengan acara singkat. Undang-undang tersebut hanya mengatur pemeriksaan dengan acara cepat yaitu dalam Pasal 98. Dengan mengintrodusir acara singkat, kemungkinan Pembentuk undang-undang bermaksud agar rintangan yang mungkin akan menjadi penghalang penyelesaian sengketa tata usaha negara dapat dihindari secara cepat. Di samping itu, sebagai upaya untuk menghindari agar terhadap gugatan yang sebenarnya tidak memenuhi syarat untuk diproses sebagai gugatan tata usaha negara dilanjutkan pemeriksaannya sampai dengan terhadap pokok sengketanya. Cara pemeriksaannya dalam hal pemeriksaan dalam proses dismissal oleh Ketua, sesuai dengan ratio legisnya seharusnya memang sangat singkat, yaitu pemutusannya hanya dilakukan dalam rapat permusyawaratan Ketua Pengadilan tanpa ada proses antar pihak, dan tanpa dilakukan pemeriksaan di muka persidangan. Sedangkan yang dilakukan dalam proses pemeriksaan gugatan perlawanan oleh Majelis perlawanan hanyalah menguji tepat tidaknya penggunaan Pasal 62 huruf a sampai dengan huruf e Undang-Undang PERATUN oleh Ketua PTUN di dalam mendismissal gugatan.
B. PEMERIKSAAN BANDING
Upaya pemeriksaan tingkat banding pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) merupakan pemeriksaan ulang terhadap apa yang sudah diputus oleh pengadilan tata usaha negara tingkat pertama. Hal ini berarti bahwa pengadilan tinggi tata usaha negara akan memeriksa kembali, baik fakta maupun hal yuridisnya juga amar putusan pengadilan tata usaha negara tingkat pertama, terlepas ada atau tidaknya memori banding. Dalam pasal 122 UU PTUN, disebutkan terhadap putusan pengadilan tata usaha negara dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh penggugat atau tergugat, juga oleh pihak ketiga yang ikut serta dalam perkara, baik atas inisiatif sendiri ataupun atas permohonan pada pihak maupun atas permintaan hakim kepada pengadilan tinggi tata usaha negara[4]. Tenggang waktu yang disediakan menurut pasal 123 ayat (1) UU PTUN yakni 14 hari setelah putusan pengadilan deberitahukan kepada para pihak secara sah. dengan demikian apabila hingga tenggang waktu penajuan tersebut berakhir tanpa adanya pengajuan banding, maka para pihak dianggap telah menerima putusan hakim PTUN tersebut. Upaya hukum dengan asas peradilan dua tingkat in dilatarbelakangi pemikiran dan keyakinan bahwa belum tentu putusan pengadilan tingkat pertama tersebut telah memenuhi kepastian hukum dan atau rasa keadilan, karenanya perlu dimungkinkan adanya pemeriksaan ulang oleh pengadilan yang lebih tinggi.
Pengadilan tinggi tata usaha negara memeriksa dan memutuskan perkara banding dengan sekurang-kurangnya tiga orang hakim (pasal 127 ayat (1)). Cara pemeriksaan banding dilakukan atas dasar surat-surat, yakni berkas perkara yang bersangkutan, namun tidak dimungkinkannya hakim mendengar sendiri para pihak dan para saksi. Pengadilan tinggi juga dimungkinkan untuk meminta pengadilan tingkat pertama untuk melakukan pemeriksaan tambahan apabila dirasa pemeriksaan yang dilakukan oleh pengadilan tingkat pertama kurang dengan petunjuk seperlunya dari pengadilan tingkat banding. Selama pemeriksaan tingkat banding, pemohon banding diperkenankan mencabut atau menarik kembali permohonan banding yang telah diajukan asalkan perkara yang bersangkutan belum diputus oleh pengadilan tingkat banding dan perkara tersebut tidak diperkenankan untuk diajukan banding kembali. Terhadap para pihak yang merasa tidak puas atas putusan yang diberikan pada tingkat pertama (PTUN), berdasarkan ketentuan Pasal 122 UU Peratun terhadap putusan PTUN tersebut dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh Penggugat atau Tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN). Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya yang khusus diberi kuasa untuk itu, kepada PTUN yang menjatuhkan putusan tersebut, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan diberitahukan kepada yang bersangkutan secara patut. Selanjutnya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sesudah permohonan pemeriksaan banding dicatat, Panitera memberitahukan kepada kedua belah pihak bahwa mereka dapat melihat berkas perkara di Kantor Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah mereka menerima pemberitahuan tersebut. bKapan Proses Banding di mulai :
1. Ada Pihak yang tidak puas dengan putusan tersebut.
2. Yang tidak puas melakukan pertanyaan banding.
3. Pernyataan banding selambat-lambatnya di nyatakan 14 hari sejak diberitahu secara layak.
4. Membayar biaya perkara banding yang telah ditetapkan oleh Panitera.
5. Memuat memori banding (namun tidak wajib) dengan waktu 30 hari sejak pengjauan banding tetapi ini tidak wajib.
Pernyataan banding bisa di ajukan / di mohonkan di PTUN tempat dia berdomisili, namun nantinya PTUN akan mengirimkan salinan permohonan banding ke PT.TUN yang mencakup wilayahnya. Tetapi bisa juga pengajuannya dating langsung ke PT.TUN.
1. Pernyataan Banding
Pernyataan banding harus di nyatakan (secara tertulis atau lisan) dan membayar biaya panjar perkara yang telah di tetapkan oleh PTUN atau PT.TUN. Apabila menyatakan dengan surat maka ditujukan kepada Kepala Pengadilan Tata Usaha Negara, sedang untuk yang tidak bisa membaca dan menulis maka dia dapat melalui lisan yang pelaksanaanya di hadapan ketua Pengadilan Tata Usaha Negara secara langsung. Kemudian oleh KPTUN di tulis ulang pernyataan tersebut.
2. Tata cara pemeriksaan pada tingkat banding
1. Hakim pemeriksa perkara
a. Hakim bersifat majelis (tidak bisa tunggal / pasal 128).
b. Kalau dimana didapati anggota hakim tadi merupakan pindahan dari pengajuan perkara yang diminta banding, dia harus secara tegas untuk tidak ikut atau mengundurkan diri (pasal 128).
2. Pembuktian
Kalau dalam proses pembuktiaan bila ada data yang kurang maka hakim melakukan :
a. Melakukan pemeriksaan sendiri untuk menetapkan tambahan data.
b. Memerintahkan PT. Tk. 1 memanggil dan memeriksa kembali untuk memperoleh data yang diminta (pasal 127).
3. Beberapa ketentuan

a. Kalau seseorang pada waktu berperkara dan pada putusan dia menerima putusan tersebut maka dia tidak bisa menyatakan banding.
b. Bila mana perkara tersebut telah diputus maka panitia pengadilan harus memberitahu para pihak melalui Pengadilan Tk. 1 di kota dimana sengketa itu ada atau di ajukan.
Mengenai pencabutan kembali suatu permohonan banding dapat dilakukan setiap saat sebelum sengketa yang dimohonkan banding itu diputus oleh Pengadilan Tinggi TUN. Setelah diadakannya pencabutan tersebut permohonan pemeriksaan banding tidak dapat diajukan oleh yang bersangkutan, walaupun tenggang waktu untuk mengajukan permohonan pemeriksaan banding belum lampau (Pasal 129).
C.PEMERIKSAAN KASASI
Perkataan Kasasi berasal dari kara ”Casser”, yang berarti memecahkan atau membatalkan. Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi terhadap putusan dari semua lingkungan peradilan[5]. Apabila terdapat permohonan kasasi yang diajukan kepada Mahkamah Agung, maka hal tersebut berarti bahwa putusan tersebut dapat dibatalkan oleh MA karena:
a.tidak berwenang atau melebihi batas wewenang;
b.salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
c.lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan (pasal 30 UU No 14 tahun 1985 UU MA).
Mahkamah Agung tidaklah memeriksa fakta atau kejadian-kejadian, tetapi hanyalah penerapan hukumnya saja, sedangkan pemeriksaan dan penetapan fakta dilakukan oleh pengadilan tingkat pertama dan diperiksa ulang oleh pengadilan tinggi. Tenggang waktu dalam UU PTUN tidak disebutkan dengan jelas mengenai batas diajukannya kasasi, karena dalam pasal 131 ayat (2) UU PTUN bahwa acara pemeriksaan kasasi sepenuhnya diatur dalam UU MA yang artinya pemeriksaan perkara kasasinya digunakan UUMA yang menagtur mengenai acara kasasi untuk peradilan umum (perdata) . Pengajuan menurut UUMA ialah selama 14 hari setelah putusan dibacakan dan selambat-lambatnya 7 hari panitera harus menghubungi pihak lawan setelah permohonan kasasi terdaftar. Dalam tenggang waktu 14 hari setelah permohonan kasasi dicatat dalam buku daftar, pemohon kasasi wajib menyampaikan memori kasasi yang memuat alasan-alasan permohonan kasasi. Lawan diharuskan telah menyerahkan jawaban atas salinan memori kasasi dalam waktu 14 hari setelah ia menerima salinan memori kasasi tersebut, dan selambat-lambatnya 30 hari setelah menerima memoro kasasi dan jawaban atas memori kasasi, panitera mengirimkan semua berkas kasasi tadi ke Mahkamah Agung. Permohonan Kasasi hanya dapat diajukan satu kali (Pasal 43 UUMA), Terhadap putusan pengadilan tingkat Banding dapat dilakukan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan ditingkat Kasasi diatur dalam pasal 131, yang menyebutkan bahwa pemeriksaan tingkat terakhir di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung. Untuk acara pemeriksaan ini dilakukan menurut ketentuan UU No.14 Tahun 1985 Jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
Menurut Pasal 55 ayat (1) UU Mahkamah Agung, pemeriksaan kasasi untuk perkara yang diputus oleh Pengadilan dilingkungan Pengadilan Agama atau oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dilakukan menurut ketentuan UU ini. Dengan demikian sama halnya dengan ketiga peradilan yang lain, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer, maka Peradilan Tata Usaha Negara juga berpuncak pada Mahkamah Agung.
Untuk dapat mengajukan permohonan pemeriksaan di tingkat kasasi, Pasal 143 UU No 14 Tahun 1985 menentukan bahwa permohonan kasasi dapat diajukan jika pemohon terhadap perkaranya telah menggunakan upaya hukum banding, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Menurut Pasal 46 ayat (1) UU No 14 Tahun 1985, permohonan pemeriksaan di tingkat kasasi harus diajukan dalam tenggang waktu 14 hari setelah putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara diberitahukan kepada pemohon. Apabila tenggang waktu 14 hari tersebut telah lewat tanpa ada permohonan kasasi yang diajukan oleh pihak yang berperkara, maka menurut Pasal 46 ayat (2) UU Nomor 14 Tahun 1985 ditentukan bahwa pihak yang berperkara dianggap telah menerima putusan.
Mengingat pemberitahuan adanya putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara itu dilakukan dengan menyampaikan salinan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dengan surat tercatat oleh Panitera kepada penggugat atau tergugat, maka perhitungan 14 hari itu dimulai esok harinya setelah penggugat atau tergugat menerima surat tercatat yang dikirim oleh Panitera yang isinya salinan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.Alasan pengajuan kasasi sebagaimana tertuang dalam Pasal 30 ayat (1) UU No 14 Tahun 1985 jo UU No 5 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa MA dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan, karena:
a)      tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
b)      salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
c)      lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

D.PERLAWANAN OLEH  PIHAK KETIGA (derdenverzet)
Yang dimaksud dengan pihak ketiga disini ialah pihak ketiga yang tidak ikut serta dalam proses perkara yang dimaksud pada pasal 83, yaitu mereka yang tidak intervensi (pasal 118 UUPTUN).
Perlawanan pihak ketiga yang tidak ikut intervensi harus diajukan dengan berdasar syarat:
a.Melalui prosedur pasal 56 serta ia atau mereka mempunyai kepentingan yang dirugikan berdasarkan ketentuan pasal 53;
b.Putusan yang berkekuaan hukum tetap yang dimaksud dalam pasal 116 ayat (1) berisi amar:
1.kewajiban tergugat untuk mencabut KTUN yang digugat, yang disebutkan oleh pasal 97 ayat (10);
2.kewajiban tergugat untuk mencabut KTUN yang digugat disertai kewajiban menerbitkan KTUN yang 
baruyang disebut oleh pasal 97 ayat (9);
3.kewajiban badan atau pejabat TUN untuk menerbitkan KTUN yang menyangkut kepegawaian, yang dibebani kewajiban mencabut KTUN yang bersangkutan atau mencabut keputusan yang bersangkutan serta menerbitkan keputusan baru dalam hal gugatan didasarkan pasal 3 disertai ganti kerugian dan rehabilitasi dalam kedudukan dan jabatan semula.
Selanjutnya upaya hukum ini akan di proses dalam rapat permusyawaratan (pasal 62) dan pemeriksaan persiapan (pasal 63). Putusan pengadilan ini bersifat eksekutorial setelah berkekuatan tetap oleh karenanya tidak dapat ditunda pelaksanaannya.

E.PEMERIKSAAN  PENINJAUAN  KEMBALI (request civil)

UU PTUN juga mengenal adanya upaya hukum peninjauan kembali seperti yang diatur dalam pasal 132:
1.Terhadap putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan peninjauan hukum kembali kepada Mahkamah Agung.
2.Acara pemeriksaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 177 ayat (1) UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Cara permohonan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diatur menurut ketentuan pasal 132 yang dihibungkan dengan pasal 70 ayat (1) UU MA, dilakukan melalui ketua pengadilan yang memutus perkara dalam tingkat pertama dengan membayar biaya perkara yang diperlukan. Permohonan ini diajukan sendiri oleh pihak-pihak atau oleh ahli warisnya atau oleh wakilnya dengan surat kuasa khusus untuk maksud itu, dan apabila selama prosese peninjauan kkembali pemohon meninggala dunia, maka permohonan peninjauan kembali tersebut dilanjutkan oleh ahli warisnya (pasal 68)[6].
Alasan yang dapat digunakan diajukannya peninjauan kembali yaitu:
a.Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkara diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b.Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak ditemukan.
c.Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut;
d.Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e.Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama dan atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatannya telah diberikan putusan yang bertentangan satu sama lain.
f.Apabila ada suatu putusan terdapatsuatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata (pasal 67 UUMA).
Tenggang waktu mengajukan permohonan peninjauan kembali diajukan dalam waktu 180 hari, untuk:
a.yang disebut pada huruf (a), sejak diketahui kebohongannya atau tipu muslihatnya atau sejak putusan hakin pidana memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara. hari dan tanggal diketahuinya kebohongan tersebut harus dibuktikan dengan secara tertulis;
b.yang disebut pada huruf (b), sejak ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang;
c.yang disebut pada huruf (c), (d), dan (f), sejak putusan memperoleh kekuatan hukum yang tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara (pasal 69 UUMA);
d.yang disebut pada huruf (e), sejak putusan terakhir dan bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara (pasal 69 UUMA).
Pada prinsipnya, permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan (pasal 66 ayat (2) UU MA). Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya satu kali. Apabila permohonan kembali dicabut sebelum diputus, maka permohonan tersebut tidak dapat diajukan kembali (pasal 66 ayat (1) dan (3) UU MA).

(Satrio Adi I) 


daftar pustaka :

[1] Siti Soetami, A, 2005, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT Refika Aditama, Jakarta.

[2] Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Buku II), Sinar Harapan, Jakarta.
[3] Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Buku II), Sinar Harapan, Jakarta. Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Buku II), Sinar Harapan, Jakarta.
[4] Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Buku II), Sinar Harapan, Jakarta.
[5] Siti Soetami, A, 2005, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT Refika Aditama, Jakarta.
[6] Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Buku II), Sinar Harapan, Jakarta.1988

No comments:

Post a Comment