PERADILAN TATA USAHA NEGARA
‘’UPAYA HUKUM’’
DOSEN : Dr. Fatkhurrohman,SH,.Mhum
OLEH :
Satrio Adi I
FAKULTAS HUKUM 2014
UNIVERSITAS WIDYAGAMA MALANG
Sistem peradilan di Indonesia menganut pemeriksaan dalam dua
tingkatan yakni pemeriksaan tingkat pertama yang dilakukan oleh pengadilan
tingkat pertama dan pemeriksaan tingkat kedua yaitu merupakan pemeriksaan ulang
yang dilakukan oleh pengadilan tinggi. pengadilan tingkat pertama sendiri yaitu
Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN),
Pengadilan Militer sedang pengadilan tinggi tingkat kedua yaitu Pengadilan
Tinggi (PT), Pengadilan Tinggi Agama, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT
TUN), dan Mahkamah Tinggi Militer.[1]
Upaya hukum merupakan hak dari pihak yang dikalahkan untuk
tidak menerima putusan pengadilan, yang berupa perlawanan atau banding atau
kasasi atau hak untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal
menurut cara yang diatur oleh undang-undang. Upaya hukum terhadap putusan
pengadilan ialah usaha untuk mencari keadilan pada tingkat pengadilan yang
lebih tinggi dari pengadilan yang menjatuhkan putusan tersebut.
Upaya hukum bukanlah dimaksudkan
untuk memperlama penyelesaian sengketa suatu perkara, apalagi dimakudkan untuk
mengenyampingkan kepastian hukum. Namun, upaya hukum diperlukan karena hal ini
merupakan hak dari masing-masing pihak untuk memberi kepastian bagi dirinya
melalui cara yang telah di akomodasi oleh undang-undang. Bagaimanapun tidak
bisa dinafikan bahwa hakim ialah soso manusia yang juga dekat dengan kesalahan,
dapat bersifat subjektif, tak jarang pula dapat memihak salah satu pihak dan
tak urung membuyarkan kepastian dari putusan yang dijatuhkan. Dengan
tersedianya upaya hukum, putusan yang telah dijatuhkanoleh hakim masih
dimungkinkan diperiksa ulang ketepatannya. Dalam hal peradilan Tata Uaha
Negara, beberapa cara diatur guna upaya hukum. Terdapat beberapa upaya hukum
yang dapat ditempuh oleh para pihak dalam lingkungan peradilan tata usaha
negara, baik terhadap putusan pengadilan yang belum mempunyai kekuatan hukum
tetap, maupun terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap.
Upaya hukum yang tersedia dalam hukum acara Peratun adalah:
1.Perlawana Putusan Dismissal,
2.Pemeriksaan Banding,
3.Pemeriksaan Kasasi,
4.Perlawanan oleh pihak ketiga (derdenverzet),
5.Pemeriksaan Peninjauan Kembali (request civil).
1.Perlawana Putusan Dismissal,
2.Pemeriksaan Banding,
3.Pemeriksaan Kasasi,
4.Perlawanan oleh pihak ketiga (derdenverzet),
5.Pemeriksaan Peninjauan Kembali (request civil).
Upaya hukum yang dapat ditempuh terhadap putusan pengadilan
yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap adalah perlawanan, banding, dan
kasasi, yang dikenal dengan sebutan upaya hukum biasa. sedangkan upaya hukum
yang dapat ditempuh terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap adalah peninjauan kembali (request civil) dan perlawanan pihak
ketiga (derdenverzet), keduanya dikenal dengan sebutan upaya hukum istimewa
atau upaya hukum luar biasa.
A. Perlawanan Putusan Dismissal
Dalam prosedur Dismissal diputuskan apakah gugatan yang
diajukan oleh penggugat diterima atau ditolak. apabila hasil rapat
permusywaratan memutuskan gugatan diterima, maka gugatan akan diproses pada
acara biasa, apabila ditolak, dikeluarkan penetapan (beschikking) dengan
dilengkapi pertimbangan-pertimbangan dan putusan dibacakan dalam rapat
permusyawaratan oleh ketua dewan dan didenganrkan oleh para pihak. Apabila
pihak-pihak keberatan atas penetapan ketua, maka mereka dapat mengajukan
perlawanan (verzet) atas penetapan tersebut. Perlawanan yang diajukan oleh
penggugat terhadap penetapan dismissal tersebut pada dasarnya membantah
alasan-alasan yang digunakan oleh Ketua Pengadilan sebagai berikut:
a.Pokok gugatan nyata-nyata tidak termasuk wewenang pengadilan;
b.Syarat-sarat gugatan sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 56 tidak dipenuhi oleh penggugat, sekalipun ia telah diberitahu dan diperingatkan;
c.gugatan tidak didasarkan alasan-alasan yang layak;
d.Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah dipenuhi oleh keputusan tata usaha negara yang digugat;
e.Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya (pasal 55).
a.Pokok gugatan nyata-nyata tidak termasuk wewenang pengadilan;
b.Syarat-sarat gugatan sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 56 tidak dipenuhi oleh penggugat, sekalipun ia telah diberitahu dan diperingatkan;
c.gugatan tidak didasarkan alasan-alasan yang layak;
d.Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah dipenuhi oleh keputusan tata usaha negara yang digugat;
e.Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya (pasal 55).
Apabila pihak-pihak hadir pada waktu mengucapkan putusan
penetapan, maka perlawanan diajukan kepada pengadilan dalam tenggang waktu 14
hari setelah penetapan ditetapkan sesuai dengan ketentuan pasal 62 ayat (3) UU
No. 1 tahun 1986 tentang Peradilan TUN. Apabila salah satu pihak tidak hadir
pada saat putusan dibacakan, maka perlawanan dapat diajukan dalam tenggang
waktu 14 hari terhitung sejak diterimanya salinan penetapan. Pemberitahuan
putusan penetapan disampaikan dengan surat tercatat.
Dalam
acara perlawanan pihak yang melawan menjadi pihak penggugat (pelawan-penggugat)
dan pihak yang dilawan menjadi tergugat (terlawan-tergugat). Perlawanan
diperikasa dan diputus dalam acara singkat. Terhadap putusan mengenai
perlawanan tidak dapat digunakan upaya hukum baik berupa banding ataupun kasasi
(Pasal 62 ayat (6) UU PTUN)[2].
Namun menurut Wicipto Setiadi,3 dalam hal penggugat tidak dapat menerima
putusan tersebut, satu-satunya kemungkinan ialah dengan mengajukan gugatan
baru. Berdasarkan SEMA No. 2 Tahun 1991 angka V butir 2, pengajuan gugatan baru
dimungkinkan sepanjang tenggang waktu mengajukan gugatan sebagaimana diatur
dalam pasal 55 UU PTUN masih tersisa. Proses dismissal merupakan proses
penelitian terhadap gugatan yang masuk di Pengadilan Tata Usaha Negara oleh
Ketua Pengadilan. Dalam proses penelitian itu, Ketua Pengadilan dalam rapat
permusyawaratan memutuskan dengan suatu Penetapan yang dilengkapi dengan
pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak
diterima atau tidak berdasar.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah
diubah dan ditambah dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara (dan untuk memudahkan penyebutannya selanjutnya disebut UU
PERATUN), dan juga di dalam penjelasannya, istilah proses dismissal tidak
dikenal, akan tetapi substansi dari makna tersebut diatur dalam Pasal 62 UU
PERATUN.
Istilah prosedur dismissal atau proses dismissal hanya dapat
ditemui dalam keterangan Pemerintah di hadapan siding paripurna DPR-RI yang
mengantarkan RUU tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang disampaikan oleh
Menteri Kehakiman Ismail Saleh, S.H., pada tanggal 29 April 1986.
dalam
penyelesaian perkara di PTUN.
Aspek kehidupan masyarakat saat ini banyak sekali yang melibatkan atau turut
campurnya pemerintah. Sehingga administrasi negara memerlukan kekuasaan dan
kebebasan yang semkin besar pula. Pemerintah dalam melaksanakan tugasnya juga,
terkadang tersandung dengan banyak kepentingan sehingga ada pihak yang
dirujikan atau juga pihak yang terganggu kepentingannya. Pemerintah menanggapi
akan hal ini dengan adanya adminstrasi negara maka dibentuklah peradilan yang
bisa meyelesaikan sengketa yang terjadi antara badan atau instansi pemerintah
dengan masyarakat. Agar kekuasaan dan kebebasan tersebut tidak disalahgunakan,
dan perlindungan hukum tetap terjamin untuk itu diperlukan pengawasan terhadap
administrasi negara. Peranan pemerintah dalam hal ini menciptakakan Peradilan
Tata Usaha Negara untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan warga
negaranya, yakni sengketa yang timbul sebagai akibat dari adanya
tindakan-tindakan pemerintah yang dianggap melanggar hak-hak warga negaranya.
Yang tidak diatur dalam peradilan yang ada seperti peradilan umum dan peradilan
agama atau peradilan perdata. Penerapan dalam Peradilan Tata Usaha Negara
(PTUN) berbeda dengan peradialn perdata salah satunya yaitu adanya Proses
dismissal dan ini merupakan karakteristik dari PTUN. Proses dismissal atau
rapat permusyawaratan merupakan proses penyaringan terhadap gugatan yang masuk
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Di dalam Acara rapat permusyawaratan atau
pemeriksaan dismissal dilakukan secara musyawarah apakah perkara tersebut
diterima atau tidak. Adanya proses dismissal ini dilatar belakangi berdasarkan
suatu gugatan tidak semua dapat di terima di PTUN sehingga dengan proses
dismissal ini padat disaring perkara-perkara yang masuk di PTUN. proses
dismissal ini memang harus dilalui setiap gugatan yang masuk ke PTUN. Hal itu
untuk dinilai layak tidaknya sebuah gugatan dilanjutkan ke tahap selanjutnya
yakni persidangan. Dalam proses dismissal, Ketua PTUN akan didampingi panitera
yang mencatat jalannya pemeriksaan berkas. "Kalau lolos, ketua PTUN akan
menunjuk majelis hakimnya, tapi kalau tidak lolos, akan dikeluarkan penetapan
dismissa. bagi pihak yang merasa keberatan dengan penetapan dismissal tersebut,
bisa melakukan perlawanan, dan ketua PTUN akan menilai kembali. Penilaian yang
dimaksud, sebuah gugatan menjadi kewenangan PTUN atau tidak untuk mengadil
1. Proses Dissmissal
Pasal 62 UU PERATUN tidak mengatur secara terperinci
bagaimana mekanisme pemeriksaan terhadap gugatan yang masuk dalam proses
dismissal. Untuk mengisi kekosongan hukum acaranya, Mahkamah Agung dalam SEMA
No.2 Tahun 1991 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Beberapa Ketentuan Di Dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Romawi
II, antara lain mengatur sebagai berikut :
a. Prosedur dismissal
dilaksanakan oleh Ketua dan dapat juga menunjuk seorang Hakim sebagai reporteur
(raportir).
b. Pemeriksaan dilaksanakan
dalam rapat permusyawaratan (di dalam kamar Ketua) atau dilaksanakan secara
singkat.
c. Ketua Pengadilan berwenang memanggil
dan mendengarkan keterangan para pihak sebelum menentukan Penetapan Dismissal
apabila dianggap perlu.
d. Penetapan Dismissal berisi
gugatan dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar, dan Penetapan tersebut
ditandatangani oleh Ketua dan Panitera Kepala/Wakil Panitera. Wakil Ketua
Pengadilan dapat pula menandatangani Penetapan Dismissal dalam hal Ketua
Pengadilan berhalangan.
e. Penetapan Dismissal
diucapkan dalam rapat permusyawaratan sebelum hari persidangan ditentukan,
dengan memanggil kedua belah pihak untuk mendengarkan.
f. Dalam hal ada petitum
gugatan yang nyata-nyata tidak dapat dikabulkan, maka dimungkinkan ditetapkan
dismissal terhadap bagian petitum gugatan tersebut (dismissal parsial).
g. Dalam hal ditetapkan dismissal
parsial, ketentuan perlawanan terhadap Penetapan Dismissal berlaku juga dalam
hal ini.
h. Di dalam “mendismissal
gugatan” hendaknya Ketua Pengadilan tidak terlalu mudah menggunakan Pasal 62
tersebut, kecuali mengenai Pasal 62 ayat (1) butir a dan e.
2. Alasan-Alasasn untuk Mendissmissal Gugatan
Alasan-alasan yang dapat dipakai untuk melakukan dismissal
terhadap gugatan ditentukan secara limitatif dalam Pasal 62 ayat (1) huruf a
sampai dengan huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yaitu[3]
:
a. Pokok gugatan tersebut
nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang Pengadilan.
Yang dimaksud dengan “pokok gugatan”, menurut penjelasannya
adalah fakta yang dijadikan dasar gugatan. Atas dasar fakta tersebut Penggugat
mendalilkan adanya suatu hubungan hukum tertentu, dan oleh karenanya mangajukan
tuntutan.
b. Syarat-syarat gugatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak dipenuhi oleh Penggugat sekalipun ia
telah diberitahu dan diperingatkan.
c. Gugatan tersebut tidak
didasarkan pada alasan-alasan yang layak.
d. Apa yang dituntut dalam
gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh Keputusan TUN yang digugat.
e. Gugatan diajukan sebelum
waktunya, atau telah lewat waktunya.
3. Perlawanan terhadap penetapan
Dismissal
Perlawanan terhadap Penetapan Dismissal diatur dalam Pasal
62 ayat (3), (4), (5) dan (6) UU PERATUN, selengkapnya sebagai berikut :
(3) a. Terhadap Penetapan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diajukan perlawanan kepada Pengadilan
dalam tenggang waktu 14 hari setelah ditetapkan ;
b. Perlawanan tersebut diajukan sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56.
(4) Perlawanan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) diperiksa dan diputus oleh Pengadilan dengan acara singkat.
- Maksud
diterapkannya acara singkat menurut Indroharto dalam Buku II hal. 149
adalah :
1. Agar rintangan-rintangan
yang mungkin terjadi untuk penyelesaian perkara secara cepat terhadap sengketa
TUN sedapat mungkin di singkirkan.
2. Cara yang sederhana dan
singkat untuk menanggulangi arus masuknya perkara yang sebenarnya tidak
memenuhi syarat untuk diproses sebagai gugatan di Pengadilan TUN.
(5) Dalam hal perlawanan tersebut
dibenarkan oleh Pengadilan, maka Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
gugur demi hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan
menurut cara biasa.
(6) Terhadap putusan mengenai perlawanan
itu tidak dapat digunakan upaya hukum.
Isi perlawanan pada pokoknya menyatakan bahwa gugatan
Penggugat telah sempurna atau telah benar-benar sesuai dengan fakta-fakta yang
didalilkan dalam gugatan, dan tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 62 ayat (1)
huruf a sampai dengan huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.
Selanjutnya dalam JUKLAK Mahkamah Agung RI
No.222/Td.TUN/X/1993 tanggal 14 Oktober 1993, ditentukan :
a. Dalam proses perlawanan terhadap Penetapan Dismissal, setidak-tidaknya
Penggugat/Pelawan maupun Tergugat didengar dalam persidangan tanpa memeriksa
pokok gugatan.
b. Putusan perlawanan terhadap
Penetapan Dismissal tidak tersedia upaya hukum apapun (vide Pasal 62 ayat 6
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986), baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum
luar biasa.
c. Dalam hal pihak Pelawan
mengajukan perlawanan, banding atau upaya hukum lainnya, maka Panitera
berkewajiban membuat Akta Penolakan Banding.
d. Nomor dalam perkara
perlawanan adalah sama dengan Nomor gugatan asal dengan ditambah kode PLW.
4. Cara pemeriksaan upaya hukum perlawanan terhadap
penetapan dismissal
Undang-undang tidak mengatur mengenai tata cara pemeriksaan
terhadap perlawanan Penetapan Dismissal. Untuk mengisi kekosongan hukum
tersebut diatur dalam Surat Mahkamah Agung RI No.224/Td.TUN/X/1993 tanggal 14
Oktober 1993 perihal JUKLAK yang dirumuskan dalam Pelatihan Hakim Pengadilan
Tata Usaha Negara Tahap III Angka VII.1, sebagai berikut :
a. Pemeriksaan terhadap
perlawanan atas Penetapan Dismissal tidak perlu sampai memeriksa materi
gugatannya, seperti memeriksa bukti-bukti, saksi-saksi, ahli dan sebagainya.
b. Barulah kalau perlawanan
tersebut dinyatakan benar, maka dilakukan pemeriksaan terhadap pokok perkaranya
yang dimulai dengan pemeriksaan persiapan dan seterusnya.
c. Majelis yang memeriksa
pokok perkaranya adalah Majelis yang sama dengan yang memeriksa gugatan
perlawanan tersebut, tetapi dengan Penetapan Ketua Pengadilan. Jadi tidak
dengan secara otomatis.
Selanjutnya perlu diketahui bahwa :
1. Pemeriksaan gugatan perlawanan terhadap
dismissal dilakukan oleh Majelis dalam sidang yang terbuka untuk umum.
2. Pemeriksaan terhadap perlawanan atas
Penetapan Dismissal tidak boleh sampai memeriksa materi gugatan.
3. Dalam hal perlawanan ditolak, maka bagi
Pelawan tidak tersedia upaya hukum. Dalam hal perlawanan diterima, maka
persidangan terhadap perkaranya dilakukan dengan acara biasa oleh Majelis Hakim
yang sama, dengan nomor perkara yang sama.
4. Gugatan perlawanan terhadap Penetapan
Dismissal Ketua Pengadilan diajukan dalam waktu 14 hari setelah Penetapan Ketua
Pengadilan diucapkan.
5. Perlawanan terhadap Penetapan Dismissal
dilakukan dengan cara mengajukan gugatan biasa (vide Pasal 62 ayat 3b jo.
Pasal 56).
6. Untuk melengkapi gugatan perlawanan
dilampirkan salinan Penetapan Dismissal Ketua PTUN yang bersangkutan.
7. Dasar gugatan atau hal yang diminta
untuk diputus dalam perlawanan adalah menjelaskan mengenai mengapa Penetapan
Dismissal Ketua dianggap tidak tepat menurut Pelawan, disertai tuntutan agar
Penetapan Dismissal Ketua dinyatakan tidak berdasar.
8. Jika diperlukan dalam gugatan
perlawanan, Pelawan sendiri diminta hadir dalam persidangan untuk didengar oleh
Majelis perlawanan.
9. Gugatan perlawanan ditandatangani oleh
Pelawan dan Kuasanya.
10. Pokok pemeriksaan yang dilakukan terhadap gugatan
perlawanan oleh Majelis Hakim perlawanan adalah :
a.
Tepat tidaknya penetapan Ketua PTUN yang menyatakan gugatan
tidak diterima atau tidak berdasar.
b. Dengan demikian yang diuji adalah
tepat tidaknya penggunaan salah satu atau lebih alasan yang ditentukan dalam
Pasal 62 huruf a sampai dengan huruf e UU PERATUN yang digunakan sebagai dasar
untuk mendismissal gugatan Penggugat oleh Ketua PTUN dengan menyatakan gugatan
tidak diterima atau tidak berdasar.
11. Dalam hal Penetapan Dismissal Ketua Pengadilan
dibenarkan oleh Majelis Hakim Perlawanan yang memutus gugatan perlawanan, maka
putusannya harus disusun dalam bentuk yang mengacu ketentuan Pasal 109, yaitu
memuat :
a. Kepala Putusan yang berbunyi : “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
b. Nama, Jabatan, Kewarganegaraan,
Tempat Kediaman atau Tempat Kedudukan para pihak yang bersengketa.
c. Pertimbangan dan penilaian Ketua
Pengadilan atau Majelis yang memutusnya.
d. Alasan hukum yang menjadi dasar
putusan.
e. Amar putusan tentang sengketa yang
bersangkutan.
f.
Hari, tanggal putusan, nama Majelis yang memutus, nama
Panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.
Apabila pihak-pihak tidak hadir pada waktu putusan
diucapkan, maka kepada Panitera diperintahkan agar salinan putusan dikirimkan
dengan surat tercatat kepada yang bersangkutan.
12. Akibat hukum apabila Penetapan Dismissal Ketua
dibenarkan atau menurut pendapat Majelis perlawanan gugatan perlawanan tidak
berdasar atau tidak dapat diterima, maka terhadap putusan Majelis perlawanan
yang dilakukan dengan acara singkat tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum (vide
Pasal 62 ayat 6). Akibatnya terhadap Penetapan Dismissal Ketua Pengadilan
menjadi berkekuatan hukum tetap seperti putusan akhir terhadap pokok
perkaranya.
5. Pemeriksaan dalam
proses dismissal dan upaya perlawanan dilakukan dengan acara singkat
Dalam Undang-Undang tidak diatur apa yang dimaksud dengan
acara singkat. Undang-undang tersebut hanya mengatur pemeriksaan dengan acara
cepat yaitu dalam Pasal 98. Dengan mengintrodusir acara singkat, kemungkinan
Pembentuk undang-undang bermaksud agar rintangan yang mungkin akan menjadi
penghalang penyelesaian sengketa tata usaha negara dapat dihindari secara
cepat. Di samping itu, sebagai upaya untuk menghindari agar terhadap gugatan
yang sebenarnya tidak memenuhi syarat untuk diproses sebagai gugatan tata usaha
negara dilanjutkan pemeriksaannya sampai dengan terhadap pokok sengketanya. Cara
pemeriksaannya dalam hal pemeriksaan dalam proses dismissal oleh Ketua, sesuai
dengan ratio legisnya seharusnya memang sangat singkat, yaitu pemutusannya
hanya dilakukan dalam rapat permusyawaratan Ketua Pengadilan tanpa ada proses
antar pihak, dan tanpa dilakukan pemeriksaan di muka persidangan. Sedangkan
yang dilakukan dalam proses pemeriksaan gugatan perlawanan oleh Majelis
perlawanan hanyalah menguji tepat tidaknya penggunaan Pasal 62 huruf a sampai
dengan huruf e Undang-Undang PERATUN oleh Ketua PTUN di dalam mendismissal
gugatan.
B. PEMERIKSAAN BANDING
Upaya pemeriksaan tingkat banding pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) merupakan pemeriksaan ulang terhadap apa yang sudah diputus oleh pengadilan tata usaha negara tingkat pertama. Hal ini berarti bahwa pengadilan tinggi tata usaha negara akan memeriksa kembali, baik fakta maupun hal yuridisnya juga amar putusan pengadilan tata usaha negara tingkat pertama, terlepas ada atau tidaknya memori banding. Dalam pasal 122 UU PTUN, disebutkan terhadap putusan pengadilan tata usaha negara dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh penggugat atau tergugat, juga oleh pihak ketiga yang ikut serta dalam perkara, baik atas inisiatif sendiri ataupun atas permohonan pada pihak maupun atas permintaan hakim kepada pengadilan tinggi tata usaha negara[4]. Tenggang waktu yang disediakan menurut pasal 123 ayat (1) UU PTUN yakni 14 hari setelah putusan pengadilan deberitahukan kepada para pihak secara sah. dengan demikian apabila hingga tenggang waktu penajuan tersebut berakhir tanpa adanya pengajuan banding, maka para pihak dianggap telah menerima putusan hakim PTUN tersebut. Upaya hukum dengan asas peradilan dua tingkat in dilatarbelakangi pemikiran dan keyakinan bahwa belum tentu putusan pengadilan tingkat pertama tersebut telah memenuhi kepastian hukum dan atau rasa keadilan, karenanya perlu dimungkinkan adanya pemeriksaan ulang oleh pengadilan yang lebih tinggi.
Upaya pemeriksaan tingkat banding pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) merupakan pemeriksaan ulang terhadap apa yang sudah diputus oleh pengadilan tata usaha negara tingkat pertama. Hal ini berarti bahwa pengadilan tinggi tata usaha negara akan memeriksa kembali, baik fakta maupun hal yuridisnya juga amar putusan pengadilan tata usaha negara tingkat pertama, terlepas ada atau tidaknya memori banding. Dalam pasal 122 UU PTUN, disebutkan terhadap putusan pengadilan tata usaha negara dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh penggugat atau tergugat, juga oleh pihak ketiga yang ikut serta dalam perkara, baik atas inisiatif sendiri ataupun atas permohonan pada pihak maupun atas permintaan hakim kepada pengadilan tinggi tata usaha negara[4]. Tenggang waktu yang disediakan menurut pasal 123 ayat (1) UU PTUN yakni 14 hari setelah putusan pengadilan deberitahukan kepada para pihak secara sah. dengan demikian apabila hingga tenggang waktu penajuan tersebut berakhir tanpa adanya pengajuan banding, maka para pihak dianggap telah menerima putusan hakim PTUN tersebut. Upaya hukum dengan asas peradilan dua tingkat in dilatarbelakangi pemikiran dan keyakinan bahwa belum tentu putusan pengadilan tingkat pertama tersebut telah memenuhi kepastian hukum dan atau rasa keadilan, karenanya perlu dimungkinkan adanya pemeriksaan ulang oleh pengadilan yang lebih tinggi.
Pengadilan tinggi tata usaha negara
memeriksa dan memutuskan perkara banding dengan sekurang-kurangnya tiga orang
hakim (pasal 127 ayat (1)). Cara pemeriksaan banding dilakukan atas dasar
surat-surat, yakni berkas perkara yang bersangkutan, namun tidak
dimungkinkannya hakim mendengar sendiri para pihak dan para saksi. Pengadilan
tinggi juga dimungkinkan untuk meminta pengadilan tingkat pertama untuk
melakukan pemeriksaan tambahan apabila dirasa pemeriksaan yang dilakukan oleh
pengadilan tingkat pertama kurang dengan petunjuk seperlunya dari pengadilan
tingkat banding. Selama pemeriksaan
tingkat banding, pemohon banding diperkenankan mencabut atau menarik kembali
permohonan banding yang telah diajukan asalkan perkara yang bersangkutan belum
diputus oleh pengadilan tingkat banding dan perkara tersebut tidak
diperkenankan untuk diajukan banding kembali. Terhadap
para pihak yang merasa tidak puas atas putusan yang diberikan pada tingkat
pertama (PTUN), berdasarkan ketentuan Pasal 122 UU Peratun terhadap putusan
PTUN tersebut dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh Penggugat atau Tergugat
kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN). Permohonan pemeriksaan
banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya yang khusus diberi
kuasa untuk itu, kepada PTUN yang menjatuhkan putusan tersebut, dalam tenggang
waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan diberitahukan kepada yang
bersangkutan secara patut. Selanjutnya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
sesudah permohonan pemeriksaan banding dicatat, Panitera memberitahukan kepada
kedua belah pihak bahwa mereka dapat melihat berkas perkara di Kantor
Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dalam tenggang waktu 30 (tiga
puluh) hari setelah mereka menerima pemberitahuan tersebut. bKapan
Proses Banding di mulai :
1. Ada Pihak yang tidak puas dengan putusan tersebut.
2. Yang tidak puas melakukan pertanyaan banding.
3. Pernyataan banding selambat-lambatnya di nyatakan 14 hari sejak diberitahu secara layak.
4. Membayar biaya perkara banding yang telah ditetapkan oleh Panitera.
5. Memuat memori banding (namun tidak wajib) dengan waktu 30 hari sejak pengjauan banding tetapi ini tidak wajib.
1. Ada Pihak yang tidak puas dengan putusan tersebut.
2. Yang tidak puas melakukan pertanyaan banding.
3. Pernyataan banding selambat-lambatnya di nyatakan 14 hari sejak diberitahu secara layak.
4. Membayar biaya perkara banding yang telah ditetapkan oleh Panitera.
5. Memuat memori banding (namun tidak wajib) dengan waktu 30 hari sejak pengjauan banding tetapi ini tidak wajib.
Pernyataan
banding bisa di ajukan / di mohonkan di PTUN tempat dia berdomisili, namun
nantinya PTUN akan mengirimkan salinan permohonan banding ke PT.TUN yang
mencakup wilayahnya. Tetapi bisa juga pengajuannya dating langsung ke PT.TUN.
1. Pernyataan Banding
Pernyataan banding harus di nyatakan (secara tertulis atau lisan) dan membayar biaya panjar perkara yang telah di tetapkan oleh PTUN atau PT.TUN. Apabila menyatakan dengan surat maka ditujukan kepada Kepala Pengadilan Tata Usaha Negara, sedang untuk yang tidak bisa membaca dan menulis maka dia dapat melalui lisan yang pelaksanaanya di hadapan ketua Pengadilan Tata Usaha Negara secara langsung. Kemudian oleh KPTUN di tulis ulang pernyataan tersebut.
Pernyataan banding harus di nyatakan (secara tertulis atau lisan) dan membayar biaya panjar perkara yang telah di tetapkan oleh PTUN atau PT.TUN. Apabila menyatakan dengan surat maka ditujukan kepada Kepala Pengadilan Tata Usaha Negara, sedang untuk yang tidak bisa membaca dan menulis maka dia dapat melalui lisan yang pelaksanaanya di hadapan ketua Pengadilan Tata Usaha Negara secara langsung. Kemudian oleh KPTUN di tulis ulang pernyataan tersebut.
2. Tata cara pemeriksaan pada tingkat banding
1. Hakim pemeriksa perkara
a. Hakim bersifat majelis (tidak bisa tunggal / pasal 128).
b. Kalau dimana didapati anggota hakim tadi merupakan pindahan dari pengajuan perkara yang diminta banding, dia harus secara tegas untuk tidak ikut atau mengundurkan diri (pasal 128).
2. Pembuktian
Kalau dalam proses pembuktiaan bila ada data yang kurang maka hakim melakukan :
a. Melakukan pemeriksaan sendiri untuk menetapkan tambahan data.
b. Memerintahkan PT. Tk. 1 memanggil dan memeriksa kembali untuk memperoleh data yang diminta (pasal 127).
3. Beberapa ketentuan
a. Kalau seseorang pada waktu berperkara dan pada putusan dia menerima putusan tersebut maka dia tidak bisa menyatakan banding.
b. Bila mana perkara tersebut telah diputus maka panitia pengadilan harus memberitahu para pihak melalui Pengadilan Tk. 1 di kota dimana sengketa itu ada atau di ajukan.
Mengenai pencabutan kembali suatu permohonan banding dapat dilakukan setiap saat sebelum sengketa yang dimohonkan banding itu diputus oleh Pengadilan Tinggi TUN. Setelah diadakannya pencabutan tersebut permohonan pemeriksaan banding tidak dapat diajukan oleh yang bersangkutan, walaupun tenggang waktu untuk mengajukan permohonan pemeriksaan banding belum lampau (Pasal 129).
1. Hakim pemeriksa perkara
a. Hakim bersifat majelis (tidak bisa tunggal / pasal 128).
b. Kalau dimana didapati anggota hakim tadi merupakan pindahan dari pengajuan perkara yang diminta banding, dia harus secara tegas untuk tidak ikut atau mengundurkan diri (pasal 128).
2. Pembuktian
Kalau dalam proses pembuktiaan bila ada data yang kurang maka hakim melakukan :
a. Melakukan pemeriksaan sendiri untuk menetapkan tambahan data.
b. Memerintahkan PT. Tk. 1 memanggil dan memeriksa kembali untuk memperoleh data yang diminta (pasal 127).
3. Beberapa ketentuan
a. Kalau seseorang pada waktu berperkara dan pada putusan dia menerima putusan tersebut maka dia tidak bisa menyatakan banding.
b. Bila mana perkara tersebut telah diputus maka panitia pengadilan harus memberitahu para pihak melalui Pengadilan Tk. 1 di kota dimana sengketa itu ada atau di ajukan.
Mengenai pencabutan kembali suatu permohonan banding dapat dilakukan setiap saat sebelum sengketa yang dimohonkan banding itu diputus oleh Pengadilan Tinggi TUN. Setelah diadakannya pencabutan tersebut permohonan pemeriksaan banding tidak dapat diajukan oleh yang bersangkutan, walaupun tenggang waktu untuk mengajukan permohonan pemeriksaan banding belum lampau (Pasal 129).
C.PEMERIKSAAN KASASI
Perkataan Kasasi berasal dari kara ”Casser”, yang berarti
memecahkan atau membatalkan. Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara
tertinggi terhadap putusan dari semua lingkungan peradilan[5].
Apabila terdapat permohonan kasasi yang diajukan kepada Mahkamah Agung, maka
hal tersebut berarti bahwa putusan tersebut dapat dibatalkan oleh MA karena:
a.tidak berwenang atau melebihi batas wewenang;
b.salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
c.lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan (pasal 30 UU No 14 tahun 1985 UU MA).
a.tidak berwenang atau melebihi batas wewenang;
b.salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
c.lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan (pasal 30 UU No 14 tahun 1985 UU MA).
Mahkamah Agung tidaklah memeriksa fakta atau
kejadian-kejadian, tetapi hanyalah penerapan hukumnya saja, sedangkan
pemeriksaan dan penetapan fakta dilakukan oleh pengadilan tingkat pertama dan
diperiksa ulang oleh pengadilan tinggi. Tenggang waktu dalam UU PTUN tidak
disebutkan dengan jelas mengenai batas diajukannya kasasi, karena dalam pasal
131 ayat (2) UU PTUN bahwa acara pemeriksaan kasasi sepenuhnya diatur dalam UU
MA yang artinya pemeriksaan perkara kasasinya digunakan UUMA yang menagtur
mengenai acara kasasi untuk peradilan umum (perdata) . Pengajuan menurut UUMA
ialah selama 14 hari setelah putusan dibacakan dan selambat-lambatnya 7 hari
panitera harus menghubungi pihak lawan setelah permohonan kasasi terdaftar. Dalam
tenggang waktu 14 hari setelah permohonan kasasi dicatat dalam buku daftar,
pemohon kasasi wajib menyampaikan memori kasasi yang memuat alasan-alasan
permohonan kasasi. Lawan diharuskan telah menyerahkan jawaban atas salinan
memori kasasi dalam waktu 14 hari setelah ia menerima salinan memori kasasi
tersebut, dan selambat-lambatnya 30 hari setelah menerima memoro kasasi dan
jawaban atas memori kasasi, panitera mengirimkan semua berkas kasasi tadi ke
Mahkamah Agung. Permohonan Kasasi hanya dapat diajukan satu kali (Pasal 43
UUMA), Terhadap putusan pengadilan tingkat Banding dapat
dilakukan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan ditingkat Kasasi
diatur dalam pasal 131, yang menyebutkan bahwa pemeriksaan tingkat terakhir di
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada
Mahkamah Agung. Untuk acara pemeriksaan ini dilakukan menurut ketentuan
UU No.14 Tahun 1985 Jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
Menurut Pasal 55 ayat (1) UU Mahkamah
Agung, pemeriksaan kasasi untuk perkara yang diputus oleh Pengadilan
dilingkungan Pengadilan Agama atau oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Tata
Usaha Negara, dilakukan menurut ketentuan UU ini. Dengan demikian sama halnya
dengan ketiga peradilan yang lain, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan
Peradilan Militer, maka Peradilan Tata Usaha Negara juga berpuncak pada
Mahkamah Agung.
Untuk dapat
mengajukan permohonan pemeriksaan di tingkat kasasi, Pasal 143 UU No 14 Tahun
1985 menentukan bahwa permohonan kasasi dapat diajukan jika pemohon terhadap
perkaranya telah menggunakan upaya hukum banding, kecuali ditentukan lain oleh
undang-undang.
Menurut Pasal
46 ayat (1) UU No 14 Tahun 1985, permohonan pemeriksaan di tingkat kasasi harus
diajukan dalam tenggang waktu 14 hari setelah putusan Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara diberitahukan kepada pemohon. Apabila tenggang waktu 14 hari
tersebut telah lewat tanpa ada permohonan kasasi yang diajukan oleh pihak yang
berperkara, maka menurut Pasal 46 ayat (2) UU Nomor 14 Tahun 1985 ditentukan
bahwa pihak yang berperkara dianggap telah menerima putusan.
Mengingat
pemberitahuan adanya putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara itu dilakukan
dengan menyampaikan salinan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dengan
surat tercatat oleh Panitera kepada penggugat atau tergugat, maka perhitungan
14 hari itu dimulai esok harinya setelah penggugat atau tergugat menerima surat
tercatat yang dikirim oleh Panitera yang isinya salinan putusan Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara.Alasan pengajuan kasasi sebagaimana tertuang dalam
Pasal 30 ayat (1) UU No 14 Tahun 1985 jo UU No 5 Tahun 2004 yang menyatakan
bahwa MA dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan
pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan, karena:
a) tidak berwenang
atau melampaui batas wewenang;
b) salah
menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
c) lalai memenuhi
syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam
kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
D.PERLAWANAN OLEH PIHAK KETIGA (derdenverzet)
Yang
dimaksud dengan pihak ketiga disini ialah pihak ketiga yang tidak ikut serta
dalam proses perkara yang dimaksud pada pasal 83, yaitu mereka yang tidak
intervensi (pasal 118 UUPTUN).
Perlawanan pihak ketiga yang tidak ikut intervensi harus diajukan dengan berdasar syarat:
a.Melalui prosedur pasal 56 serta ia atau mereka mempunyai kepentingan yang dirugikan berdasarkan ketentuan pasal 53;
b.Putusan yang berkekuaan hukum tetap yang dimaksud dalam pasal 116 ayat (1) berisi amar:
1.kewajiban tergugat untuk mencabut KTUN yang digugat, yang disebutkan oleh pasal 97 ayat (10);
2.kewajiban tergugat untuk mencabut KTUN yang digugat disertai kewajiban menerbitkan KTUN yang baruyang disebut oleh pasal 97 ayat (9);
3.kewajiban badan atau pejabat TUN untuk menerbitkan KTUN yang menyangkut kepegawaian, yang dibebani kewajiban mencabut KTUN yang bersangkutan atau mencabut keputusan yang bersangkutan serta menerbitkan keputusan baru dalam hal gugatan didasarkan pasal 3 disertai ganti kerugian dan rehabilitasi dalam kedudukan dan jabatan semula.
Selanjutnya upaya hukum ini akan di proses dalam rapat permusyawaratan (pasal 62) dan pemeriksaan persiapan (pasal 63). Putusan pengadilan ini bersifat eksekutorial setelah berkekuatan tetap oleh karenanya tidak dapat ditunda pelaksanaannya.
E.PEMERIKSAAN PENINJAUAN KEMBALI (request civil)
Perlawanan pihak ketiga yang tidak ikut intervensi harus diajukan dengan berdasar syarat:
a.Melalui prosedur pasal 56 serta ia atau mereka mempunyai kepentingan yang dirugikan berdasarkan ketentuan pasal 53;
b.Putusan yang berkekuaan hukum tetap yang dimaksud dalam pasal 116 ayat (1) berisi amar:
1.kewajiban tergugat untuk mencabut KTUN yang digugat, yang disebutkan oleh pasal 97 ayat (10);
2.kewajiban tergugat untuk mencabut KTUN yang digugat disertai kewajiban menerbitkan KTUN yang baruyang disebut oleh pasal 97 ayat (9);
3.kewajiban badan atau pejabat TUN untuk menerbitkan KTUN yang menyangkut kepegawaian, yang dibebani kewajiban mencabut KTUN yang bersangkutan atau mencabut keputusan yang bersangkutan serta menerbitkan keputusan baru dalam hal gugatan didasarkan pasal 3 disertai ganti kerugian dan rehabilitasi dalam kedudukan dan jabatan semula.
Selanjutnya upaya hukum ini akan di proses dalam rapat permusyawaratan (pasal 62) dan pemeriksaan persiapan (pasal 63). Putusan pengadilan ini bersifat eksekutorial setelah berkekuatan tetap oleh karenanya tidak dapat ditunda pelaksanaannya.
E.PEMERIKSAAN PENINJAUAN KEMBALI (request civil)
UU PTUN juga mengenal adanya upaya hukum peninjauan kembali seperti yang diatur dalam pasal 132:
1.Terhadap putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan peninjauan hukum kembali kepada Mahkamah Agung.
2.Acara pemeriksaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 177 ayat (1) UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Cara permohonan peninjauan kembali terhadap putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diatur menurut ketentuan
pasal 132 yang dihibungkan dengan pasal 70 ayat (1) UU MA, dilakukan melalui
ketua pengadilan yang memutus perkara dalam tingkat pertama dengan membayar
biaya perkara yang diperlukan. Permohonan ini diajukan sendiri oleh pihak-pihak
atau oleh ahli warisnya atau oleh wakilnya dengan surat kuasa khusus untuk
maksud itu, dan apabila selama prosese peninjauan kkembali pemohon meninggala
dunia, maka permohonan peninjauan kembali tersebut dilanjutkan oleh ahli
warisnya (pasal 68)[6].
Alasan yang dapat digunakan diajukannya peninjauan kembali yaitu:
a.Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkara diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b.Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak ditemukan.
c.Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut;
d.Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e.Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama dan atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatannya telah diberikan putusan yang bertentangan satu sama lain.
f.Apabila ada suatu putusan terdapatsuatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata (pasal 67 UUMA).
a.Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkara diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b.Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak ditemukan.
c.Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut;
d.Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e.Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama dan atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatannya telah diberikan putusan yang bertentangan satu sama lain.
f.Apabila ada suatu putusan terdapatsuatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata (pasal 67 UUMA).
Tenggang waktu mengajukan permohonan
peninjauan kembali diajukan dalam waktu 180 hari, untuk:
a.yang disebut pada huruf (a), sejak diketahui kebohongannya atau tipu muslihatnya atau sejak putusan hakin pidana memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara. hari dan tanggal diketahuinya kebohongan tersebut harus dibuktikan dengan secara tertulis;
b.yang disebut pada huruf (b), sejak ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang;
c.yang disebut pada huruf (c), (d), dan (f), sejak putusan memperoleh kekuatan hukum yang tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara (pasal 69 UUMA);
d.yang disebut pada huruf (e), sejak putusan terakhir dan bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara (pasal 69 UUMA).
a.yang disebut pada huruf (a), sejak diketahui kebohongannya atau tipu muslihatnya atau sejak putusan hakin pidana memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara. hari dan tanggal diketahuinya kebohongan tersebut harus dibuktikan dengan secara tertulis;
b.yang disebut pada huruf (b), sejak ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang;
c.yang disebut pada huruf (c), (d), dan (f), sejak putusan memperoleh kekuatan hukum yang tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara (pasal 69 UUMA);
d.yang disebut pada huruf (e), sejak putusan terakhir dan bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara (pasal 69 UUMA).
Pada prinsipnya, permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan
pelaksanaan putusan (pasal 66 ayat (2) UU MA). Permohonan peninjauan kembali
dapat diajukan hanya satu kali. Apabila permohonan kembali dicabut sebelum
diputus, maka permohonan tersebut tidak dapat diajukan kembali (pasal 66 ayat
(1) dan (3) UU MA).
(Satrio Adi I)
daftar pustaka :
[2] Indroharto, 1993,
Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Buku II),
Sinar Harapan, Jakarta.
[3] Indroharto, 1993,
Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Buku II),
Sinar Harapan, Jakarta. Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-undang
tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Buku II), Sinar Harapan, Jakarta.
[4] Indroharto, 1993, Usaha
Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Buku II), Sinar
Harapan, Jakarta.
[6] Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-undang tentang
Peradilan Tata Usaha Negara (Buku II), Sinar Harapan, Jakarta.1988
No comments:
Post a Comment